Selasa, 03 November 2009

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”



Judul      : Birunya Langit Cinta
Penulis   : Azzura Dayana
Penerbit : Qish-U
Tahun     : Cetakan 2, Oktober 2006
Tebal      : 388 hlm.
Harga     : Rp 24.000,-



Daiyah Khairunnisa alias Dey, dikenal sebagai seorang aktivis dakwah yang berprinsip. Ketika baru saja naik ke kelas 3 SMA Citra Negeri di Palembang, sahabatnya, Bella, berusaha menjodohkan Dey dengan Sir Fatah, guru Bahasa Inggris mereka yang baru dan masih muda. Dey tidak memedulikannya. Berbeda dengan Bella yang sering bergonta-ganti pacar, salah satu prinsip Dey adalah tidak berpacaran karena tidak ada konsep pacaran dalam Islam. Sir Fatah sendiri ternyata adalah lulusan pesantren di Jawa Timur yang sempat menjadi tenaga pengajar di beberapa pesantren. Ia pun pernah mengikuti studi pertukaran mahasiswa di salah satu Universitas Islam di Islamabad selama satu tahun.

Karena keadaan darurat dan tidak ada pilihan lain, suatu malam sekitar pukul setengah sebelas, Dey terpaksa berboncengan motor dengan Sir Fatah untuk pulang ke rumah. Ternyata peristiwa itu merupakan siasat Bella untuk menjodohkan Dey dengan Sir Fatah. Baik Dey maupun Bella tidak menyangka bahwa kejadian itu akan berakibat buruk. Di hari-hari berikutnya, Dey menjadi topik utama gosip terbaru dan terkejam di SMA mereka: ia sebagai anak Rohis diberitakan memiliki kedekatan istimewa dengan Sir
Fatah, gurunya sendiri.

Lama kelamaan, Dey dan Sir Fatah sama-sama menyadari dan mengetahui bahwa mereka menyimpan perasaan yang sama, yaitu cinta. Cinta yang belum tepat waktu, yang belum halal di mata Allah. Keteguhan prinsip dan iman memaksa keduanya untuk berjuang mengendalikan perasaan itu. Keduanya lalu memutuskan untuk mengingkari perasaan masing-masing dan saling menjaga jarak. Itulah jalan satu-satunya ketika menikah menjadi pilihan yang sama sekali tidak mungkin terjadi. Hingga pada suatu hari, Dey merasa terguncang saat terdengar kabar bahwa Sir Fatah akan menikah. Dey berusaha untuk tidak memikirkannya dan memfokuskan diri pada persiapan ujian akhir.


Sebagai satu langkah dalam proses melupakan kisahnya dengan Sir Fatah, Dey memutuskan untuk kuliah di Bandung, tepatnya di Unpad. Dalam perjalanan dari Palembang menuju Bandung, Dey berkenalan dengan George alias Jo, seorang lelaki muda berambut agak gondrong yang merupakan teman sebangku Dey di bus. Jo berprofesi sebagai wartawan di Jakarta dan berumur beberapa tahun lebih tua dari Dey. Sepanjang perjalanan, dengan caranya yang unik dan sederhana, Jo berusaha menghibur Dey yang masih merasa kacau. Sebelum berpisah, Jo memberikan kartu nama adik perempuannya di Cirebon supaya Dey bisa menghubungi adiknya.


Sambil menunggu hasil tes SPMB, setelah bertualang ke tempat-tempat tertentu di Bandung, Dey pun berencana mengunjungi Alessandra alias Ale, adik Jo, di Cirebon. Sesampainya di Cirebon, Dey bertemu kembali dengan Jo. Di sana, Jo mengungkapkan isi hatinya bahwa ia bersimpati pada Dey. Kaget dengan pernyataan Jo, Dey segera pulang ke Palembang tanpa berpamitan terlebih dulu pada Jo. Jo mengejarnya, bahkan mengatakan bahwa ia akan menemui Hidayat, kakak Dey, untuk menunjukkan keseriusannya.


Ternyata Jo tidak main-main. Jo bertamu ke rumah Dey, menemui Hidayat, dan memberitahu kakak Dey itu bahwa ia memiliki misi untuk menjadi seorang muslim yang baik, cerdas, dan taat. Semua proses perbaikan diri itu dilakukan Jo terutama agar ia bisa melamar Dey di kemudian hari. Dey merasa bimbang, apalagi ketika mendengar kabar dari sahabat Rohis-nya di SMA, Deswita, tentang Sir Fatah yang tidak jadi menikah. Alasannya pun sangat mengejutkan, yaitu karena Sir Fatah memilih untuk berjihad sebagai panglima Allah ke negeri konflik Palestina. Ketika menghadiri pernikahan Hidayat, Dey bertemu lagi dengan Sir Fatah. Perjuangannya di Palestina ternyata telah menyebabkan Sir Fatah harus merelakan kaki kanannya.


Pada akhirnya, Dey diharuskan untuk memilih. Ia terjebak dalam lingkaran cinta tiga orang laki-laki: Jo, lelaki dewasa yang mapan dan serius memperbaiki diri untuk lebih dekat dengan-Nya; Reno, teman Dey di Rohis SMA dulu yang walaupun masih kuliah, tetapi telah memiliki pekerjaan dan siap menikah; serta Sir Fatah, masa lalunya yang kembali hadir kini. Siapakah yang akan Dey pilih?


*


Tentang cinta, memang ia adalah topik seumur hidup. Yang menjadi bagian terpenting dalam novel ini adalah pelajaran yang bisa diambil dari kisah hidup seorang Dey. Di kalangan aktivis dakwah, tidak jarang cinta pun bersemi sebelum waktunya. Kisah Dey menunjukkan bahwa para aktivis dakwah bukanlah tembok kokoh yang tidak berperasaan. Mereka adalah manusia dengan hati yang lembut dan bisa merapuh jika dihadapkan pada keadaan tertentu. Mereka pun merasakan cinta, menikmati cinta, tetapi mereka selalu memiliki cara untuk mengendalikannya. Mereka juga manusia, tetapi sebagai manusia yang memang tidak pernah lepas dari khilaf, mereka senantiasa memiliki niat dan tekad untuk selalu berjuang agar bisa tetap berada di jalan-Nya.


Novel ini adalah kumpulan dari kecintaan Azzura pada kota kelahiran dan kisah perjalanannya ke empat kota. Gadis yang turut membidani lahirnya FLP Wilayah Sumatera Selatan ini memang memiliki kegemaran jalan-jalan dan bertualang sendirian. Dengan keikutsertaannya dalam organisasi penulis nusantara dan mancanegara tersebut, minat dan bakat menulisnya mulai terasah. Pada 2003, ia berhasil menjadi juara ketiga Sayembara Penulisan Novel Remaja tingkat nasional Gema Insani Press 2003, dengan novel remaja berjudul Alabaster yang mengambil setting di Canberra dan Adelaide, Australia. Di akhir 2004, cerpen “Lampion” menyabet penghargaan terbaik kedua dalam Festival Kreativitas Pemuda yang diadakan atas kerjasama Creative Writing Institute, Direktorat Kepemudaan dan Diknas, serta dibukukan dalam antologi Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (CWI, 2004).


Seperti yang diutarakan Salim A.Fillah dalam sampul buku Birunya Langit Cinta ini, kisah Dey dan tiga orang lelaki dalam hidupnya ini memang senikmat susu coklat. Aromanya harum mewangikan cinta, gizinya memperkaya jiwa. Hangat, memikat! Bacalah, hiruplah keharuman aromanya, teguklah sedikit demi sedikit susu coklat yang penuh gizi ini, dan niscaya Anda akan bisa memaknai birunya langit cinta dari perspektif yang berbeda.


Resensi Novel Eclipse, Gerhana - Stephenie Meyer
















 


Eclipse,Gerhana
Eclipse
Gerhana


Harga
:
Rp 70.000,- *
Ukuran
:
13.5 x 20 cm
Tebal
:
688 halaman
Terbit
:
September 2008
Soft Cover
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Inilah sekuel ketiga dari seri Twilight karya Stephenie Meyer setelah sebelumnya adalah Twilight dan New Moon,Dua Cinta.
Dalam sekuel ini, kisah masih berputar-putar pada Bella Swan, Edward Cullen Masen dan Jacob Black. Selain itu pada buku ke-3 ini Stephenie lebih banyak memberi perhatian pada beberapa rahasia yang akan diketahui pembacanya tentang legenda Werewolf, Imprint (semacam jodoh yang diketahui sejak pandangan pertama bagi para Werewolf ), kisah hidup Jasper dan kisah hidup Rosalie. Sepertinya boleh disebut buku ‘dongeng’ vampir seri ini adalah buku dongeng yang mendongeng.
Meskipun begitu inti cerita sebenarnya adalah bersekutunya antara Vampir dan Werewolf untuk memusnahkan vampir-vampir muda yang jahat,liar dan haus darah yang ‘diciptakan’ oleh Victoria karena dilatar belakangi oleh dendam terhadap Bella atas kematian James, vampir pasangannya. Vampir-vampir muda yang sempat menghebohkan Seattle karena begitu banyak korban berjatuhan akibat ulah mereka. Setelah pasukan vampir ciptaan Victoria ini cukup kuat, mereka berencana menyerang keluarga Cullen untuk menghabisi Bella dan melampiaskan dendamnya. Sayang rencana mereka sudah di ketahui oleh Alice yang memiliki kekuatan bisa membaca masa depan dan pikiran, sehingga perang antar vampirpun tak bisa terelakkan. Demi mengetahui musuh yang dihadapi begitu banyak maka keluarga Cullen akhirnya mempertimbangkan untuk bersekutu dengan Jacob Black dan kawan-kawan untuk mensukseskan misi memusnahkan vampir-vampir baru tersebut.
Kisah dibuka dengan masih marahnya Charlie, ayah Bella terhadap Bella dan Edward kerena Bella pernah ‘menghilang’ 3 hari dan akhirnya pulang kembali ke rumah dengan Edward yang telah meninggalkan Bella sebelumnya selama kurang lebih 6 bulan. Charlie memberlakukan ‘jam malam’ dan mengurung Bella tidak boleh keluar rumah setelah pulang sekolah. Jika Edward datang ke rumah untuk menemui Bella Charlie akan menunggui mereka sampai Edward pulang dengan tatapan penuh selidik khas polisi. Tentu saja Charlie tidak tahu jika setelah pulang lewat pintu utama dan Bella masuk kamar, Edward menyusul kekamar Bella seperti malam-malam biasanya. Dasar.
Bella masih merasa bersalah terhadap Jacob. Setelah Jacob ‘menjahit’ lukanya akibat ditinggal Edward, Bella ingin menemui Jacob untuk menyambung kembali hubungan ‘persahabatan’ yang terputus setelah Edward datang. Edward tentu saja sangat tidak setuju dengan keinginan Bella untuk menemui Jacob karena kawatir akan keselamatannya jika bergaul dengan ‘serigala’. Bukan Bella namanya jika tidak nekat, saat Edward berburu di hutan, Bella akhirnya pergi ke La Push untuk menemui Jacob Black. Edward sangat marah begitu tahu Bella bergi ke sana dan kembali dari berburu. Setelah negosiasi dengan Alice akhirnya Alice bersedia ‘menyandera’ Bella saat Edward berburu. Tapi rupanya, Jacob juga tidak tinggal diam mengetahui Bella ‘di sandera’, petualangan kedua dengan Jacob akhirnya terjadi juga.
Selang beberapa waktu, terjadi insiden mengerikan di Seattle. Banyak warga seattle terbunuh secara misterius. Keluarga Cullen mengetahui hal itu terjadi akibat ulah vampir baru yang masih liar dan haus darah. Di lain kesempatan terjadi juga insiden, Victoria melintas di perbatasan wilayah keluarga Cullen dan Werewolf. Sempat terjadi ketegangan antara kelurga Cullen dan beberapa anggota Werewolf sehingga Victoria berhasil meloloskan diri.
Saat Bella di sandera Alice di rumahnya, terjadi insiden di rumah Bella. Beberapa potong pakaiannya serta bantal yang biasa dia gunakan sehari-hari lenyap. Semula Bella menduga Alice yang mengambil karena saat ‘disandera’ Alice sempat mengambil juga piyama untuk Bella tidur di rumahnya. Tapi semua kecurigaan akhirnya bermuara pada munculnya berita yang semakin mencekam Seattle dan munculnya Victoria di perbatasan beberapa waktu lalu.
Setelah mengetahui hal tersebut, seluruh keluarga Cullen melakukan rapat intensif membahas hal itu. Pertimbangan-pertimbangan telah di rencanakan namun tetap saja kekurangan tenaga karena pasukan yang ada ternyata tidak memadai untuk membereskan Vampir-vampir muda tersebut. Masalah menjadi buntu.
Edward akhirnya mengijinkan Bella untuk pergi ke La Push setelah mengetahui dia bisa pergi dan pulang dengan selamat dan Jacob ternyata juga bisa dipercaya. Saat dilakukan pesta api unggun dengan para sesepuh dan anggota Werewolf di La Push, Bella akhirnya tahu kisah legenda tentang Werewolf dan mengapa mereka begitu membenci vampir yang dikisahkan oleh Billy Black dan kakek Quil.
Di lain waktu Jasper juga bercerita kenapa dia memiliki kemampuan untuk menaklukkan vampir muda serta kisah bagaimana dia bisa menjadi vampir.
Saat pesta kelulusan yang dirayakan di rumah keluarga Cullen, ternyata Jacob Black datang bersama teman-temannya. Alice tentu saja sangat marah mengetahui mereka masuk ke rumah keluarga Cullen. Tapi Jacob ternyata berininsiatif untuk membantu kelurga Cullen memusnahkan para vampire muda tersebut. Setelah pesta usai mereka akhirnya melakukan pertemuan lanjutan untuk membahas lebih detil masalah teknis yang berhubungan dengan apa saja yang harus dilakukan saat nanti berperang dengan Vampir-vampir muda tersebut. Bagaimana serunya pertempuran antara vampir-vampir muda yang masih liar dan haus darah itu dengan keluarga Cullen dan di Bantu oleh para Werewolf? Ikuti kisah selengkapnya di buku ke-3 seri Twilight ini!.
Bulu Kuduk
“Respons Jacob lebih mudah dibaca waktu aku sampai ke bagian tentang Volturi. Rahangnya terkatup rapat, bulu kuduk di kedua lengannya meremang…” (hal. 122)
“Bisa kurasakan embusan napasnya yang dingin membasahi helai-helai rambutku saat ia mengembuskan napas; bulu kuduk di tengkukku langsung meremang.” (hal.238)
Lagi-lagi soal bulu kuduk. Sempat disinggung di buku sebelumnya tentang bulu kuduk ini tapi rupanya hal itu masih saja muncul di buku ke-3. Ya, bulu kuduk yang tidak konsisten itu ada lagi kadang di tengkuk kadang di lengan, hehhe…
Masalah bulu kuduk yang tidak konsisten memang agak mengganggu tapi yang lebih mengganggu adalah si tokoh utama Bella Swan yang sepertinya juga ikut-ikutan tidak konsisten. Seperti biasanya Bella yang justru memperumit keadaan karena sikapnya terhadap Jacob yang membuat Jacob seperti di beri harapan. Jacob sangat sadar Bella juga menyukainya sehingga dia juga tidak pernah lelah untuk berusaha. Selama janur kuning belum melengkung masih milik umum kan? Eh, tapi disana kalo nikah gak pake janur kali ya…:p
Bella dikisahkan juga mencintai Jacob dan ingin juga Jacob berada di sisinya seperti saat Edward tidak bersamanya, meskipun cintanya yang paling besar adalah terhadap Edward. Bella juga masih merengek untuk di jadikan Vampir oleh Edward meskipun Edward sendiri,Jacob dan Rosalie sangat menganjurkan Bella untuk berpikir masak-masak sebelum memilih hidup menjadi Vampir.
Stephenie sepertinya sangat mengerti karakter remaja berumur 18 tahun yang memang cenderung plin-plan dan menjengkelkan. Sehingga Bella dalam menentukan sikap, memahami isi hatinya sendiripun juga kadang terlihat masih kesulitan. Oleh sebab itu Stephenie tidak mengakhiri ‘kemanusiaan’ Bella di buku ini karena pada kenyataannya Bella masih penuh kebimbangan khas anak muda.
Membaca buku Twilight seri ke-3 dengan tebal 684 halaman ini, masih terasa mengasyikkan. Kisah yang dibangun masih nyambung dan benang merahnya tidak terputus. Porsi penceritaan tokoh-tokohnya juga semakin banyak dan gamblang, diceritakan satu persatu. Kisah yang disajikan juga semakin seru. Pertarungannnya dikisahkan dengan mendetail sehingga membangun ketengangan yang berasalan. Tidak seperti di New Moon yang hampir tidak ada pertarungan yang dideskripsikan secara detail oleh Stephenie.
Proses penceritaan memang agak terasa ‘dipanjangkan’ dengan hadirnya dongeng-dongeng yang di dongengkan oleh tokoh-tokohnya sehingga buku ini menjadi sedemikian tebal. Tapi untungnya penceritaan yang di tulis cukup menarik dan menjadi mata rantai kisah seri Twilight ini.
Akankah kisah Breaking Dawn masih memiliki sisi menarik untuk dibaca? Kita tunggu saja ya yang versi Indonesia terbitan GPU.

Resensi Novel De Winst





 



Judul Buku: De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme
Penulis: Afifah Afra
Penerbit: Afra Publishing, Indiva Media Kreasi
Waktu Terbit: Januari 2008
Halaman: 336; 20,5 cm



 



SEMACAM apakah tatanan dunia tujuh puluh tahun yang akan datang, saat terjadi
pergantian milenium? Apakah peradaban akan disetir oleh kalangan yang paling
kuat secara ekonomi? Yang jelas, kehidupan saat ini hingga pada masa yang akan
datang telah disketsa oleh para pemuja De Winst.

Renungan Sekar Pembayun itu dengan galau menutup 22 bab plus epilog novel
sejarah karya Afifah Afra ini. Setahun sebelum cerita dipungkas oleh Sekar di
pengasingan, kisah bermula dengan kedatangan Rangga Puruhita dari pendidikan
sarjana ekonomi di Leiden, Belanda.

Pulang menyandang yudisium tertinggi, kecendekiaan Rangga langsung digedor oleh
ketertindasan kaum pribumi. Masuk sebagai bagian elite dalam sistem ekonomi
kapitalisme pabrik gula, tak cukup membuat perbaikan menjadi nyata. Perjuangan
dari dalam terlalu mempermainkan kesadaran akal sehatnya. Hingga di puncak
pembelaan terhadap warga yang menuntut keadilan harga sewa tanah, Rangga justru
mendapat putusan pecat. Pertemuan dengan Eyang Haji dan usahawan muslim turut
menguatkannya untuk memilih jalan lain yang lebih leluasa dan berdampak nyata:
perlawanan dengan pemberdayaan.

Pematangan kesadarannya itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh interaksi dengan
Kresna (misterius), Pratiwi, Sekar, dan Jatmika yang lebih dulu terlibat dalam
perjuangan Partai Rakyat. Salah satu sulut buat Rangga juga ialah kehadiran
sosok antagonis, Jan Thijsse yang menjadi kepala pabrik gula baru dengan
kapitalisme destruktif dan mental penjajah tulen. Belum lagi fakta bahwa Thijsse
ternyata suami Kareen, sosok wanita Belanda yang pernah menarik hati Rangga
ketika sekapal dalam perjalanan pergi-pulang Indonesia-Belanda. Ditambah dengan
kisah tradisi keraton yang menjerat Rangga dan Sekar, maka seiring itu pula
kisah cinta merambatkan julur dan membelit-belit jalan cerita.


Tanpa bertopeng kata, novel ini jelas menghadirkan tiga ideologi sekaligus:
Islam, kapitalisme, dan sosialisme-marxisme (bukan komunisme). Memang inilah
ideologi yang menyemangati panggung sejarah Indonesia jelang kemerdekaan-
-kecuali kapitalisme (dan imperialisme) sebagai musuh bersama. Soekarno dalam
Suluh Indonesia Muda (1926) menyebutnya (plus nasionalisme) sebagai tiga sifat
bagi "njawa pergerakan rakjat" di Indonesia dengan maksud sama: Indonesia
merdeka (Soeripto, 1962).

Sayangnya, novel yang telanjur eksploratif dan mencerahkan ini belum
habis-habisan dalam menguak keempat isme itu. Penyebutan nama terkait ideolog(i)
besar dunia pun masih terkesan cuma selayang pandang. Kecuali memang,
kapitalisme jelas jadi bulan-bulanan. Ini pun seperti tanpa "pembelaan" memadai,
karena ideologi mendunia itu dipersonifikasikan secara berlebih kepada moralitas
seburuk Jan Thijsse.

Kapitalisme sendiri terlembaga dalam pabrik gula. Secara ekonomi, industri ini
memang memberi kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Hanya, harapan untuk
menemukan kiprah terorganisasiperger akan muslim dalam novel karya peraih FLP
Award 2002 ini, justru masih belum cukup terpuaskan. Padahal dengan latar pabrik
gula, pembaca seakan digoda dengan ingatan sejarah perlawanan pesantren di
nusantara yang sepertinya belum banyak mengemuka. Kawasan pakauman yang biasanya
berdiri "menantang" di dekat pabrik gula dapat menjadi indikasi awalnya.


Secara keseluruhan layak diakui, De Winst relatif mampu menyegarkan beragam hal
secara reflektif utamanya seputar visi kemajuan, misi kemandirian, intensi
keadilan, dan obsesi kesejahteraan berkerangka keindonesiaan dan tantangan
globalisme. Kesemuanya benar-benar dalam atmosfer idealisme, dan sesuai dengan
kadarnya, juga romantisme.

Kalau Deddy Mizwar sempat risau, sebab belum ada lagi film baru bertema
kebangsaan di momen 100 tahun kebangkitan nasional seperti sekarang (sehingga
menayang ulang Nagabonar), maka dari dunia novel, karya penulis FLP ini seolah
turut menjawab kerisauan itu--dan mungkin kerinduan kita semua. (Zaki
Fathurohman, mahasiswa Institut Pertanian Bogor)***

Catatan tambahan resensi Hartati Nurwijaya;
Karena saya belum membeli buku ini disebabkan kendala lokasi di luar Indonesia. Namun saya mencoba memberikan sedikit resensi bagi kafer Dew Winst. Sangat disayangkan jika isi buku Dew Winst yang sangat menarik, tidak diimbangi oleh design kafer yang bagus. Warna kafer buku ini sangat gelap dan dari gambar yang ditampilkan tidak menunjukkan bawah ini novel sejarah yang berbau politik. Dari kafernya tampak lebih seperti novel percintaan yang buram dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan isinya.




Resensi Novel: Matinya Semangat jihad


Membeli & membaca novel merupakan peristiwa langka, karena penulis kurang begitu suka novel. Tetapi novel ini begitu menarik perhatian, karena penulisnya (Ed Husein) secara berani menelanjangi pemikiran dan pergerakan dalam islam; misalnya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, wahhabi, sufi. Karena berbentuk novel itulah letak asyiknya, mempelajari berbagai macam ideologi pergerakan dalam suatu alur cerita.


Kita akan dibawa berpetualang dari halaqah ke halaqah, usrah ke usrah. Menengok organ dalam hizbut tahrir, perbedaan ideologi mendasar dengan pergerakan lain. Membayangkan suasana yang sangat tidak simpatik dan mengerikan dalam suatu masjid yang terdapat aktivis IM, Hizbut Tahrir dan Salafy sekaligus.
Dikotomi antara ‘Muslim setengah-setengah’ dan ‘Muslim Sejati’ (islamisme, islam pergerakan) yang cenderung radikal berdasarkan pemikiran Abul Ala Maududi dan Sayyid Qutb. Kemudian membahas tentang Hizbut Tahrir dan pemikiran pendirinya, Taqiuddin Nabhani yang mencakup porsi cukup banyak, hampir dua pertiga isi buku. Karena menurut pengakuan pengarangnya aktif di gerakan ini. Sesekali diselipkan juga sejarah munculnya pergerakan tersebut; Jama’ah Islamiyah, Ikhwanul muslimin dan Hizbut Tahrir serta biografi sedikit para pendirinya.
Simak kutipan tulisan dalam rangka perjalanan spiritual pengarangnya, misalnya mengenai masa-masa bergabung dengan Hizbut Tahrir:
“….Muslim yang saleh biasanya menghindari mengucapkan kata-kata kotor, tetapi di Hizbut Tahrir hal itu menjadi kebiasaan ketika berdebat dengan para Islamis, mengutuk kuffar..” (hal 132)
Sedikit menyinggung ideologi kristen di hal 249:
“Dan keseluruhan ide tentang trinitas, meskipun sekuat tenaga berusaha kupahami, selalu terlihat aneh bagiku.”
Pengakuan jujurnya yang mungkin bisa juga sebagai introspeksi bagi kita semua:
“Karena begitu berkomitmen penuh pada islam dan umat Muslim serta sangat berkeinginan mewujudkan pemerintahan yang berdasarkan pada al Quran, aku malah tak menyentuh kitab sucinya sama sekali.” (hal. 250)
Tentang Wahhabi dan Arab Saudi:
“Wahhabi adalah mazhab yang sangat literer. Metafora, alegoris, cinta dan pemahaman yang diluar pengertian manusia tidak berarti bagi mereka. Mereka benar-benar kasar kepada orang-orang islam yang mengungkapkan cinta dan dedikasinya kepada Nabi Muhammad. Bagi Wahhabi, hal itu hampir menyerupai ibadah dan karenanya menjurus kepada musyrik.” (hal. 314)
Halaman berikutnya mengupas sejarah kemunculan Wahhabi yang berdarah-darah, penuh dengan pembantaian.
“Mereka tidak hanya membunuh orang-orang islam dari kalangan Sufi dan Syi’ah, tetapi dengan sengaja bermaksud membinasakan siapa saja yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad, yang ditempat itu dikenal sebagai sayyid atau Ashraf.”(hal. 316)
Berbagai kritik blak-blakan lainnya terhadap kehidupan sosial, politik, hijab dan seksualitas di negeri Arab Saudi patut diacungi jempol.
Kekhawatiran terbesar terhadap terbentuknya negara islam sebagai berikut:
“…sebagian besar umat islam tahu bahwa Islam syi’ah memisahkan diri dari Islam Sunni yang menjadi arus utama disebabkan perang saudara dalam tubuh agama kita. Detail sejarah dari peristiwa ini adalah topik yang kebenarannya mereka klaim sendiri, namun kita tidak akan senang jika harus melupakan bahwa negara yang disebut-sebut sebagai negara Islam Bani Umaiyah itu telah membunuh cucu Nabi Muhammad, Imam Husain dan anggota keluarga lainnya. Kalangan Islamis, pakar dalam hal memutarbalikkan sejarah, melihat adanya sebuah pelajaran dibalik ini: oposisi terhadap negara yang disebut-sebut negara islam memberikan justufikasi untuk membunuh orang-orang islam, sekalipun ia adalah keturunan keluarga Nabi Muhammad sendiri….”(hal. 376)
Hasil akhir akan membuat kita tercenung dan merenung, mengintropeksi diri. Walaupun tidak harus MELULU menyetujui pola pikir pengarangnya. Seperti dalam kalimat berikut:
“Pemisahan berdasarkan jenis kelamin, diperburuk lagi oleh kerudung, telah menimbulkan budaya frustasi seksual yang terkungkung dan kemudian tersalurkan dengan sendirinya melalui jalan yang paling tidak sehat. Berjuta-juta pemuda Saudi tidak diijinkan membiarkan seksualitas mereka berkembang secara alami, sehingga akibatnya mereka melihat lawan jenis hanya sebagai obyek seks.”



============================================
Judul: Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan seorang Islamis
Pengarang : Ed Husein
Tebal: 390 hal
Penerbit: alvabet
Cetakan: 1, Juli 2008
============================================

RESENSI NOVEL KOLABORASI : PUING


 
RESENSI NOVEL KOLABORASI : PUING
R A N A H oleh Rando Torben Oroh
 
Update : 2005-03-22 19:18:27
Ada Apa Dengan Kematian? Judul Buku: Puing           
Pengarang: (Kolaborasi 9 Pengarang) Anna Budiastuti,
Arief Hamdani, Bondan Winarno, Gredika Noor Hanes,
Irvan Sjafari, Priatna Ahmad Budiman, Suzana
Widiastuti, Suzana Hadjarati, dan Violeta Narcissus.
 
Penerbit : The BeBoP Publishing
Cetakan I: Februari, 2005
Tebal : xi + 286 ha 
 
Mengapa orang tak boleh menentukan kapan saatnya untuk
mati?, ini adalah suara Azumi, seorang ilmuwan biologi
molekuler yang muda, cantik dan sedang menjadi
perhatian kalangan ilmuwan karena kecerdasan teorinya.
Azumi bercita-cita untuk menjadi The Death Buster, dan
dia benar-benar berusaha untuk mewujudkan dengan
melakukan riset-riset dilaboratorium. 
 
Tema after_life (kematian) yang sedang digeluti oleh
Azumi tidak terlepas dari latar belakang kisah
hidupnya, dimana ketika dirinya baru berusia enam
tahun, Mamanya meninggal karena melahirkan adiknya,
Aya, yang beberapa bulan setelah kelahirannya juga
meninggal akibat serangan tumor ganas di otaknya.
Kematian Mama dan Aya sangat berpengaruh besar pada
psikologis Doctor Azumi hingga dewasa. Dirinya
menyalahkan bapaknya yang tidak punya perhatian
terhadap keluarga, dan hanya sibuk menenggelamkan diri
dilaboratorium. 
 
Azumi tidak pernah memaafkan Bapaknya namun akibat
kebenciannya tersebut, memunculkan perasaan kuat untuk
menandingi Papanya, sehingga Doctor Azumi pun terjebak
dalam lumpur yang sama digeluti oleh Papanya. Sampai
akhirnya, Azumi mengakui bahwa hidup ini absurd dan
dirinya menantang kehadiran Sang Maut.
 
Itulah salah satu cerita dari beberapa cerita berbeda
dari kisah-kisah para tokoh dalam novel Puing. Masing
masing cerita memiliki tokohnya sendiri dan
kisah-kisahnya sendiri. Namun ada satu kesamaan dari
semua cerita tersebut adalah after_life (kematian).
Atas dasar pengalaman-pengalaman para tokoh, yang
memiliki orang terdekat yang meninggal, berkumpulah
mereka dalam sebuah mailing list bernama after_life.
Di milis (mailing list) inilah mereka berjumpa maya,
saling berkenalan di dunia virtual, dan berbagai
cerita tentang kematian.
 
Seperti misalnya kisah Maia, seorang lesbian, yang
mengakhiri profesinya sebagai pecatur handal karena
kekasihnya meninggal. Namun, ketika cinta mulai
bersemi kembali di hati Maia, dirinya harus mati
karena ledakan bom milik teroris disebuah hotel
kawasan Kuningan Jakarta. Maia mencintai kalyana, yang
juga seorang pecatur muda namun sudah berhasil
memperoleh gelar pemain terbaik pada sebuah kejuaraan 
nasional. Namun sesungguhnya, Kalyana berbeda dengan
Maia, sebab Kalyana sempat jatuh hati pada Yana, lawan
tandingnya.
 
Membaca Puing, kita tidak harus memulainya dari
halaman depan bab pertama, selayaknya membaca novel
lain. Puing adalah sejenis kumpulan cerpen dari
sembilan pengarang yang kebetulan memiliki tema yang
sama dan bertemu di milis after_life. Pembaca dapat
membacanya terbalik, dari belakang, bab terakhir, lalu
berurut kedepan bab pertama. Atau secara acak dari
tengah lalu meloncat ke bab mana saja. Ini seperti 
dunia matriks. Namun meski demikian, pembaca tetap
bisa merangkumnya sebagai satu kesatuan cerita novel.
 
Novel Puing merupakan terobosan baru dalam ranah
sastra di negeri kita. Selain di tulis secara
bebarengan, proses kreatif yang lahir dari dunia
virtual juga cukup unik. Rangkaian kisah dari
lorong-lorong internet, dengan logika dan semiotika
digital, memberikan nuansa dan rasa baru. Hal ini
menjadikan sastra cyber sudah pantas diakui sebagai
genre yang dapat disejajarkan dengan karya-karya
sastra genre lain atau sebelumnya.
 
Sembilan pengarang yang mengaku diri sebagai The
Morons memiliki latar belakang profesi dan pengalaman
yang berbeda. Bahkan dari segi usia pun, mereka cukup
beraneka ragam. Namun di dunia virtual, ruang dan
waktu seperti hilang. Usia dan latar belakang menjadi
tidak penting. Siapa saja dapat bermain bersama, meski
jarak mereka di dunia nyata cukup jauh. Pada bab awal
dan terakhir yang berjudul, ;Akhir yang mengawali; dan
Awal yang mengakhiri; adalah jembatan utama yang
menghubungkan kisah-kisah dalam Puing. 
 
Dalam dua bab kunci tersebut bercerita, rencana mereka
para anggota milis after_life untuk melakukan kopi
darat pada suatu hari dengan dikoordinir oleh Doctor
Azumi yang kebetulan pada saat itu juga sedang
menggelar seminar di hotel tersebut. Para anggota dari
luar Jakarta berdatangan dengan penuh antusias, karena
rasa penasaran ingin berjumpa anggota lain di milis
after_life. Namun sungguh tragis, karena pada saat
pertemuan itu berlangsung, hotel tempat mereka
berkumpul di Bom oleh teroris, sehingga kemungkinan
dari para anggota itu mati. Hanya dua orang yang
selamat, karena tidak bisa menghadiri kopi darat
tersebut, karena kesibukan masing-masing. Namun ketika
terjadi ledakan dahsyat tersebut, mereka berdua
mengetahui dan sedang chating satu sama lain.
     
Dengan terbitnya novel Puing, membuktikan bahwa
Science Fiction (SF) segera siap-siap menjadi
primadona menggeser novel-novel Chicklit dan Teenlit.
Sebelumnya juga ada Trilogi Supernova karya Dee, Area
X, Hymne Angkasa Raya karya Eliza V. Handayani, dan
Anomali karya Santo Pay. Barangkali sudah saatnya
pembaca menikmati karya fiksi ilmiah yang disebut oleh
Taufik Ismail sebagai karya novel pintar.
 
 
catatan : Novel Kolaborasi Puing bisa didapatkan di QB
dan Gramedia

Resensi Buku Jack Si Pelompat – Philip Pullman




 Jack si Pelompat
Kisah tentang Keberanian dan Kejahatan

Harga : Rp 17.000,- *
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 128 halaman
Terbit : September 2008
Soft Cover

—————
Philip Pullman yang pernah sukses dengan novel yang kemudian  difilmkan dengan judul yang sama The Golden Compass yang dibintangi Nicole Kidman, kini hadir dengan kisah terbarunya, Jack Si Pelompat (Spring Heeled Jack, Kisah Tentang Keberanian Dan Kejahatan).
Dengan genre cerita anak-anak, Pullman masih menyelipkan kisah tentang keberanian yang juga dituangkan dalam kisah sebelumnya di Trilogi The Golden Compass, yang mengungkapkan keberanian tokoh Lyra.
Ini buku paling tipis alias paling sedikit halamannya yang saya baca minggu ini, di antara tumpukan buku-buku tebal semacam Eclipse,Maximum Ride,Dongeng Ketiga Belas. Jadi jangan kaget jika buku ini bisa dibaca dalam sekali lahap.
Kisah dalam cerita Jack Si Pelompat ini tokoh-tokohnya benar-benar dibuat ‘hitam-putih’. Yang baik, baiikk…banget, yang jahat, jahaaaattt… banget. Jadi gampang sekali membedakannya, maklum ceritanya kan memang buat anak-anak hahaha…
Lawan utama si Jack ini adalah Mack si pelempar pisau. Konon ceritanya si Jack ini punya kemampuan melompat karena bantuan per yang ada di tumit sepatu botnya, mungkin kalau didramatisir jika si Jack melompat akan berbunyi twuing… twuing… twuinggg…
Selain Jack, tokoh-tokoh yang mewarnai kisah ini ada Rose, Lily, dan Ned. Mereka adalah anak-anak yang kehilangan orangtuanya yang kabarnya tenggelam sewaktu berlayar di Samudera Hindia. Mereka akhirnya ‘terdampar’ disebuah panti asuhan di London yang diurus oleh pengurus jahat bernama Mr. Killjoy (ada-ada saja nih Pullman kasih nama) dan Miss Gasket.
Satu-satunya harta yang masih tersisa dan mengingatkan mereka pada orangtua adalah sebuah liontin yang berisi foto ibu mereka.
Karena tidak tahan didera oleh penderitaan selama 18 bulan di panti asuhan, tiga bersaudara itu nekat melarikan diri dari panti asuhan. Setelah lolos dari panti asuhan mereka lari-lari ditemani anjing kampung yang diberi nama Spangle. Malang, ketika berteduh dan ingin pergi ke pelabuhan, obrolan mereka didengar oleh Mack si pelempar pisau yang jahat, yang punya hobi sembunyi di tong sampah.
Karena mendengar ketiga anak itu memiliki harta yang bisa dijual, yaitu liontin, Mack akhirnya menyandera salah satu dari mereka. Sesaat kemudian Jack muncul dan menyelamatkan Rose dan Lily, dan meminta bantuan seorang gadis bernama Polly untuk melindunginya.
Sayangnya, Polly meskipun baik hati, dia sedikit kurang pandai membaca situasi. Saat Mr. Killjoy mengetahui tempat persembunyian ‘anak-anaknya’ yang hilang, Polly malah menyerahkan mereka. Ia mendengar Mr. Killjoy mengoceh tentang panti asuhannya yang kehilangan anak-anak dan ingin mereka kembali karena ia sangat menyayanginya. Akhirnya Rose dan Lily kembali ke panti asuhan lagi dan liontin jatuh ke tangan Mr. Killjoy.
Padahal, alasan utama Mr. Killjoy dan Miss Gasket mati-matian mengambil kembali anak-anak tersebut adalah karena ada Klausul 44, semacam aturan dari yayasan panti asuhan tersebut.
Bunyi Klausul 44 itu adalah:
“Gaji para pengasuh akan dibayar hanya bila isi panti mencapai angka maksimum, dan akan dihentikan pembayarannya bila tidak mencapai angka tersebut, dan tidak akan dibayarkan hingga kekurangan dipenuhi.”(hal. 23)
Bahasa sederhananya; kalau jumlah anak pantinya tidak memenuhi jumlah maksimal maka pengurusnya tidak akan mendapat bayaran.
Sementara itu Ned yang berada dalam sekapan para penjahat gerombolan si Mack, begitu tahu tampang-tampang mereka langsung komentar usilnya keluar:
“Mestinya kau menjual tampang mereka ke pabrik keju, untuk mengasamkan susu. Kau bisa menjual tampang mereka ke tukang pos untuk menakuti anjing. Kau juga bisa menjualnya ke perkumpulan antimabuk untuk dipajang dengan tulisan: Halusinasi karena minuman beralkohol.”(hal. 33)
Senangkah mereka mendengar komentar usil Ned? Haha… tentu saja tidak!
Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya dengan mereka? Akankah Jack bisa menyelamatkan mereka dari pengurus panti asuhan yang jahat dan membebaskan Ned dari Mack?
Buku yang sebenarnya dibuat untuk genre anak-anak tak jarang diminati juga oleh orang dewasa. Terbukti, seperti buku Donald Bebek,Doraemaon, dll, yang membaca adalah orang dewasa. Jangan bilang Anda tidak pernah baca…. Hayo ngaku….
Kisah yang sederhana dan cukup seru untuk dibaca bisa didapat pada karya Pullman ini.
Buku Jack Si Pelompat ini juga dilengkapi dengan ilustrasi  semacam komik pendek di sepanjang isi bukunya, dan font size-nya dibuat besar-besar hingga buku ini memiliki keterbacaan yang tinggi.
Moral yang terkandung di dalamnya memang seperti yang sudah-sudah: kejahatan itu pada akhirnya akan kalah juga oleh kebaikan… Jadi, jika Anda sudah bosan dengan buku-buku novel ‘serius’ buku ini bisa jadi pilihan, ceritanya segar dan ringan, bukunya pun cukup tipis, lumayan untuk sedikit mengendurkan saraf muka…:D, bisa dijadikan dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.

Resensi Novel Saka Rita Zahara

Keris dan Harakiri ala Jepang











Judul Buku: Saka
Penulis: Rita Sahara
Cetakan: I, Januari 2006
Penerbit: Grafindo Litera Media
Tebal : 320 hlm

Buku ini menceritakan seorang gadis bernama Rana san yang berteman dengan lelaki pintar, cerdas asal Jepang, Shin Nakahara namanya. Biasa dipanggil Shin. Keduanya adalah mahasiswa. Waktu berganti waktu pertemanan mereka berbuah cinta. Namun percintaan itu berjalan begitu rumit dan pelik. Cukup sulit mengungkapkan perasaan keduanya.
Shinji seorang yang menyukai keris, senjata kuno khas Jawa. Bentuknya yang meliuk-liuk begitu menarik hatinya. Kebetulan Rana san memiliki kenalan pembuat keris. Diskusi tentang senjata Jawa itu cukup mengesankan bagi Shin, hingga ia memiliki keinginan untuk memesan satu keris untuk dibawa pulang ke tanah asalnya, Jepang.
Setelah mendapatkan pesanannya, Shin menghilang entah kemana. Kisah cintanya dengan Rana san juga ikut mengambang. Hingga pada suatu ketika Rana san mendapat surat dari negeri matahari itu, atas nama keluarga Shinji Nakahara, yang memberitahukan bahwa Shin telah meninggal, karena bunuh diri. Mengapa semua itu bisa terjadi dan apa alasan shin melakukan tindakan itu. Semua masih samar-samar.

Si penulis menuangkan ide dalam novel ini tentang perpaduan antara dua budaya, yaitu kebudayaan negeri Jepang dan Indonesia khususnya Jawa. Kebudayaan keduanya juga cukup berbeda dalam hal pola berpikir manusianya dan cara pandang terhadap sesuatu. Dengan ide dasar akan tingginya angka kematian akibat bunuh diri di Jepang novel ini meramu cerita percintaan dengan aspek sosiologi, antropologi dan psikologi.
Buku ini lebih menggambarkan cerita secara deskriptif, detail dan cara pengungkapan latar geografis ceritanya juga menarik, hampir mirip dengan kehidupan nyatanya. Novel ini terkesan realis yang dipadi dengan gaya penulisan populer. Penulis yang berlatarkan seorang peneliti ingin mengungkapkan bahwa karya sastra juga bisa dinilai menarik jika memiliki bukti riset penelitian yang detail, dan kuat. Pilihan diksinya pun juga sederhana, hampir mirip semacam penulisan diary, apa adanya.

Buku ini menarik dibaca karena ada warna unsur kebudayaan yang akan menambah wawasan kita terhadap kebudayaan negeri sakura itu. Pengetahuan akan nilai kehormatan bagi seorang jepang yang rela membunuh dirinya (harakiri) seolah menajdi tradisi bagi bangsanya.
Tapi cukup disayangkan, apa motivasi dibalik cerita bunuh diri dalam novel ini belum juga terungkap, seolah mengambang begitu saja, sama juga kisah percintaannya. Apakah penulis ingin menghadirkan akhir yang mengambang sehingga mampu membuat pembaca terus penasaran dan memutuskan biarlah sang pembaca akan bebas mengintrepetasikan isi ceritanya.


Minggu, 01 November 2009

sOAL-sOAL STAN

Sobat...
buat kamu yang butuh soal-soal STAN...
dunlud ae di sini...
GRATIS....!!!!!!

1. latihan_usm_06
2. soal_d3_khusus_2007
3. usm_00
4. usm_01
5. usm_02
6. usm_03
7. usm_04
8. usm_05
9.usm_99



happy succes....    

Powered By Blogger