Kamis, 29 Oktober 2009

Cerpen_2


Cinta dalam Kuncup Mawar Putih

Dering alarm pagi, memecah kesunyian pagi buta. Suaranya yang nyaring dan keras terdengar hingga ke setiap sudut rumah. Membelalakkan setiap makhluk yang mendengarnya hingga mata serasa tiada daya tuk kembali terpejam. Tiada lagi hasrat tuk menikmati bercumbu dengan sang kantuk yang  membahana nafsu, yang sejatinya seakan menotok seluruh urat syaraf tubuh untuk tidak melakukan apapun dan hanya tergolek malas di ranjang nan empuk. Selain itu, dingin yang menusuk hingga ke tulang membuat siapapun insan yang terjaga, serasa ingin melanjutkan terpejamnya mata berselimutkan mimpi indah dalam bunga tidurnya. Menepis segala dorongan hati untuk beranjak dan segera mempersiapkan diri, melangkahkan kaki untuk hari baru.
Namun, menjadi berbeda halnya jika deringan alarm di pagi yang memecahkan segenap kesunyian pagi, merupakan sebuah awal dari niatan baik seorang anak cucu Adam yang telah memantapkan dirinya untuk bangkit dan melangkah menapaki jalannya kehidupan, demi sebuah perubahan dalam hidup.
Setidaknya, itulah motivasi yang pagi itu terlintas di dalam pemikiran seorang Arissha, wanita muslimah berperawakan sedang yang sedang mencoba kembali menata hati, jiwa, dan pikirannya atas segala yang hal belum lama ia tinggalkan dan masih melekat erat di hati dan pikirannya. Kiranya, itul merupakan kewajaran bagi setiap manusia di muka bumi. Tak ada seorangpun yang tiada rasa gundah, sedih, dan kehilangan yang mendalam ketika orang yang dikasihi, disayangi, dan dicintai, telah pergi. Pergi ke tempat yang tanpa ada satu pun manusia dengan jiwa bersemayam dalam dirinya, dapat menggapai tempat itu. Ya, Shasha, perempuan berbudi baik itu sering dipanggil, sedang berada dalam suatu titik terberat dalam kenyataan hidupnya. Dia baru saja kehilangan seseorang yang menjadi sandaran hatinya, tempat dia mencurahkan segala rasa, tempat berbagi senang, duka, canda, dan tawa bahagia.
Sayang beribu sayang, semua kisah itu harus berakhir oleh sebuah tragedi tragis nan memilukan yang menimpa Rey, kekasih Shasha. Hingga akhirnya ajal pun  menjemput, dan Isroil pun membawa Rey ke tempat yang jauh di sana meninggalkan kesedihan dan cucuran air mata banyak berlinang membasahi wajah seorang Shasha.
***
Setelah segala peristiwa pagi itu, setelah dering alarm dia hentikan, Shasha segera melihat ke dinding kamarnya. Ternyata memang benar, waktu masih  menunjukkan pukul 03.40 WIB. Bukan suatu hal yang biasa bagi seorang Shasha untuk memulai hari dari pagi sebuta itu. Namun, ada banyak rangkaian kegiatan yang harus dia jalani hari ini.
Aku nggak boleh menjadi cewek lemah, aku harus tetap bisa berdiri tegak dan tak mudah goyah!, ucap perempuan cantik ini yang terlontar dari bibir manisnya, seakan berusaha untuk memberikan dorongan bagi dirinya sendiri dengan segala kekurangan dan kegundahan yang masih tersisa. Shasha berdiri dan menghirup nafas panjang lalu berkata penuh ketegasan, Sayang kan kutepati janjiku kepadamu.
Segera mungkin beranjak dari tempat tidur. Langkah kaki mungil itu, bahkan tidak menimbulkan seidikitpun kegaduhan ketika derap langkah kaki mengayun penuh dengan keikhlasan hati menuju tempat bersuci, mengambil air wudhu untuk segera menunaikan kewajiaban lima waktu di setiap pagi.
Dalam doanya, Shasha tiada berhenti memohon kepada Sang Khlalik untuk senantiasa memberikan kemudahan dan segala ampunan atas dosa dan kesalahan kekasih tercinta semasa hidupnya. Dalam setiap kata dalam permohonan itu yang terlisan, dia selalu teringat akan kenangan-kenangan manis yang dilaluinya bersama seorang Rey. Orang yang benar-benar dianggapnya telah memberi warna dalam kehidupan. Setiap kata yang terucap dan setiap memori yang teringat dalam benaknya, seperti menjadi bagian dari doa yang selalu dia panjatkan dengan segenap ketulusan hati dan kerelaan batin. Tiada sekalipun masa yang dilalui dalam berdoa, tanpa sebuah kesungguhan dan keseriusan. Hingga dalam setip sujudnya, dalam setiap permohonannya, dan dalam setiap rintihannya, tiada pernah air mata itu dapat terbendung. Senantiasa mengalir, membasahi wajah yang bersih, cerah, dan merona bak bersinar penuh akan gemerlap iman yang melekat kuat pada diri seorang Arissha Arabella Bebby Defy.
Sayang, jika suatu hari nanti aku dipanggil untuk menghadap sang Illahi dalam usia yang belia ini, jangan pernah kamu lupakan pesan-pesan yang selalu aku ingatkan padamu dari saat kedua bola mata indahmu itu terbuka hingga kembali terpejam,ya. Namun, kamu jangan pernah khawatir ya, jika saat itu tiba, hingga saatnya nanti, aku akan tetap berada bersamamu. Aku akan tetap berada di hatimu, Sayang.
Itulah kata-kata yang selalu diingat yang terlontar dari sosok seorang yang di mata Shasha merupakan seseorang berbeda, seseorang dengan wibawa, orang yang bertanggung jawab dan selalu berusaha menepati tiap kata yang dijanjikan kepadanya.
***
Pagi itu matahari bersinar sangat cerah. Menguapkan sisa-sisa embun yang masih meninggalkan dinginnya suasana dan menggantikannya dengan kehangantan dalam indahnya pancaran cahaya yang tiada lelah menyinari alam semesta.
Cerahnya pagi itu, menambah indahnya suasana hati Shasha. Dia bergegas mengambil sepeda mini berwarna biru mudanya. Sepeda itu merupakan benda terakhir yang dihadiahkan Rey di hari ulang tahunnya yang ke depalan belas. Kini, sepeda itulah yang selalu menemani harinya ketika dia harus bepergian, tentunya dalam jarak yang masih bisa dijangkau dengan bersepeda.
Setiap dia memandangi sepeda itu, ingatan membawanya pada saat ketika dia bersama Rey mampir ke sebuah toko sepeda dan masa-masa itu sungguh tiada pernah bisa terlupakan oleh seorang Shasha.
***
Sayang, aku pengenbanged punya sepeda cewek baru. Biar aku tu bisa ke mana-mana gampang andasik kan kalo ke mana-mana bisa pake sepeda…”, Shasha berkata kepada Rey.
Hmemangnya kamu pengen yang kayak apa cintaku?, kala itu, seperti itulah Rey menanggapi keinginan yang diucapkan sang kekasih.
Yang ini…”, Shasha menunjuk pada sebuah sepeda mini perempuan berwarna biru muda, warna kesayangannya.
Emangnya kenapa, Sayang?, Shasha kembali bertanya.
Nggak papakali aja aku punya rejeki and bisa beliin buat kamu…”, jawab Rey.
Kamu ada-ada aja, Sayang., Shasha menanggapinya. Kemudian Rey menjawab dengan senyuman and mereka berdua pun pergi meninggalkan toko itu.
Beberapa minggu setelah kedatangan mereka berdua ke toko sepeda itu, betapa terkejutnya Shasha ketika melihat sebuah sepeda mini biru yang waktu itu dia tunjukkan kepada Rey berdiri kukuh di hadapan rumahya dengan terikat oleh pita biru muda dan bertuliskan Happy Our 3rd Anniversary, Dear.. Hari itu adalah tepat tiga tahun setelah mereka berdua mengukuhkan hubungan mereka menjadi hubungan yang orang bilang dengan sebutan pacaran, meski Rey tak pernah setuju jika mereka dibilang pacaran.
Rey pernah berkata, Apaan sih...aku nggak kenal sama yang namanya pacaran tuh. Yang kutahu, adalah masa penjajakan untuk saling mengenal lebih dalam antara satu dengan sama lain dan bagiku itu bukan pacaran!!.
***
Pagi, Om., sapa Shasha kepada seseorang di sebuah kebun berisi banyak bunga.
Orang  itu adalah ayahanda dari Dhydhyk Nureyza Mahdi, yang tidak lain adalah kekasih Shasha yang selalu diidam-idamkan untuk bisa menjadi bapak mertuanya kelak.
Pagi, Sha. Mau ambil mawar ya, Sha?, tanya Om Helman, begitu Shasha biasa memanggilnya.
Dengan senyum manisnya, Shasha menjawab, Iya Om. Aku mau ambil satu, untuk kekasihku tercinta. Senyum pun terpancar dari wajah berseri Shasha.
Tunggu sebentar ya, Om ambilkan, Om Helman mengambilkan setangkai mawar putih dan memberikannya kepada Shasha.
Mawar putih merupakan bunga kesukan Shasha, ia selalu mendambakan untuk bisa memiliki dan dapat memelihara mawar putih. Meskipun keinginan itu tidak pernah tercapai. Hingga akhirnya Rey pun memutuskan untuk memelihara beberapa tangkai mawar di kebun milik ayahnya.
Rey pernah berpesan kepada ayahnya, Yahbantuin aku untuk rawat mawar-mawar ini,ya. Aku ingin memberikannya buat bidadariku tersayang.
Sejak saat itu, Om Helman selalu merawat mawar-mawar putih itu dengan penuh rasa cinta kasih. Seperti sang anak yang menumbuhkannya dengan penuh rasa cinta, sayang, dan harapan.
Ini Sha mawarnya, bawanya hati-hati, ya..
Beres, Om. Terima kasih, ya, jawab Shasha.
Setelah Shasha pergi, Om Helman berkata dalam hatinya, Naksungguh kasihan Shasha, dia benar-benar sayang sama kamu dan kini dia harus menerima kenyataan kehilangan kamu. Dia rajin sekali mengunjungi makammu. Jika kau masih ada di sini, Nak. Betapa beruntunganya hidupmu…”.
***
Assalamualaikumpagi pangeranku., kata Shasha.
Itu adalah salam, yang selalu Shasha ucapkan ketika dia mengunjungi makam Rey. Dia selalu rajin mengunjungi makam kekasihnya itu.
Pagi ini, bidadarimu datang membawa setangkai mawar putih. Ini aku ambil dari kebun ayah, lo. Sangat cantik, melambangkan kesucian cinta kita yang abadi..., tanpa terasa air mata pun jatuh dan membasahi wajah Shasha. Dia pun memanjatkan serangkaian doa untuk pangerannya itu.
Aku pulang dulu ya, Pangeranku. Aku harus siap-siap untuk belajar. Agar aku bisa meraih mimpi yang sudah kita rajut bersama.. Shasha pun meninggalkan pemakaman yang masih sepi itu, dari kejauhan hanya tampak beberapa orang petani yang sedang menggarap sawahnya. Shasha melangkahkan kakinya meninggalkan makam tersebut. Derap langkah kaki kecilnya meninggalkan banyak jejak kaki kesungguhan. Kesungguhan akan adanya kekuatan cinta yang abadi antara dua insan manusia yang tak lekang oleh waktu.
Satu demi satu kayuhan meninggalkan makam itu, seakan kembali mempertegas bahwa telah terdapat sebuah jarak di antara dua insan manusia yang jauh, tapi tetap dekat jua. Secara fisik mereka berada pada alam yang sudah jauh berbeda. Namun, di dalam hati, tetap terdapat sosok seorang Rey yang selalu memberikan kasih dan cintanya yang tulus akan kehendak-Nya kepada seorang Shasha.
Matahari sudah semakin terik ketika Shasha telah sampai di rumahnya dan ternyata waktu memang sudah menunjukkan pukul 08.35 WIB.
Waktunya berangkat kursus, kata Shasha.
Shasha mengirim satu pesan singkat kepada temannya, Ganis, kamu udah berangkat kursus belum?
Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering dan ternyata itu adalah pesan balasan dari Ganis, sahabat Shasha, Belum ni, aku baru mau berangkat.
Ohya udah kalo gitu, cuma mau Tanya.,balas Shasha.
Ganis adalah salah satu teman terdekat Shasha. Selain itu, juga ada Citra dan Evi. Mereka tengah menjalani sebuah kursus untuk mengikuti sebuah perlombaan karya ilmiah yang diadakan di salah satu perguruan tinggi kenamaan di Inggris. Seharusnya mereka sudah bisa memantapkan langkah untuk hal tersebut jauh-jauh hari sebelumnya, tapi karena peristiwa yang menimpa Rey, yang juga satu regu dengan mereka, membuat kegiatan terhenti sejenak. Menunggu suasana hati semua peserta yang mengikuti kursus merasa tenang.
Kursus yang Shasha dan teman-temanya ikuti berada di bawah bimbingan yayasan SMA Al Azhar, tempat mereka bersekolah, sebuah sekolah Islam kenamaan di Jakarta. Bukan hanya mereka, ada juga satu regu lainnya yang beranggotakan Wawan, Yofi, Yogi, Edwin, dan Gesta. Kedua kelompok ini adalah kalompok ilmiah remaja yang mendapat kepercayaan untuk mewakili sekolah mereka di kancah internasional.
Suatu kelompok maupun perkumpulan pastilah memiliki sifat dan karakternya masing-masing. Perbedaan pandangan maupun pendapat adalah hal yang tidak mungkin dapat dipungkiri lagi. Hal itu pulalah yang sempat terjadi di antara kedua kelompok siswa ini. Bagaikan gading yang tak retak, keduanya tak ada yang sempurna dan pastilah banyak memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Juga pada setiap individu yang ada. Namun, semenjak kepulangan Rey ke rahmatullah, suasana menjadi benar-benar berbeda. Mereka tidak pernah lagi berseteru dan selalu saling memberi doronangan.
***
Hei Guys., sapa Shasha kepada teman-temannya.
Hallo Shasha. Kabar baik kan?, tanya Citra.
Alhamdulillah, aku baik-baik aja kuq Citra, Sayang., jawab Shasha sambil menyubit pipi Citra.
Ihkamu lopagi-pagi udah nyubit-nyubit, Citra melepaskan tangan Shasha dari pipinya.
Evi yang dari tadi sedang asik membaca buku pun, memulai pembicaraannya, Shakamu kok keliatannya gembira benget pagi ini, ada apa sih?
Iya tuhseneng deh rasanya bisa lihat kamu berseri lagi kayak gitu. Iya kan guys?, tanya Ganis kepada teman-teman.
Yups., jawab Citra dan Evi.
Mendengar petanyaan itu, Shasha tersenyum manis. Pagi ini aku baru dateng ke rumahnya Om Helman. Abiz itu pergi ke makamnya Rey. Rasanya kaya bis ketemuan aja. Hehehe., terdengar tawa yang begitu menggambarkan perasaan lepas akan kesedihan yang telah terselimuti rasa bahagia akan motivasi yang selalu melekat di hati Shasha.
Wahwahwah. Senenganya yang abis berkunjung ke Sayangnya., cetus Citra. Mendengar hal itu, Shasha hanya tersenyum lebar.
Di tengah pembicaraan cewek-cewek yang terkenal ramai itu, terdengar dari kejauhan Wandi dan teman-teman kelompoknya berjalan dengan penuh guyonan khas mereka yang selalu memekakan telinga siapapun yang mendengarnya. Memasuki ruangan kursus tanpa ada kesepakatan sebelumnya, tiba-tiba mereka terdiam dan berjalan tenang ke tempat duduk mereka.
Lagi pada ngomongin apa sih,ya. Kayaknya rame banget?, tanya Wandi.
Idihpenasaran aja lo., cetus Evi.
Yaaku kan cuma mau nanya, kalo nggak boleh tahu ya udah!!!, dengan wajah yang seakan murung, berjalan meninggalkan para wanita.
Ya nggak usah pake acara mutung napa? Nggak penting banget sih!, ucap Shasha ketus. Suasana menjadi berubah, seakan memanas.
Udahlah Shabiarin aja!!!, Ganis coba menenangkan Shasha.
Emangnya ada apa kalian nanya-nanya?, tanya Evi.
Kedua kelompok ini memang sering berbeda pandangan, berbeda pendapat, juga persepsi. Hal yang lebih buruk lagi, terkadang ada ucapan dari seorang Yofi yang suka menyindir dan memutar balikkan fakta. Sampai-sampai kedua kelompok ini sering beradu argumen. Namun, entah angin apa yang bertiup pada kelima cowok tadi hingga pagi itu mereka terlihat berbeda, terlihat lebih tenang, kalem, dan harus diakui sedikit ada rasa kebersahajaan di antara mereka.
Gini lo, temen-temen. Kami berlima ini, ingin dapat bergabung juga dengan kalian. Selama ini kita kan selalu berbeda pendapat dan selalu berselisih. Setelah kami pikir-pikir, itu bukan hal yang baik untuk pekembangan belajar kita. Jadi aku mohon, kalian bisa memaafkan kami untuk semua perselisihan di antara kita, ya., jelas Yofi.
Yakin sama omonganmu itu, heh?!!, tanya Shasha kepada Yofi ketus. Spontan Shasha berujar seperti itu karena Shasha sudah terlanjut sakit hati dengan apa yang diperbuat seorang Yofi kepada dirinya dan Rey, dia juga selalu beranggapan bahwa kematian Rey disebabkan oleh Yofi.
Kamu yakin nggak sama omonganmu. Yakin nggak Yo. Apa kamu cuma mau nambahin luka yang udah pernah tergores dalam, heh?!, Shasha menegaskan ucapannya, sembari berdiri dan menghadap ke Yofi.
Shaudah Sha. Jangan kebawa emosi., Citra berusaha menenangkan.
Shaaku minta sama kamu, beri kami kesempatan untuk dapat memperbaiki kesalahan kami tempo hari. Kami akan buktikan., belum selesai Yogi menjelaskan, Shasha momotog ucapannya.
Kalian mau buktiian apa? Buktiin kalo kalian bisa buat aku lebih sakit hati? Buktiin kalo kalian itu enggak salah? Heh?!, Shasha berkata dengan ekspresi yang marah. Entah mengapa tiba-tiba Shasha menjadi sangat sedih, marah, dan kesal. Lalu, dia pun pergi meninggalkan teman-temannya.
Shasha, tunggu!, kata Ganis mencoba menghentikan Shasha.
Aku pengen sendiri dulu, Nis, jawab Shasha.
Akhirnya, tak ada satu pun dari anak-anak yang ada di ruangan penuh dengan perangkat teknologi pendidikan lengkap yang mengejar Shasha. Bagi teman-teman dekatnya, mereka bisa mengerti apa yang dirasakan Shasha. Kehilangan orang yang sangat dikasihi di tengah suasana yang sangat menyakitkan hati. Menerima kenyataan bahwa mereka berdua harus rela mengorbankan waktu mereka bersama hanya untuk menghargai apa yang telah orang lain ucapkan pada mereka. Meskipun seiring berjalannya waktu, apa yang orang-orang katakan kepada mereka ternyata hanya omong kosong belaka. Entah apa yang orang-orang itu inginkan, hingga mereka tega membuat Shasha dan Rey yang tidak pernah sekalipun di antara mereka pernah berjalan berpisah, saat itu juga mereka harus menjaga jarak juga hubungan mereka.
***
Duduk seorang diri di ruangan yang penuh dengan komputer dan perangakat internet lainnya, ditemani dinginnya udara ruangan kerena pendingin ruangan yang menyala dengan indicator 25oC. Ditambah dengan pintu ruangan yang tertutup, semakin menambah dinginnya suasana. Di situlah, di ruang Laboratorium Komuter itulah Shasha duduk termenung, duduk bersama dengan kesendiriannya. Di ruangan itulah, dia dan Rey biasa bercanda tawa bersama, menghabiskan waktu luang bersama dan mereka selalu duduk berdampingan saat pelajaran. Namun, itu semua pun menemui akhirnya juga. Hingga akhirnya, ruangan itu menjadi tempat tersendiri yang penuh akan kenangan manis tak terlupkan bagi diri seorang Shasha.
Tanpa terasa, air mata pun menetes di wajah Shasha. Dia merasa sangat gundah, sedih, kesal, juga marah. Ingatan membawanya kembali pada masa-masa ketika dia masih bisa bersama seorang Rey. Ketika sedih mendera, selalu ada tempat baginya untuk bersandar, bahkan sampai menangis pun dalam dekapan Rey. Namun, kini semua hanyalah tinggal kenangan, yang tertinggal adalah serpihan-serpihan memori yang terlihat dengan amat jelas tentang segala hal yang telah terlewati bersama. Mungkin jika waktu dapat diputar kembali, besar rasanya keinginan Shasha untuk dapat mengulang segala apa yang telah dia dan Rey lalui bersama. Namun, apa daya seorang manusia untuk melawan takdir Tuhan. Semua sudah terjadi dan tiada akan ada waktu untuk dapat kembali kepada masa-masa itu.
Shasha terdiam, merenung dan meratapi apa yang sedang dirasakannya kini, berkwan sedih dan pilu. Entah itu mimpi, entah itu keajaiban dan entah apa yang terjadi, atau mungkin hanya bayang ilusi pikiran yang sedang tidak tenang. Shasha seakan melihat kembali waktu yang telah dia lalui bersama Rey. Shasha seolah dapat kembali mendengar setiap kata yang terucap dari bibir seorang Rey. Seolah begitu nyata ada tepat di hadapan matanya. Membelalakkan pandangan dan mencengangkan pikiran. Hatinya pun seakan larut dalam gelanyutnya bayang-banyang ilusi yang seakan nyata.
Kini banyangan itu memperluas kisahnya, seakan memutar kembali detik demi detik yang mereka lewati bersama. Khayalan itu membumbung tinggi ke sebuah bukit di pinggiran Jakarta, tempat Shasha dan Rey biasa menghabiskan waktu mereka berdua. Berbagi kisah, berbagi cerita, berbagi suka, duka, canda, tawa, tangis, dan bahagia. Semuanya sungguh terlihat amat sangat nyata bagi Shasha. Ingatan pun membawanya pada sebuah pertanyaan yang sering Rey ucapkan.
Sayang, kenapa sih kamu masih betah sama aku. Padahal, di luar sana masih banyak orang-orang yang lebih baik dari aku. Lebih pandai, lebih tampan, bahkan lebih berada dan aku yakin, pasti mereka bisa lebih banyak menyenangkan hatimu daripada aku, tanya Rey.
Sayang, bagiku nggak akan pernah ada cowok yang bisa ngertiin aku, bahkan nggak ada orang yang bisa ngertiin aku seperti dirimu. Aku sudah terlanjur sayang dan cinta padamu. Aku pun nggak mau kehilangan kamu, jawab Shasha.
Dengan wajah yang tersenyum, Rey berkata, Sayang, usia seseorang kan nggak ada yang tahu, ya. Hanya Allah-lah yang yang tahu. Oleh karena itu, aku mohon ya, sama kamu. Jika suatu hari nanti dalam usiaku yang masih dini ini dan ketika kita masih diberi kesempatan untuk tetap bisa bersama, aku mohon sama kamu. Janganlah kamu tangisi kepergianku. Ya. Please.
Sayang, jangan bilang gitu ah.,  kata Shasha.
Tapi aku mau kamu janji akan hal itu. Ya., lanjut Rey.
Aku nggak bisa mastiin, Sayang., jawab Shasha.
Kalo gitu, aku coba ya., Rey meneruskan.
Ihkamu lo. Enggak lucu tau!, jawab Shasha.
Iya..iyaiya. Jangan  marah dong, Sayang. Aku cuma bercanda kok. He. Peace., jawab Rey sambil tersenyum.
Rey pun memeluk Shasha dengan penuh rasa kasih saying. hari-hari itu, masa ketika bukit itu mewarnai hari-hari mereka berdua, merupakan hari yang tidak akan pernah terhapuskan dalam ingatan seorang Shasha.
***
Tiba-tiba hari menjadi gelap. Sang surya tertutup oleh awan hitam, kilat dan guntur pun menunjukkan kemesraan mereka menandakan hujan akan turun.
Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan lebat. Namun, hal itu tak jua menghentikan proyektor banyangan yang sedang tergiang oleh Shasha, tapi justru semakin memberikan kisah yang begitu jauh dan mendalam. Sekarang memori ingatan membawanya ke sebuah pantai di sebuah pedesaan. Waktu itu hujan turun sangat deras. Membasahi kedua insan manusia yang tengah mengukir indahnya sebuah jalinan kasih di hadapan sebuah pesona pemandangan alam hasil harya Yang Maha Kuasa. Tak ada tempat berlindung dan tanpa jas hujan yang melekat pada diri mereka. Dengan kecepatan yang sedang, Rey memacu sepeda motornya agar lekas tiba di rumah sang kekasih. Dia tidak mau hanya karena dia, kekasihnya menjadi jatuh sakit.
Sayang, maaf ya. Kamujadi kehujanan gini. Jadi basah kuyub gini. Maafbanget., setidaknya itulah kata yang diucapkan Rey ketika dia melalui jalanan dengan derasnya hujan yang mengguyur dan membasahi mereka berdua.
Udah, Sayang. Nggak apa-apa kok. Lagipula ini juga bukan salahmu,kan., jawab Shasha menenangkan Rey.
Tapi kan., lanjut Rey.
Nggak ada tapi-tapian. Key!!!, jawab Shasha dengan tegas.
Iya deh, Sayang., lanjut Rey dengan senyum di wajahnya.
Semakin dalam dan semakin dalam lagi, banyang-banyang itu membawa Shasha pada suatu ingatan pahit. Ingatan itu bervisualisasi ketika Shasha dan Rey sedang duduk berdua dan tiba-tiba Yofi, Yogi, dan bala kurawanya datang kepada mereka. Menyampaikan sebuah pemikiran sempit yang sangat dangkal, tapi membuat hati Rey dan Shasha pun cukup terkoyak. Sebuah rangakaian kata yang sejak saat itu mengubah segalanya. Mengubah kebiasaan mereka berdua dan seolah membendung segala angin kesejukan kasih sayang dari segala penjuru hati. Bahkan, kata-kata itu pun terlalu sakit untuk diingat. Terlalu menggoreskan luka yang begitu lebar,dalam, dan sungguh sangat sakit menyiksa dengan perihnya yang tiada tara.
***
Siang itu jalanan sungguh ramai. Hal yang sangat tidak wajar ketika jam pulang sekolah terlihat pintu gerbang sekolah yang sepi dan longgar dengan jalanan tanpa ada sela untuk lengang. Sama halnya dengan siswa lain, Shasha dan Rey bermaksud untuk lekas meninggalkan sekolah. Hari itu mereka berniat untuk pergi ke sebuah kafe. Shasha mengajak kekasihnya itu untuk makan siang, sebelum akhirnya dia diantarkan pulang. Namun, siapa yang menyangka, ternyata hari itu menjadi hari paling buruk dalam perjalanan kisah dua sejoli ini.
Tanpa sengaja Rey melihat  Yofi akan menyeberang jalan, tiba-tiba saja ponselnya terjatuh dan dia pun mengambilnya. Namun, tanpa Yofi sadari ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang dipikirkan pengendara mobil itu hingga nekat memacu mobilnya di daerah yang cukup ramai, apalagi di depan sekolah.
Yofi. Awas!!!, teriak Rey sambil berlari dan mendorong Yofi ke sisi jalan yang lain.
Akhirnya, sebuah tragedi menyedihkan pun tak dapat terelakkan.
Oh no. Rey!!!, teriak Yofi.
Rey!!!, teriak Shasha. Dai pun berlari menghampiri Rey yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan, Yofi dan teman-teman yang lain pun demikian, ikut mengerumuni dan memenuhi jalan.
SayangSayang Kamu bangun dong. Jangan tinggalin aku. Sayang. Bangun!!!, Shasha merintih dan menangis.
ReyRey. Kamu harus bertahan!!!, teriak Yofi.
Tiba-tiba tangan Rey bergerak dan matanya pun terbuka perlahan.
SaSayang., Rey berkata dengan terbata-bata. Tangannya mengusap air mata yang berlinang di wajah sang kekasih, sembari memberi senyuman manis.
Sayang., ucap Shasha sambil memeluknya
Roy tidak menjawab dengan sepatah katapun. Dengan perlahan raganya makin melemas tak berdaya. Seketika itulah, semua orang di yang berada di situ menjadi saksi akan terputusnya hubungan cinta dua insan manusia di dunia. Semuanya tertunduk tanpa sepatah kata pun. Shasha pun tak bisa menahan air matanya. Air matanya pun jatuh membasahi wajahnya, hingga membasahi pula wajah sang kekasih yang telah terbujur kaku, meninggalkan semua yang menjadi saksi di antara mereka berdua. Teriknya sang surya pun berduka, awan putih berarak menunjukkan simpatinya. Debu berhenti berterbangan menyampaikan beribu duka, dan Rey pun pergi dengan senyuman menghiasi wajahnya.
***
Pintu besi yang tertutup rapat, perlahan terbuka. Dinginnya udara luar ruangan setelah derasnya hujan mengguyur pun memasuki ruangan. Sebuah halusinasi yang terlihat begitu nyata, membuat Shasha tanpa sadar berucap memanggil, Rey. Kamukah di sana?.
Shaini aku. Aku Citra, Sha. Bukan Rey…”, sekejab semua baying-bayang memori yang menggelanyutkan Shasha ke alam bawah sadarnya pun menghilang. Semua terlihat samar-samar hingga akhirnya kegelapan menyambar cepat. Namun, ternyata itu hanyalah sebuah ingatan akan masa lalu yang terlalu sulit dilupakan.
Citra., kata Shasha. Air mata pun tak dapat terbendung menetes dari kedua matanya. Citra pun memeluk Shasha.
Shakamu baik-baik aja kan?, tanya Citra.
Rey., jawab Shasha singkat.
Shakamu jangan terus-terusan hanyut dalam duka dan kesedihanmu. Rey sudah tenang di sana. Jadi kamu jangan nangis lagi, ya., jelas Citra mencoba memberikan pengertian dan ketenangan hati kepada Shasha.
Shasha memeluk Citra erat, hingga tiba-tiba sebuah kertas binder jatuh dari sebuah buku diari yang milik Rey yang selalu dibawa Shasha pergi ke manapun. Shasha pun mengambil dan membacanya.




With all of my sadness,

Untuk yang kesekian kalinya, aku benar-benar merintih dalam kesendirianku. Segalanya kini telah berubah. Aku masih belum bisa mempercayai semua ini telah terjadi dalam hidupku, dalam kehidupan kita. Kehampaan demi kehampaan, tetes demi tetes air mata, dan segala kegalauan di hati menjadi satu, berpadu merintuhkan kuatnya hati dan jiwaku.
Sungguh, kenyataan ini begitu pahit kurasakan. Menyesakkan setiap hembusan nafasku, membuat jantungku berdetak, tapi tanpa daya menggerakkan pikiran dan jiwa untuk memantapkan langkah demi langkah hidup yang masih harus aku lalui.
Ya Allah, mengapa semua ini harus terjadi saat ini, mengapa begitu besar semua cobaan ini. Aku hanya bisa berpasrah diri kepada-Mu.
Segala keacuhan yang aku terima, memang sangat dan sangat menyakitkan. Meski aku pun mengerti semua itu bukan atas kehendakmu. Namun jujur, aku tidak bisa seperti ini terus, aku bahkan hampir putus asa untuk dapat bertahan. Aku tak bisa jauh dari sisimu, aku hanyalah sebongkah kayu usang tiada berguna tanpa ada seorang yang mampu untuk mengubahnya menjadi makna yang indah di hadapan semuanya.
Namun, apa dayaku. Aku hanyalah manusia biasa yang takkan pernah luput dari dosa dan kesalahan. Mungkin Tuhan sedang mengujiku dengan semua ini. Mungkin juga ini sebuah balasan akan segudang bahkan bertumpuk dosa dan kesalahanku. Aku hanya dapat menerimanya. Mencoba untuk mengikhlaskan hati, mencoba untuk tetap menggerakkan kaki, melangkah dalam sempitnya kelapangan hati. Namun, semua ini pasti akan ada akhirnya dan itu adalah sebuah keindahan.Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana
Tuhan pulalah yang menjadi Maha Pemaaf. Aku dengan segala kehinaan ini, tak bisa berbuat apa-apa terhadap mereka. Aku memang lemah, aku memang tidak berdaya, dan aku memang tidak akan memberi banyak pengaruh maupun perubahan. Namun, aku percaya, balasan itu akan ada, dan Tuhanlah yang akan menjadi Maha Pemberi Balasan itu, termasuk untuk mereka.

Tak kan ada gunanya menyimpan amarah dan dendam karena ku tahu itu hanya akan memberikan kesakitan yang lebih lama dan penuh penyiksanaan.
Aku berharap, kamu, Sayang…dapat membukaan pintu maaf tuk mereka. Mereka hanyalah anak kecil yang menganggap kedewasaan mereka telah matang. Meski pada hakikatnya mereka adalah anak-anak yang tidak mengerti akan rasa cinta dan kasih sayang. Aku tahu dan aku menyadari memberi maaf, apalagi untuk mereka bukanlah hal yang mudah. Bahkan hampir tidak mungkin untuk dilakukan setelah apa yang mereka perbuat kepada kita. Namun, tidak akan baik menyimpan dendam, Sayang….
Maafkanlah mereka…maafkanlah mereka…dan maafkanlah mereka, Sayang. Demi kesucian cinta kita.

Rey



Sungguh betapa bergetarnya hati seorang Shasha. Dia bahkan tidak pernah menyadari sesungguhnya, bahwa orang yang selama ini dia cintai dan sayangi memiliki hati yang begitu mulia. Sebuah kemuliaan yang mungkin tidak akan pernah dia bayangkan sebelumnya. Di matanya, setiap tindakan Rey selalu penuh amarah dan rasa benci ketika berada di hadapan orang-orang itu. Namun ternyata, Rey bahkan lebih baik dari apa yang ditunjukkannya itu.
Sayangbetapa hatimu sungguh mulia., ucap Shasha.
Nahkamu tahu sendiri kan, Sha. Rey pun mau memaafkan mereka. Lalu, untuk apa menyimpan rasa dendam dan amarah?, tanya Citra.
Memang benar apa yang kamu katakan, Cit. Tidak seharusnya aku terus-terusan menyalahkan mereka. Lagipula, ini adalah kehendak Tuhan yang tidak mungkin dapat dielakkan lagi. Sayangmaaf jika selama ini aku masih tidak rela kau pergi meninggalkanku. Sungguh berat hati ini untuk merelakanmu pergi, sulit hatiku menerima kenyataan jika kau sudah tidak ada lagi di sini, bersamaku juga bersama kami. Aku janji, aku akan lebih baik dari sekarang. Aku tidak akan menjadi orang yang selalu terpuruk. Terima kasih Sayang, karena kau telah membukakan pintu hati ini. Terima kasih., Shasha berkata dengan penuh kelapangan di hatinya.
Yuk, Cit. Yang lain dah cemas nungguin kamu ., Citra mengajak Shasha kembali ke ruangan kursus.
Yuk., jawab Shasha beserta senyuman di wajahnya.
***
Shashakamu baik-baik aja kan. Kami menghawatirkanmu di sini.., tanya Evi cemas.
Iya Sha. Dari tadi kamu ke mana aja sih. Kami cariin kok nggak ketemu., tambah Ganis.
Aku nggak ke mana-mana kok teman-teman. Dari tadi aku di Lab. Kom. Aku cuma butuh waktu untuk tenang., Shasha menjawab pertanyaan teman-temannya yang penuh kecemasan dengan penuh ketenangan.
Dan sekarang kamu dah lebih tenang kan, Sha?, Citra bertanya kepada Shasha.
Iya, Cit. Aku dah lebih tenang sekarang., senyuman pun mengiringi jawaban Shasha.
Tiba-tiba Yofi, Yogi, dan teman-teman yang lainnya datang menghampiri.
Sha., panggil Yofi dengan nada merendah.
Ngapain lo ke sini lagi, mau buat masalah lagi lo?!!, sambar Evi dengan marah.
Jangan gitu, Vi. Aku udah maafin mereka kok., Shasha menenangkan Evi dengan jawaban yang begitu halus.
Tapi, Sha. Mereka itu dah buat kamu sedih. Udah buat kamu bener-bener menderita. Ditambah kepergian Rey juga gara-gara dia kan!!!, menunjuk kepada Yofi dengan muka yang garang.
Aku rasabukan saatnya lagi kita terus bersiteru seperti ini. Guyskalian juga sayang kan sama Rey?, tanya Shasha kepada teman-temannya, dan mereka pun mengangguk perlahan.
Di sini., Shasha menunjukkan secarik kertas berisikan tulisan tangan Rey yang telah dibacanya. Dalam tulisan ini, Rey pun telah membuka hatinya untuk memaafkan mereka, jauh-jauh hari sebelum akhirnya dia dipanggil oleh Allah. Rey pun memintaku untuk memaafkan mereka dan setelah aku pikir lebih jauh lagi, ternyata apa yang dijelaskan Rey memang benar. Tidak baik bagi kita untuk terus menyimpan dendam dan amarah. Jadimulai saat ini, sudah tidak ada lagi perselisihan di antara kita. Kita semua harus berdamai karena itu juga demi ketenangan Rey di sana. Mengertilah guys., penjelasan Shasha membuat teman-temannya pun merasa terharu.
Ganis, Cita, dan Evi berjalan mendekati Shasha. Mereka pun saling berdekapan.
Okeyaku mau juga maafin kalian. Asalkan kalian tidak mengulangi perbuatan keji kalian yang seperti ini lagi. Juga perbuatan-perbuatan kalian yang banyak merugikan orang lain. Kalian harus bisa berubah!!!, kata Evi.
Yogi pun berkata, Kami janji, kami pasti akan berusaha untuk berubah.
Mereka semua, mereka yang berada di ruangan yang tenang itu pun saling berjabat tangan. Ruangan itu pun menjadi saksi bisu kepastian akan indahnya sebuah perdamaian.
***
Suasana pun menjadi hangat akan persahabatan. Tiada lagi amarah, tiada lagi dendam, dan yang pasti tiada lagi pertengkaran dan perselisihan. Semua insan dalam ruangan itu seakan hanyut dalam derasnya keindahan perdamaian dan rasa saling mengerti.
Tanpa disengaja, ketika Shasha memalingkan pandangannya pada salah satu sudut ruangan kursus yang luas dan penuh akan perkakas multimedia berbalut dinginnya pendingin ruangan dan padatnya kabel komputer, dia melihat seorang yang tidak asing lagi bagi dirinya. Seseorang yang dia lihat tidak lain adalah orang yang sedianya telah meninggalkannya, meninggalkan dia dan teman-teman di sekitarnya selamanya. Namun saat itu, sungguh suasana penuh akan karunia Tuhan dalam hangatnya kekerabatan dan sejuknya kasih sayang. Suasana yang seakan benar-benar telah memberikan suatu rasa tenang, tentram dan damai bagi seorang Rey di alam lain yang lebih indah. Rey telihat tersenyum dengan penuh kebahagiaan dan ketentraman di hatinya. Dengan seketika bayangan itu pun hilang. Seketika itu pula, setangkai mawar putih yang masih menguncup dengan indahnya berada tepat di sudut ruangan tadi, tempat Shasha melihat bayangan kekasihnya. Dia pun berjalan perlahan dan mengambil mawar itu.
Sayangmemang benar. Kau akan selalu ada bersamaku. Kau akan selalu bersemayam abadi di dalam hatiku. Terima kasih. Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan kepadaku juga kepada kami. Semoga kau tenang di sana., tangis haru menyelimuti pancarah wajah Shasha. Teman-teman pun menghampirinya. Suasana saat itu, sungguh suasana tak terlupakan dalam sejarah perjalanan hidup Shasha. Sejak kejadian itu, sejak hari itu, Shasha kembali menjadi pribadi yang selalu cerah, ceria, dan bersemangat.
Mawar putih dalam jiwa Shasha tiada pernah layu. Kekuatan cinta, ketegaran hati yang penuh kasih sayang, membuatnya tetap hidup dan selalu memberi Shasha keharuman sebagai semangat di setiap langkahnya.



@>-->---

Kebumen, 30 September 2009
Novendhy Eka Andhyka
13899/28/XII IPS 3

Powered By Blogger