MONYET itu kembali lagi. Dia sudah dua tahun menghilang entah ke mana rimbanya. Badannya lusuh —kurus, mata sayu dengan sedikit sisa tahi mata yang masih melekat. Bulu badannya juga tidak terurus seperti dua tahun yang lalu. Ekornya yang panjang menjuntai, kotor dan sangat tidak sedap dipandang. Belum lagi bau badannya yang menebar ketika angin menampar badannya dan membawanya hingga ke rongga hidung. Ah, alangkah busuknya. Pendek kata, dia tidak terurus.
Si Gelis, nama monyet itu. Si Gelis sangat dimanja oleh Cecep Suryana, tuannya yang selalu membawanya saban hari mengelilingi pinggiran kota dan menghibur anak-anak dengan berbagai atraksi. Dengan uang lima ribu rupiah, segerombolan anak-anak sudah bisa menikmati Si Gelius menari, bermain payung layaknya seorang wanita cantik menghindari hujan atau teriknya sengat matahari. Si Gelis juga memainkan kepiawaiannya memetik senar gitar, tentu saja gitar mainan yang sengaja dibuat tuannya dengan proporsi badan Si Gelis. Tidak hanya itu, Si Gelis juga mahir berakrobat; sesekali dia mempertontonkan kebolehannya bersalto layaknya seorang jago kungfu menghindari serangan lawan. Anak-anak pinggiran kota yang merasa terhibur kejenakaan Si Gelis tertawa terbahak-bahak. Senang.
Menjelang petang, tuannya beristirahat di sebuah kedai. Cecep sesekali memesan kopi panas melepas penat keseharian. Tentu saja Si Gelis tidak mendapatkan haknya minum kopi, melainkan beberapa potong pisang barangan murahan menjadi bagiannya. Itu pun tidak lebih dari tiga buah walaupun lapar Si Gelis sudah mendobrak lambung perutnya yang kecil itu. Ketika orang-orang bermurah hati, Si Gelis mendapatkan sedikit kacang goreng yang disisikan beberapa tamu warung atau siapa saja yang dijumpainya. Rezeki itu tidak saban hari diterimanya.
HARI itu, Cecep apes. Sudah berkilo-kilo meter kakinya berkeliling pinggiran kota, ya - daerah sub urban yang biasanya menjadi langganannya. Kali ini dia tidak mendapatkan satu pesanan pun dari anak-anak. Namanya saja anak-anak yang meminta hiburan, sesungguhnya yang membayar adalah orang tua mereka. “Sayang anak,” begitulah ungkapan umum yang kita dengar. Setengah mati tangannya menabuh genderang kecil sembari memikul Si Gelis, namun rezeki tak kunjung tiba. Cecep frustrasi. “Hari ini aku apes. Tuhan tidak adil!” Begitulah desahnya dalam hati. Bukan tidak ada orang yang ditemuinya, tetapi memang tidak ada orang yang berminat mengorder permainan Si Gelis. “Sekarang zaman susah. Semua serba mahal. Jatah hiburan anak lebih baik dibelikan beras dan minyak tanah!” begitu celoteh beberapa orang.
Sore menjelang magrib, Cecep pulang ke rumahnya. Setengah lusin anaknya sudah menunggunya di depan pintu rumah sederhana kalau pun tidak dikatakan rumah yang teramat sederhana. Sebuah rumah kontrakan bersekat kamar satu, juga tidak jauh dari pinggiran kota yang kumuh. Tetapi yang sangat mengkhawatirkan adalah istrinya, Surti. Cecep tahu kalau semua orang yang ada di rumahnya pasti menantikan rezeki darinya. Setidaknya, Surti akan segera pergi beli beras dan beberapa butir telor ayam begog setelah mendapatkan uang dari Cecep. Dengan sebakul nasi dan beberapa telor goreng plus kecap kental manis, anak-anak Cecep mengeroyok hidangan itu dengan lahap. Memang, mereka tidak menuntut lebih seperti anak-anak yang berada di rumah gedongan. Anak-anak Cecep bersahaja dan mengerti kalau mereka dikategorikan keluarga yang wajib kurang gizi. Yang penting perut kenyang dan mereka akan tertidur lelap setelah Cecep berceritera tentang perjalanannya. Panjangnya jalan yang dilangkahi Cecep dan banyaknya watak manusia yang dijumpainya, merupakan ceritera yang menarik bagi setengah lusin anak Cecep. Rasanya tak ada obat tidur yang mujarab selain ceritera Cecep pada anak-anaknya. Ah…
Setengah lusin anak yang dilahirkan Surti, teramat meyibukkannya. Hampir setiap bulan dia dipanggil kepala sekolah karena anaknya yang sulung kelas enam SD telat bayar SPP. Bukan Surti tidak berkehendak KB, tetapi dia sendiri takut karena mendengar ceitera ibu-ibu yang ber-KB lalu tidak mendatangkan kebahagiaan suaminya. Akhirnya Surti mengambil jalan pintas; menerima pemberian Tuhan –-anak yang harus dilahirkannnya setiap tahun. Si bungsu yang masih menetek pada Surti terkadang nakal. Dia tidak memperdulikan orang-orang di sekelilingnya; jika dia berhasrat tentu tetek Surti menjadi sasarannya. Berlama-lama dia bergayut pada denok buah dada Surti.
Cecep tahu, kali ini Surti akan marah besar karena tidak memperoleh uang sepeser pun. Surti protes! Tetapi Cecep bertahan. Cecep juga tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu sial. Tidak ada satu pun orang yang memesan permainan si Gelis. Di otaknya mulai timbul rasa penasaran. Memang. Beberapa tahun sebelumnya, rezeki Cecep lebih baik ketika itu dia ditemani Si Mona, monyet betina ibu Si Gelis. Bahkan mahligai rumah tangga Cecep dibangun dari rezeki yang didapat bersama Si Mona. Tetapi sayang, Si Mona memang nakal. Suatu hari dia mencuri sepotong ikan Surti karena lapar yang menerjang setelah seharian bekerja. Cecep marah dan mengambil sebuah batu koral sebesar kepalan tangan dan dengan spontan batu itu dilemparkan tepat mengenai batok kepala Si Mona. Si Mona yang tidak nenyadari kalau tuannya akan berbuat demikian, mati terkulai dengan tangan yang masih menggenggam ikan hasil curian.
Sejak itu, Gelis anak Si Mona dididik menggantikan tugas ibunya. Si Gelis tumbuh semakin dewasa. Sekarang dia tahu apa yang diucapkan Cecep layaknya dia hidup bagai seorang manusia yang tunga-rungu; mengerti tetapi tidak bisa berbicara dengan wajar.
PERTENGKARAN mulut antara Cecep dan Surti disaksikan oleh setengah lusin anaknya juga Si Gelis. Puncaknya, Cecep menyalahi Si Gelis. “Dasar monyet sial!” Umpat Cecep sembari tangannya mengambil gagang sapu yang tersandar di balik pintu. Gagang sapu sebesar lengan dihantamkan berulang kali ke tubuh Si Gelis. Sontak saja Si Gelis kaget, tetapi dia tidak dapat menghindar. Satu dua kali pukulan dia masih bisa bertahan, tetapi pada pukulan ketiga dan seterusnya, Si Gelis semaput. Dia melompat ke sana ke mari menghindari gagang sapu Cecep. Cecep tidak memperdulikannya. Rupanya, rasa lapar dan kesal setelah bertengkar dengan istrinya menambah api amarah Cecep. Cecep tidak sadar jika dia menguber-nguber terus Si Gelis yang sudah minta ampun.
Rasa sakit yang tak tertahankan membuat Si Gelis yang juga lapar silap mata. Dia melompat sekuat tenaga ke arah si bungsu yang terbengong-bengong. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, leher si bungsu digigitnya. Darah keluar dari tenggorokan si bungsu. Cecep sadar kalau si bungsu mendapat marah Si Gelis. Sebelum kesadaran Cecep pulih, Si Gelis mencuri lompat ke arah jendela dan melarikan diri. Dia terus membawa keletihannya menerobos temaram magrib diiringi azan magrib yang sedang berkumandang. Sejak itu, Si Gelis tak pernah kembali.
TETAPI hari ini Si Gelis kembali. Dia kembali ke rumah itu bagaikan orang yang baru saja pulang dari penjara. Dia bukan pulang sebagai bangau yang melalangbuana, tetapi lebih tepat dia pulang karena tidak tahan siksaan alam.
Sejak kepergian Si Gelis, Cecep tidak lagi mencari penggantinya. Cecep bekerja serabutan. Terkadang dia bekerja bangunan, tetapi terkadang dia juga ikut buruh bongkar muat di gudang-gudang yang banyak di seputar tempat tinggalnya. Tubuh Cecep memang tidak terbiasa mengangkat beban berat. Badannya terasa tersiksa beban. Namun, tuntutan hidup mejadikan tubuhnya harus kuat. Semangat Cecep menang sekuat Superman, Spiderman atau Samson Betawi.
Hari itu, Cecep lesu darah, termenung karena baru saja dipecat boss-nya. Ketika dia ikut kerja bongkar beras di gudang Baba, dia mencuri seplastik kresek beras catu. Tidak lebih, hanya seplastik kresek itu saja! Namun, Cecep bernasib sial, mata sipit Baba ternyata lebih tajam dari mata pisau belati. Cecep tertangkap basah. Tanpa ampun, setelah diproses security, dia langsung dipecat tanpa pesangon sebutir beras pun. Masih beruntung, karena Cecep tidak dimasukkan ke dalam sel jahanam. Barangkali hari itu hati Baba lagi senang karena beras yang ditumpuknya mendapat banyak laba. Dia masih ingat, dengan wajah lesu dan badan lemas, Cecep melangkahkan kakinya menuju rumah. Pasti, Surti akan kembali merepet.
Tetapi hari ini, Cecep yang lesu disadarkan oleh Si Gelis yang sudah dua tahun pergi melarikan diri melompati jendela rumahnya setelah dia meninggalkan bekas gigitan maut pada leher si bungsu. Dengan perlahan Si Gelis mendekat ke Cecep yang terduduk lesu di serambi rumahnya. Cecep ingat kalau itu Si Gelis yang pernah menemaninya mengais rezeki keluar masuk pinggiran kota. Mata Si Gelis yang sayu, kurus dan tidak terurus ternyata tidak mengingatkan Cecep bahwa dia pernah memberinya banyak uang. Cecep kecewa pada Si Gelis.
Dia bangkit dari kursi, tangannya meraih gagang sapu yang dulu pernah mengusir dan memberi pelajaran berharga tetapi menyakitkan bagi Si Gelis. Tangan Cecep mencengkram kuat gagang sapu itu, dengan dada terbakar amarah dia menghampiri Si Gelis. Si Gelis tidak beranjak dari tempatnya. Dia berserah diri. Ternyata, ayunan gagang sapu yang dilayangkan Cecep tepat mengenai sasarannya; tempurung kepala Si Gelis retak. Hanya suara kiiek yang terdengar dari tekak kering si Gelis. Si Gelis tergeletak diam. Dia mati!
Cecep sadar kalau monyet cantik yang dulu disayangnya, dimanjanya dan terkadang dibawa tidur hingga ke dalam kamarnya sekalipun, sekarang nayawanya telah melayang menyusul nyawa si bungsu yang pernah digigit lehernya. Cecep tidak menyadari kalau Si Gelis telah mendapatkan hukuman setimpal di alam yang tidak biasa dia jalani. Si Gelis yang masih menetek ternyata tidak pernah menikmati kesenangannya bersama ibunya, Si Mona karena hajaran Cecep. Si Gelis iri melihat anak-anak Cecep dengan manja menghisap habis susu Surti. Sementara Si Gelis, terlalu cepat disapih. Ketika pertengkaran Cecep dengan Surti memuncak, Si Gelis menjadi sasaran kemarahan dan menyebabkan dia terluntang-lantung selama dua tahun di alam manusia yang tidak mengenal balas kasihan. Si Gelis ingin protes, tetapi pada siapa?
Keinginannya mengakui kesalahannya ternyata salah diterjemahkan oleh Cecep. Seandainya dia bisa ngomong tentu dia akan menerangkan pada Cecep tentang kepulangannya. Namun, kali ini Si Gelis pulang dengan sia-sia. Tidak ada lagi tepuk tangan meriah anak-anak pinggiran. Juga, tidak ada haru-biru bocah-bocah nakal yang sesekali mencepret pantatnya dengan karet gelang. Yang tertinggal hanya bangkai Si Gelis terbujur kaku tanpa penghormatan. Dia membayarnya dengan nilai kematian. ***
Toapekong
Cerpen Nyoto
Dimuat di Riau Pos 03/13/2005 Telah Disimak 248 kali |
TOAPEKONG duduk termenung di pinggir telaga di langit surgawi junggringsalaka2). Matanya yang setengah menutup, terlihat terkantuk-kantuk ditampar butir angin semilir yang dihembuskan Dewa Angin. Tadi pagi, Dewa Angin baru saja membuka lorong bayu ke delapan penjuru. Ternyata, angin itu sempat menghampiri pipi dan sedikit mengusik ketenangan Toapekong yang gusar melihat tingkah umatnya.Matanya yang setengah menutup, terlihat terkantuk-kantuk ditampar butir angin semilir yang dihembuskan Dewa Angin. Tadi pagi, Dewa Angin baru saja membuka lorong bayu ke delapan penjuru. Ternyata, angin itu sempat menghampiri pipi dan sedikit mengusik ketenangan Toapekong yang gusar melihat tingkah umatnya.
Sesungguhnya, Toapekong baru saja mengejawantah ke bumi tadi pagi. Setelah dia melihat penanggalan Xin Jia, Jia Gwee,3) terburu-buru dia menyusup ke pintu langit bermaksud menghadap Yang Mulia. Di tangannya sudah tergenggam sejumput laporan -persis terlipat bagaikan nota hutang-piutang Tuan Konglomerat.
Tetapi, Toapekong masih sempat memalingkan mukanya dan melihat dari pingggir surgawi, wajah manusia yang ada di bawahnya. Tergambar dengan jelas di matanya yang redup, sebagian besar manusia menyeret manusia yang lain dan membawanya ke sebuah telaga dengan tali nafsu untuk dibantai. Suara jerit dan tangis terdengar bagaikan suara tawa -membahana, memecah ceruk langit yang bukan sesungguhnya milik manusia.
Sejenak, Toapekong beralih ke pintu surgawi lapis ke tujuh. Dengan terbungkuk-bungkuk dan nafas sendal-sendul, dia mencoba untuk melaporakan isi dapur orang Tionghoa.
"Yang Mulia, dihariban seulas persembahan... " Toapekong memberi sembah.
"Silahkan...." Dengan wajah berseri, Yang Mulia mempersilahkan Toapekong melaporkan hasil pengawasannya selama satu tahun di dapur orang-orang Tionghoa. "Bagaimana kerjamu selama satu tahun, Toapekong?"
"Sesungguhnya Yang Mulia, rotasi waktu bagaikan cakra maksiat. Revolusi bumi dimajukan tujuh kali musim chun4) lebih baik dan akan mengurangi penderitaan manusia di bumi."
"Maksudmu?"
"Saya tidak bisa menyaksikan perbuatan manusia yang sudah kelewat batas. Mereka menumbal sesama. Suara jerit dan tangis justru terdengar bagaikan suara desah kegirangan. Setelah hamba periksa, ternyata telinga mereka terpasang terbalik, Yang Mulia."
Yang Mulia terperanjat.
Toapekong mengajak Yang Mulia berjalan di tepi surga sembari menikmati teratai yang sedang mekar di musim chun. Dua ekor angsa yang dibawa dari bumi atas kebajikan mereka ketika menolong Dewi Kwan Im5) yang digoda begundal, juga hidup dengan tenang memadu kasih sepanjang waktu jagatrana. Mereka berenang di kolam madu dan sesekali tertawa terpingkal-pingkal ketika angsa betina mencoba menggoda angsa jantan yang terus birahi sepanjang kalender surgawi. Juga sepasang kelinci6) berbulu sutra putih ikut memadu kasih.Di belahan paling bawah, Yang Mulia bersama Toapekong masih sempat mengintip dari celah pagar nirwana. Terlihat dengan jelas sejumlah manusia yang terus bergembira. Tetapi Toapekong sungguh terperanjat. Dapur-dapur orang Tionghoa tidak lagi menyiapkan makanan kesukaan para leluhur yang sudah dua malam dilepas ke bumi moksa7) dengan manusia.
"Lihatlah Yang Mulia, dapur-dapur mereka sudah tidak berbau kebajikan."
"Hemm..."
"Meja altar mereka terhidang samseng8)8) ayam, bebek dan babi kukus. Tetapi mereka lupa kalau sebelumnya induk ayam itu minta ampun demi nyawanya."
Yang Mulia mengangguk.
"Ayam yang sudah membangkai itu minta berjuta ampun pada tuannya, namun mereka tidak memperdulikannya."
"Dengan cara apa mereka minta ampun?" Yang Mulia seakan tidak tahu padahal Yang Mulia serba tahu.
Toapekong lalu menjawabnya, "Tercatat pada nota kerja saya, ayam itu telah memberikan mimpi pada manusia yang memeliharanya." Dan Toapekong lalu membukan review catatan perjalanan hidup induk ayam beserta setengah lusin anaknya yang masih di bawah umur.
"Anak-anakku, malam ini adalah malam terakhir kita bersama. Mulai besok pagi, kalian pergilah ke arah barat dan sembunyi di rumpun bambu. Jangan ada yang keluar ketika majikan kita memberi umpan nasi basi," ujar induk ayam yang telah menghitung azalnya.9)
9)
"Memangnya ada apa, Bu?" tanya salah satu anaknya.
"Ini kodrat kita sebagai ayam. Besok pagi sebelum jam tujuh, majikan kita akan menjerat lalu menggorok leher ibu dan meletakkan jasad ibu di meja altar sebagai samseng."
"Sebegitu kejamkah?"
"Begitulah."
"Kita masih sempat berdoa pada dewa kehidupan, Bu..." anak ayam menciap-ciap sedih bercampur takut. Pucat!
"Ya. Tapi batas pengampunan hanya sebatas birahi manusia."
Tanpa tawar. Tanpa ampun. Catatan kekejaman di tangan Toapekong terasa bergetar menandakan mimpi manusia semakin buruk terperuk teruk di celah relung kemaksiatan, ketamakan dan kezaliman. Toapekong meneteskan air mata.
Aha! Yang Mulia terpingkal.
Toapekong pamit. Berjalan di antara pelangi menyisir awan hingga ke tepi neraka yang terus bergejolak panasnya. Semilir angin surgawi tak mampu menutupi panasnya api yang tergelincir dari lubang burit neraka.
"Saya masih percaya, altar orang Tionghoa masih menyediakan samseng," Toapekong masih bergetar. Awan menepuk-nepuk dadanya yang bidang, tetapi isi dada itu sudah kering. Apa boleh buat, Toapekong terselimutkan halimun kesedihan dan kakinya sekarang telah menginjak maksiat manusia. Di bumi!
Di penghujung tikungan, Toapekong berpapasan dengan seorang toke yang sudah moksa ke alam dewata.
"Ternyata nilai-nilai nominal duniawi tak lebih dari sejumput nafas yang tergeser nadi kehidupan."
"Begitulah..." jawab Toapekong yang terus mengejar waktu.
Sementara bumi terus berpacu dengan waktu yang diiringi rotasi tanpa henti. Dewa-dewa terpana karena di pinggir telaga Yang Mulia terlihat murung. Menyesalkah Yang Mulia menyajikan kehidupan di hariban manusia? Sungguh, sebuah catatan akhir di dapur orang Tionghoa yang tertinggal Toapekong di pinggir telaga ternyata membuat para toke bermimpi.
Alih-alih, di pinggir telaga surgawi, Yang Mulia menertawai manusia. Yang Mulia duduk tapakur hingga mendengkur sepanjang malam waktu surgawi.***
Pekanbaru, Malam Imlek
11 Februari 2004
(Cerita ini dipetik dari muatan filsafat hidup orang Tionghoa tentang samseng dan Dewa Harta (Cai Sin) pada musin chun [semi].)
samseng dan Dewa Harta (Cai Sin) pada musin chun [semi].)
Catatan:
1) Dewa Dapur yang sering disogok orang Tionghoa. Pada patung Toapekong mulutnya sering diolesi madu sehingga diharapkan memberikan laporan yang baik-baik tentang ulah manusia di bumi.
Dewa Dapur yang sering disogok orang Tionghoa. Pada patung Toapekong mulutnya sering diolesi madu sehingga diharapkan memberikan laporan yang baik-baik tentang ulah manusia di bumi.
2) Tempat tinggal para dewa.
Tempat tinggal para dewa.
3) Tahun Baru Cina, bulan pertama
Tahun Baru Cina, bulan pertama
4) Musim Semi
Musim Semi
5) Dewi Kasih Sayang
Dewi Kasih Sayang
6) Dalam kisah legenda; kelinci membakar dirinya di depan Sang Pencipta Alam Semesta yang merubah dirinya menjadi seorang tua sehingga dia disertakan hidup tentram di bulan.
Dalam kisah legenda; kelinci membakar dirinya di depan Sang Pencipta Alam Semesta yang merubah dirinya menjadi seorang tua sehingga dia disertakan hidup tentram di bulan.
7) Menghilang
Menghilang
8) Sejenis persembahan kepada arwah leluhur atau dewa
Sejenis persembahan kepada arwah leluhur atau dewa
9) Sepenggal cerita tentang Dewa Harta (Cai Sin) yang pernah mendapat mimpi dari seekor induk ayam. Sejak itu, Cai Sin tidak berani lagi menyantap hidangan ayam atau hewan lainnya.***
Sepenggal cerita tentang Dewa Harta (Cai Sin) yang pernah mendapat mimpi dari seekor induk ayam. Sejak itu, Cai Sin tidak berani lagi menyantap hidangan ayam atau hewan lainnya.***
Tuyul
Cerpen Nyoto
Dimuat di Riau Pos 06/08/2003 Telah Disimak 319 kali |
HAMPIR tak kupercaya, uangku yang tersusun rapi digasak maling. Tapi tak habis semua, hanya beberapa lembar. Namun maling itu tak kunjung kutemukan. Jangankan batang hidungnya, jejaknya pun nyaris tak ada. Kerjanya cukup rapi sehingga tak meninggalkan jejak perbuatan yang berarti bagiku.
Segera kulaporkan ke polisi dan polisi pun datang. Namun bukan hasil penyelidikan yang kudapat, melainkan bahan tertawaan. Polisi menertawaiku habis-habisan. Mereka bilang, ‘’Bapak sudah pikun. Mana mungkin pencuri masuk ke rumah bapak, sementara semua pintu dalam keadaan terkunci. Terlebih-lebih lemari dan laci penyimpanan uang bapak, semuanya dalam kondisi terkunci rapi’’.
‘’Tapi Pak, ini kenyataan. Hampir saban hari uang saya berkurang,’’ aku berusaha meyakinkan.
‘’Ha...ha...ha...! Bapak termakan halusinasi sendiri. Bapak harus pakai seorang staf untuk menyimpan uang-uang bapak secara baik, biar kelak tak salah menghitungnya,’’ nasehat polisi padaku. Aku tak butuh nasehatnya, tapi kubiarkan saja kalimat itu berlalu dari liang telingaku yang sempit.
‘’Semua yang tercatat adalah benar, Pak. Hanya uangnya yang berkurang,’’
‘’Maaf, Pak. Kami dari pihak forensik pun sudah meneliti jejak pencuri yang bapak maksudkan itu. Namun di sekitar rumah ini, tetap saja jejak pencuri tak kami temukan. Ada baiknya bapak berpikir kembali tentang kebenaran uang-uang yang hilang itu’’.
‘’Itulah yang membingungkan saya, Pak Polisi. Semua kunci rumah-saya yang pegang, namun uang tetap saja hilang...’’ tukasku, seakan aku sendiri tak percaya dengan kejadian yang kualami.
‘’Sekali lagi maaf, Pak. Bapak kami sarankan untuk berkunjung ke seorang psikiater. Barangkali pikiran bapak terganggu dengan jumlah uang yang begitu banyak itu’’.
Aku terlongo sejenak. Aku sudah gila? (dalam hati aku tertawa). Enyahlah! Justru aku menganggap mereka yang gila. Mereka tak mempercayai kata-kataku, jika semua yang kulaporkan itu benar adanya. Uang hilang bukan sekali-dua kali, tapi sudah berulang kali dan celakanya tak ada bukti yang bisa diungkapkan.
***
Semua kejadian aneh ini pun sudah aku ceritakan pada istri, kerabat dan anak-anakku. Tragisnya, istriku pun sudah mulai ikut-ikutan menertawaiku. Bukan tidak mungkin besok-lusa anak-anakku juga demikian, sehingga semua ber-ha-ha-ha padaku.
Yang terakhir menertawaiku tentu saja polisi-polisi yang kuundang ke rumahku. Mereka bekerja cekatan, namun tak ada pekerjaan yang kulihat diselesaikan dengan baik oleh mereka. Masing-masing menyibukkan diri; ada yang menabur sejenis bedak untuk menyelidiki sidik jari, barangkali dari sini nantinya diperoleh hasil siapa yang pernah menjamah laci-laci penyimpanan uangku. Namun hasil pemeriksaaan hanya sidik jariku seorang yang ada di sana. Makanya hari ini aku ditertawakan habis-habisan oleh mereka. Ya— oleh mereka, mulai dari istriku hingga polisi-polisi itu.
Dalam keteranganku sebagai pelapor, aku selalu menegaskan semua yang kuungkapkan itu benar adanya. Sesekali dalam selaku, kucoba untuk meyakinkan polisi, mungkin mereka keliru dalam melakukan tahap pekerjaan. Tapi dalam hati kecilku-aku berpikir, tak mungkin mereka salah melakukan tahapan pekerjaan, sebab mereka orang-orang profesional yang sudah terlatih. Negara sudah banyak menghabiskan uang untuk kegiatan peningkatan sumber daya manusia. Jadi wajar saja kalau mereka bekerja dengan profesional.
Namun tetap saja aku kecewa! Betapa tidak? Maling kecil saja mereka tak sanggup menangkapnya, bagaimana kalau itu maling besar? Tentu akan lebih sulit lagi menjerat leher garong itu. Setahuku, maling kecil jika sudah tertangkap tak banyak komentar, tak banyak tingkah, juga tak banyak rede. Jika yang tertangkap maling besar, malah banyak tingkah dan kita direpotkan dengan seabrik permintaannya. Dengan demikian jelas aku kecewa. Urusan maling kecil tak tertangkap malah aku ditertawai, pelecehan jadinya. Ah! Persetan sama kalian...!(umpatku dalam hati).
***
‘’Jadi, kalian sungguh-sungguh ingin meninggalkan tugas penyelidikan ini?’’ tanyaku serius setengah mengancam.
‘’O, bukan! Bukan kami bermaksud meninggalkan tanggung jawab, tapi jelas sekali laporan bapak tak sesuai dengan hasil penyelidikan kami,’’ jawab polisi itu serius. Tapi perilaku mereka kulihat tetap saja setengah serius. (Dalam hatiku bertanya, inikah profesional?)
‘’Iya. Saya sungguh-sungguh kehilangan duit. Ini serius, Pak Polisi!’’
Lagi-lagi mereka menertawaiku, ‘’Tak mungkin! Maaf, Pak. Ini bukan pekerjaan kami. Kami permisi,’’ mereka meninggalkan sepotong kecewa padaku.
Dalam hati aku berpikir, barangkali mereka mau menangkap maling ketika maling itu datang menyerahkan diri. Tentu saja polisi tinggal menelikung-lalu memborgol ke dua tangan maling itu-diseret ke tahanan dan diberi makan sayur kangkung rebus sepuluh kali menu dalam seminggu agar kakinya lama-kelamaan setengah lumpuh. Setelah dia keluar dari tahanan, kalau pun mencuri lagi, tak susah-susah menangkapnya, sebab dia tak bisa lari kencang. Kakinya tadi sudah lumpuh, paling tidak, lemah ketika dibawa berlari. Gampang, bukan?
***
Berselang dua hari kemudian, kualami lagi peristiwa yang sama. Pada kejadian yang lalu-lalu, uang yang diambil hanya lembaran lima ribuan-sepuluh ribuan dan dua puluh ribuan. Kali ini tidak! Maling ini sudah lebih berani, dia menggondol habis bundel uang lima puluh ribuan dan uang ratus ribuan. Keberaniannya sudah melewati batas wajar. Nekat betul maling ini, pikirku. Kalau yang lalu-lalu dia masih menyisakan uang di laciku, kali ini tak begitu. Dia santap habis uang-uang itu tanpa ampun. Kandas!
Aku tak tahan lagi menghadapi persoalan uang hilang. Jika aku laporkan lagi ke polisi, dapat dipastikan, aku ditertawai lagi. Mungkin-mungkin mereka akan bertanya padaku: ‘’Apakah bapak sudah mengunjungi psikiater?’’ Tentu saja aku tak bersikap dungu. Ini sudah keterlaluan, pikirku. Aku mencari alternatif lain. Sekiranya di negeri ini ada ditektif swasta, jauh hari sudah kusewa. Uangku yang banyak cukup membayar mereka, biarpun bandrolnya mahal, tapi aku puas.
Akhirnya aku meminta jasa seorang paranormal. Mbah dukun itu datang ke rumahku dengan membawa sejumlah properti perdukunannya. Ia duduk di ruang tengah rumahku sembari menyulut sebatang rokok keretek dengan ukuran abnormal. Keretek itu satu setengah kali lebih besar dari keretek biasa. Bau asap rokok itu pun membuat hidungku bagaikan orang yang berpenyakit polip-tersumbat, sementara bulu kudukku tegak bagaikan jarum-jarum halus. Ya, bau kemenyan. Suasana rumahku jadi mistis. Barangkali Mbah dukun ini menyampurkan sedikit tembakau rokoknya dengan kemenyan yang telah dihaluskan, pikirku dalam hati.
Dia bertanya padaku, ‘’Di mana letak laci itu?’’ maksud dia adalah laci mejaku yang sering mengalami kehilangan duit itu.
‘’Ada di kamar kerja saya, Mbah,’’ kataku.
‘’Tunjukkan pada Mbah, di mana kamar itu’’.
Aku menuntunnya ke sebuah kamar di bagian kanan ruang tamu. ‘’Ini kamarnya, dan itu laci yang bernasib malang, Mbah,’’ aku menuding pada sebuah laci meja kerjaku yang selalu membuatku pusing.
Kulihat Mbah dukun mengangguk-angguk seraya tangannya mengelus-ngelus janggutnya yang tumbuh acak-acakkan itu. Sejurus kemudian dia berujar, ‘’Tuyul yang mengambil uangmu!’’
‘’Apa, Mbah?!’’ tanyaku setengah kaget.
‘’Uangmu diambil tuyul,’’ tegas Mbah dukun.
‘’Mana mungkin tuyul mengambilnya, Mbah’’.
‘’Apanya yang tidak mungkin?’’
‘’Tuyul mengambil tak lebih dari tiga lembar uang, sedangkan ini bukan hitungan lembaran lagi, Mbah. Tapi sudah main bundelan. Tentu ini pekerjaan manusia,’’ kataku setengah tak percaya. Artinya aku masih saja menyangkal tentang pernyataan Mbah dukun.
‘’Apa bedanya manusia dengan tuyul? Kamu tahu apa tentang manusia? Juga tahu apa tentang tuyul? Bagi Mbah, keduanya sama saja’’. Kulihat Mbah dukun tenang-tenang saja.
‘’Tuyul tak kuat mengangkat uang sebanyak itu, Mbah. Manusia tentu lebih mampu mengambil lebih banyak dari yang diambil tuyul’’.
‘’Berarti manusia lebih rakus dari tuyul, maksudmu begitu?’’
Aku yang cerdik, tertunduk sejenak, lalu, ‘’Jelas manusia lebih rakus dari tuyul. Tuyul mencuri uang bukan untuk dirinya, melainkan untuk tuannya. Siapa lagi kalau bukan manusia. Manusia mencuri uang untuk kesenangannya semata. Yang satu mencuri, yang satu menadah. Di mata hukum, keduanya sama-sama bersalah, bahkan si penadah akan dihukum lebih berat daripada si pencuri’’.
‘’Bagus! Kau telah menjawabnya. Mbah hanya sekilas menerangkan tentang perbedaan tuyul dan manusia. Perbedaan intrik manusia dan tuyul adalah, ketika tuyul tertangkap, dia tak mampu merubah dirinya menjadi manusia. Tapi, manusia ketika tertangkap dan kepepet, dia mampu merubah dirinya menjadi tuyul. Berarti manusia berbentuk tuyul akan jauh lebih dasyat kejahatannya dibanding tuyul yang sebenarnya, sungguh berbahaya,’’ jelas Mbah dukun. Dia masih terus menikmati rokok keretek yang baunya tak kusukai itu.
Aku terpagut-pagut. Semua yang diterangkan Mbah dukun padaku masuk akal. Di otakku sekarang, tak peduli itu tuyul atau manusia, yang penting bisa kutangkap dan kupatahkan batang lehernya lalu kubanting, habis perkara! Selanjutnya aku menyuruh Mbah dukun menangkap tuyul-tuyul yang katanya selama ini bergentayangan di rumahku.
Dengan cekatan, Mbah dukun mempersiapkan segala properti yang semula telah dia bawa dari rumah. Dia duduk bersila pada lantai kamar kerjaku dan membakar kemenyan pada sebuah bokor. Mulutnya komat-kamit mengucapkan mantera yang sayup-sayup aku dengar: ‘’babalam bababalam lambabalam!’’ seperti bahasa India. Sungguh aku tak mengerti maksud ucapan mantera itu. Kubiarkan dia larut dengan prosesinya. Tak seberapa lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah botol yang bentuknya aneh. Tabung botol itu lebih besar dari botol-botol biasa, namun leher botol tetap sama seperti botol biasa dengan sumbat kain hitam. Sebuah botol transparan.
‘’Mbah akan memancing tuyul-tuyul itu datang ke sini untuk mengambil uang-uang ini. Di saat mereka asyik mengambil uang, akan Mbah jerat kaki mereka lalu Mbah masukkan ke dalam botol ini,’’ Mbah dukun meletakkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
‘’Kalau dimasukkan ke dalam botol, bagaimana saya bisa mencekik batang leher tuyul-tuyul itu, Mbah?’’ tanyaku dengan sedikit emosi.
‘’Itu urusan nanti. Yang penting Mbah tangkap dulu tuyul itu baru kita adili!’’
Aku terdiam serius. Perhatianku tersita pada botol yang sekarang terletak di atas meja kecil di depan Mbah. Di sekeliling botol itu ditaburi beras kencur dan dipasakkan tiga buah hio yang mengeluarkan aroma kayu cendana. Ruang kerjaku kini menjadi semerbak akibat ulah asap-asap properti itu. Aroma kemenyan yang bercampur aroma kembang, membuat dadaku tambah sesak. Untuk sejenak, aku berusaha untuk tak merasakan aroma-aroma busuk itu.
Tiba-tiba Mbah dukun menutup botol itu dengan sumbat kain hitam yang telah disediakannya tadi. ‘’Ha... ha.. ha...! Sekarang dua ekor tuyul sudah Mbah tangkap dalam botol ini. Mereka melolong-lolong minta keluar. Jangan sekali-kali Engkau buka sumbat botol ini, sebab mereka akan melarikan diri, mengeri?’’ Mbah dukun menyerahkan botol itu padaku.
Tanganku gemetar menerima botol itu. Kuangkat agak tinggi, sejajar dengan tinggi kepalaku. Kuamati dengan seksama-dengan detak jantung berdegup, sebab aku belum pernah mengalami hal demikian ini. Aku tak menemukan dua sosok tuyul yang dikatakan Mbah dukun tadi.
‘’Mbah, saya tak melihat dua sosok tuyul yang Mbah katakan tadi,’’ ujarku penasaran.
‘’Jelas kamu tak mampu melihatnya. Tak sembarangnya orang mampu melihat mereka. Tapi Mbah dengar apa yang dikatakan mereka tadi ketika kau melototi mereka’’.
‘’Apa yang dikatakan mereka, Mbah?’’
‘’Mereka meneriaki kaulah pencuri yang sebenarnya’’.
‘’Hah?!’’ Aku terperanjat. ‘’Jangan macam-macam, Mbah. Saya tak melihat mereka,’’ ingin rasanya tanganku membuka sumbat botol itu, namun hatiku ragu.
‘’Sekali lagi Mbah katakan padamu, Nak, bahwa manusia biasa tak mampu melihat mereka. Hanya paranormal yang mampu berkomunikasi dengan mereka. Nah, sekarang kau tahu apa yang diteriaki mereka?’’
‘’Katakan, Mbah. Apa yang mereka teriakkan’’.
‘’He... he... he...! Tuyul-tuyul itu bilang: Maling teriak maling!’’
‘’Saya tak percaya!’’ suaraku agak keras karena terperanjat mendengar sebutan maling. Aku berpikir sejenak, dari mana tahu Mbah ini kalau aku selama ini juga maling? Jika saja aku mau jujur, tentu semua orang akan datang padaku dan menyeretku ke pengadilan lalu memenggal leherku ini. Tapi, rasanya aku tak mungkin mengakui perbuatanku itu. Sama saja dengan ular yang minta pukul, mati konyol! Tuyul-tuyul itu benar. Namun tetap saja aku malu untuk mengakuinya, bahkan aku teramat marah dengan mereka.
‘’Saya akan bawa tuyul-tuyul ini ke kantor polisi, Mbah!’’ ujarku.
‘’Polisi-polisi itu tentu tak sanggup mengadili mereka. Biar pun ini negeri tuyul, namun polisi tetap manusia dan tuyul tetap tuyul. Engkau akan ditertawai mereka’’.
‘’Maksud Mbah siapa?’’
‘’Kedua-duanya!’’
Hah! Aku terperanjat lagi. Kemarin aku ditertawai polisi ketika kulaporkan uangku yang hilang. Mereka menyarankan aku untuk berkonsultasi dengan psikiater, tentu mereka menganggapku sudah gila. Kali ini tuyul-tuyul itu menertawaiku, mereka berteriak-teriak hingga tenggorokkannya kering-kerontang. Untung saja tidak semua manusia mendengarkan teriakannya. Celaka! Ini juga pelecehan, pikirku.
‘’Engkau boleh percaya, boleh tidak. Sekarang tuyul-tuyul itu mengatakan padaku bahwa mereka hanya mengambil sebagian hasil curianmu,’’ Mbah dukun memberitahuku, seakan-akan dia menjadi penerjemah bagi percakapanku dengan kasus dua ekor tuyul ini.
‘’Biarkan mereka mati dalam botol ini, Mbah! Akan aku bakar botol ini biar mereka rasakan panasnya api neraka dunia ini!’’ aku mengancam tuyul-tuyul itu.
‘’Mereka tertawa-tawa kesenangan, Nak,’’ ujar Mbah dukun tersenyum-senyum.
‘’Apa, Mbah? Tertawa? Mereka tidak takut kubakar? Dasar setan!’’ umpatku.
‘’Sabar! Jangan terlalu emosi. Tuyul tak takut api, mereka akan terbebas jika api menjilat tubuh mereka,’’ Mbah dukun menjelaskan padaku.
‘’Apa yang harus saya lakukan untuk menghukum mereka?’’
‘’Berikan botol itu pada Mbah. Lupakan uangmu yang selama ini hilang. Namun, jangan sekali-kali menjadi tuyul dalam dirimu, sebab tuyul-tuyul dalam botol ini tetap akan datang padamu!’’ nasehat Mbah dukun seraya pamit meninggalkanku.
Aku tertegun dengan ucapan tuyul-tuyul itu, merasa sama saja diriku dengan mereka. Apa bedanya tuyul dengan manusia? Bagiku, di rumahku, di negeriku yang kacau ini, manusia dan tuyul sama saja. Semua terasa seakan berada di negeri tuyul. Wah ha ha ha! Suara tertawa itu menjauh dariku.***
Pekanbaru, 2002
Kunang-kunang Di Atas Kuburan
Cerpen Nyoto
Dimuat di Waspada 12/29/2002 Telah Disimak 357 kali |
SUDAH dua puluh tahun lebih Parlan menekuni pekerjaannya. Tanpa modal yang berarti, hanya sebuah cangkul dan tenaga yang keluar dari otot-otot tubuhnya. Parlan tak pernah mengeluh. Dia juga tak pernah meratapi nasibnya. Walaupun sesekali istrinya menuntut lebih dari yang diberikannya, Parlan tetap sabar dari rongrongan istrinya. Tapi pada suatu sore, istrinya mengomel. "Pak, pacul itu sudah usang menemanimu. Sudah setengah usia bapak. Dua puluh tahun lebih bekerja kok rumah masih ngontrak?" Keduanya terlibat perbincangan serius di ruang tengah rumah mereka. Istri Parlan baru saja menghidangkan secangkir kopi dan beberapa potong ubi goreng pada meja kecil yang berada di samping ke dua kursi yang mereka duduki. "Sabar, Bu, aku tahu maksudmu. Kita kan sudah sepakat dari bulu bahwa pekerjaan apa saja yang kulakoni yang penting halal, iya toh?" Jawab Parlan seraya tangannya meraih cangkir kopinya. Dia hirup kopi itu perlahan... Jakunnya yang mulai menonjol akibat termakan keriput ketuaannya menambah semakin jelas naik turun kerja jakun itu. "Sudahlah... Tuhan itu kankota dengan menggadaikan fasilitas desa yang ada. Hasil bumi dia beli dengan murah dan dijualnya dengan harga tinggi sehingga banyak masyarakat yang tidak senang kepadanya. Sangking bencinya warga, keluarganya takut kalau-kalau kuburannya dibongkar oleh masyarakat dan mayatnya dijadikan makanan serigala." "Ah, Bapak bergurah..." "Lha, serius kok, ,Bu..." "Apakah hartanya yang banyak itu juga dibawa mati, Pak?" Istri Parlan makin serius wajahnya. Dia lupakan sejenak pekerjaan sulam-menyulamnya. "Soal itu aku tidak tahu. Tapi dengar-dengar, kuburan itu dijaga oleh orang-orang suruhan," terang Parlan kepada istrinya. Sekali lagi, dia sulut kreteknya yang mulai tinggal separuh. Dan, puuuusshh..., gelombang awan larat kembali bergulung, menyebar di antara dua wajah. "Hemm, orang kaya, sudah mati pun masih tak kuasa melepas hartanya." Istri Parlan mencibirkan bibir dowernya. Perbincangan itu terhenti. Parlan larut dengan lamunannya. Jari-jari istrinya sibuk lagi, menari-nari dengan sulamannya. Tak terasa, hari mulai sore. Sesi magrib menjemput. Dari kejauhan di upuk barat, matahari mulai menghilang dan langit memerah memberi bayangan lembayung. ***Setelah selesai shalat Isa, Parlan pamit pada istrinya. "Bu, aku mau pergi dulu," ujarnya datar. "Lho, malam-malam begini mau ke mana toh, Pak?" tanya istrinya. "Ada pertemuan kecil denagn kawan-kawan RT seberang, Bu," jawab Parlan membohong. Pertemuan itu tak ada. Hanya alasan yang dibuat-buat saja. "Hati-hati, ,Pak." Nasehat istrinya. "Ya." Sepasang kaki usang itu keluar dari rumah. Dia berhenti sejenak, lalu menutup pintu rumahnya perlahan. Parlan menuju samping rumah dan mengambil cangkulnya yang selama ini telah menemaninya. Dia tahu, tak ada yang paling setia selain cangkulnya ini. Apa pun yang diperbuatnya, cangkul itu tak pernah protes. Tak juga banyak cakap. Bahkan cangkul ini pula yang memberinya hidup, setidaknya membiayai sewa rumah dan makan mereka berdua. Parlan memang tidak memiliki anak. Untuk yang satu ini, nasibnya terlalu buruk. Tapi dia tidak mengeluh soal itu. Di kegelapan malam, Parlan terus melangkahkan kakinya. Dia mulai memasuki jalan setapak yang sunyi. Terus... dan terus menuju suatu tempat. Pada sebatang pohon waru hutan, dia berhenti sejenak. Dia letakkan cangkulnya di atas tanah dan duduk di akar waru besar yang menojol keluar. Suara jangkrik dan piyam menemaninya di situ. Suara itu saling bersahutan. Beberapa ekor kunang-kunang terbang mengerlipkan cahaya kecilnya. Ya, hanya beberapa ekor; setelah itu datang berpuluh, beratus dan sekarang sudah beribu ekor kunang-kunang menerangi tanah kuburan yang tak seberapa luas itu. Sementara langit cerah. Bintang-bintang bertebaran di alam raya. Bulan memang tiada menampakkan diri. Tapi cahaya bintang dan kunang-kunang cukup menerangi tempat itu. Bintang kelihatan bagaikan kuntum-kuntum bunga api yang aduhai. Parlan mengeluarkan sebungkus rokok yang dibawanya dari rumah. Dia cabut satu batang, namun wajahnya tetap menoreh pada sebuah fokus beberapa puluh meter di depannya. Kreek! Kreek! Rokok yang sudah berada di bibirnya itu dia sulut dengan mancir tuanya. Nyamuk-nyamuk liar yang berkeliaran di situ sesekali mencuri kesempatan. Mereka gigit lengan Parlan. Parlan mengusirnya dengan elusan. Dia tidak hardik atau tepuk dengan tapak tangannya yang lebar. Terkadang, dia usir dengan hembusan asap rokok. Untuk sejenak, Parlan aman dari hajaran nyamuk liar. Wajah yang serius itu terus menatap sebuah gundukkan beberapa ratus meter di depannya. Gundukan itu bukan lain adalah kuburan Lurah Wangsit yang tadi siang dikebumikan. Parlanlah yang menggali kuburan itu. Dia pula yang menutup kuburan Lurah Wangsit. Dia memperhatikan sekitarnya. Tak terlihat olehnya ada orang-orang yang menjaga kuburan itu. Dari cerita yang didengarnya, seharusnya ada orang suruhan keluarga Lurah Wangsit yang menjaga di situ. Tapi mengapa tidak ada satu orangpun yang terlihat di sana? Parlan menggapai cangkulnya. Dengan hati-hati tanpa menimbulkan keributan, dia mendekat dan terus mendekat hingga pada jarak sekitar tiga puluh meter, Parlan berhenti. Dia jongkok di balik sebatang pohon kamboja besar. Tangannya masih menggenggam erat cangkul yang dibawanya. Dia tahu persis yang mana kuburan Lurang Wangsit. Sebab itu, Parlan menyelidik sekelilingnya. Hatinya berdebar kencang. Semakin dekat dengan kuburan itu, debar jantungnya semakin kuat. Parlan ke situ memang berniat membongkar kubur Lurah Wangsit yang diisukan membawa sejumlah harta dan uang yang diletakkan di samping mayatnya. Bahkan ada isu yang mengatakan uang dan harta itu dililitkan bersama kain kapan. Hati Parlan tertarik untuk melakukan pekerjaan itu. Dia ingin memperbaiki roda kehidupannya selama ini. Sebab itu dia datang ke situ dengan satu tekad, mengobok-obok kuburan Lurah Wangsit. Dia berniat mengeluarkan harta-harta yang ada dibalik lipatan kain kapan. Bagi Parlan, nyali takutnya memang sudah putus. Kebiasaannya melakukan pekerjaan itu, membuatnya merasa tidak pernah takut dengan hal-hal yang berbau tahyul. Sekitar sepuluh menit dia mengamati tempat itu. Namun masih saja sunyi dari gerakan dan dengusan nafas manusia. Hanya serangga kecil dan kunang-kunang yang terus terbang bermain di atas kuburan. Kerlap-kerlip kecil bertebaran. Setelah memastikan tidak ada orang yang mencurigakan di situ, Parlan mendekat ke kuburan itu, lalu dia mulai ayunkan cangkul itu ke tanah yang masih basah dan gembur. Tanpa henti. Tanpa suara yang mengganggu. Namun, sesekali dia tengadahkan kepalanya ke sekeliling, takut kalau-kalau ada orang yang melihatnya. Sunyi. Parlan meneruskan pekerjaannya. Tak kurang dari seratus ayunan cangkul pada gundukan basah itu, dengan samar dia melihat sebuah peti. Parlan membersihkan tanah yang masih berserakkan di atas peti itu. Ladam cangkul yang tipis dan tajam itu dia masukkan dengan paksa ke sela papan peti jenazah. Lalu dia dongkel sekuat tenaga. Dan breaaak! Peti itu terbuka atasnya. Bayang putih terlihat di dalamnya.Sejurus kemudian, Parlan menggapai kain kapan pengikat mayat. Dengan cekatan, tanpa gemetar tangan Parlan mempreteli kain kapan itu. Sekarang mayat itu terlihat bugil, kaki dan dingin. Sekiranya Lurah Wangsit bisa bicara; mungkin dia akan protes habis; mengapa ada orang begitu bernyali mengusik ketenangannya di alam baka? Namun, mayat itu hanya mampu diam diri. Mayat itu lebih baik menggunakan hak diamnya. Suara jangkrik dan piyam yang semakin ribut ternyata tak digubris oleh Parlan. Dia tidak memperdulikan lagi semua suara yang berada di sekelilingnya. Walaupun suara-suara itu mengingatkannya akan ancaman bahaya, namun Parlan tidak mengerti isyarat. Di otaknya hanya ada satu pikiran; bagaimana mendapatkan harta dan uang yang dibawa Lurang Wangsit. Dia terus sibuk mencari-cari di seputar mayat itu. Kain kapan itu pun sekarang sudah terpisah dengan mayat. Kapan panjang kotor akibat tanah basah itu dia campakkan ke samping. Sementara Parlan masih berada dalam lobang itu. Kedua kakinya mengangkangi mayat Lurah Wangsit yang tengadah langit. Sungguh tidak sopan! Walaupun malam semakin larut, namun peluh tetap membasahi tubuh Parlan. keringat yang mengucur itu terasa dingin bagai air es.Sesekali tangannya menyeka butiran peluh yang ada di dahinya. Parlan terus mencari. Mencari dan mencari. Namun apa yang diharapkannya tak kunjung jumpa. Menurut kabar burung, harta itu ada di samping mayat, tapi mengapa tak juga dia temukan? Untuk sejenak, Parlan ragu. Sekarang dia tidak lagi menggunakan tangannya membolak-balik mayat Lurah Wangsit, tapi sudah menggunakan kedua kakinya yang berotot dan kotor. Dia dongkel mayat itu dengan ujung kaki, dan mayat itu terguling menyamping. Muka mayat itu menghadap dinding tanah. Cahaya bintang yang terang dan langit yang cerah cukup memberi arti bagi Parlan, setidaknya dia tidak perlukan senter untuk menyorot mayat itu. Sekali lagi, Parlan membolak-balik mayat itu dengan kakinya, tangannya, cangkulnya berulang kali dan hatinya geram tak menemukan sesuatu. Satu-dua kata makian sempat terlontar dari mulutnya. Parlan tidak sadarkan diri. Dia bagai kesetanan dalam lobang kuburan. Dia juga tidak sadar kalau di atas kubur itu berdiri banyak orang kampung mengamati gerak-geriknya. Hingga pada sebuah waktu Parlan sadarkan diri. Dia tengadahkan mukanya ke atas. Dia hirup udara segar malam yang dingin dengan maksud mengusir kepenatannya. Dari sudut matanya yang nanar, dia menangkap bayang-bayang banyak orang. Terasa seakan semua mata kaku menelanjanginya bagaikan ketika dia menelanjangi mayat Lurang Wangsit. Dia melihat seakan ribuan kunang-kunang terbang di atas kuburan dan matanya itu pun semakin berat dengan pandangan yang berkunang-kunang. Hanya sebentar, Parlan tak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya. ***Geger. Keesokan harinya tersiar kabar bahwa kuburan Lurah Wangsit dibongkar orang. Orang-orang kampung banyak membicarakan itu di pasar-pasar, namun ada satu orang perempuan yang diam-diam meninggalkan kampung itu. Dia tidak saja meninggalkan semua kenangan yang dia miliki bersama suaminya, tidak! Perempuan itu juga meninggalkan suami pada kubur yang digalinya tadi malam.*** maha pengadil, Bu..." "Maha pengadil bagaimana, Pak?" "Ya, maha pengadil." "Lho?" "Iya, Tuhan itu akan memberikan nikmatnya pada hambanya yang sabar dan terus berdoa. Sabar melakoni pekerjaannya tanpa berkeluh kesah. Istilahnya: Ora et labora, Bu..." "Ora et labora, ora et labor... Omong kosong, tuh Pak. Lha, kita sudah hampir tiga puluh tahun berumah tangga, kalau tak sabar ya sudah bubaran kita ini!" Istri Parlan mulai ketus. Bibirnya dia cibirkan. Untuk sejenak, wajah itu jadi jelek. "Nasib..." suara itu perlahan meloncat keluar dari mulut Parlan. Untuk sementara, mereka berdua terbuai hening. Parlan menikmati sebatang rokok kreteknya. Dia tarik dalam-dalam rokok itu, dan puuuuussshhh.. Asap rokok itu bagaikan awan larat yang bergulung dalam keheningan. Lalu menipis bersatu dalam partikel oxygen. Istrinya sibuk dengan sulamannya. "Tadi siang, siapa yang meninggal, Pak?" tanya istrinya membuka kesunyian. "Pak Lurah Wangsit dari kampung seberang." "Lho, kok ditanam di desa kita?" "Itu permintaan keluarga mereka." Jari-jemari tangan istrinya rehat sejenak. Wajahnya serius menuding ke suaminya. "Apa alasan mereka, Pak?" "Kurang jelas, Bu. Dengar-dengar cerita Lurah Wangsit itu kikir dan tamak. Dia selalu mementingkan dirinya sendiri. Banyak sudah kekayaan yang didapatnya dari orang
Air Mata Salju
Cerpen Nyoto
Dimuat di Riau Pos 11/10/2002 Telah Disimak 473 kali |
Kyoto, September 1986 CUACA dingin akibat salju yang terus turun bagaikan hujan, dan di beberapa tempat salju-salju itu menumpuk bagaikan bukit-bukit kecil, membuatku tambah dingin. Tak biasanya aku merasakan suasana seperti ini. Baju tebal yang kukenakan; dengan lengan panjang dan sarung tangan hitam, krah baju menutupi sebagian besar leherku, namun dingin terus saja merasuk menikam perasaanku. Angin sepoi menampar-nampar wajahku yang pucat dan tambah pucat karena kegemetaranku. Gigi-gigku sesekali saling bertetak, bibir menggetar. Sungguh, sungguh menyiksa kebiasaanku yang tak seperti hari itu. Salju-salju putih bersih bagai kapas-kapas halus jatuh perlahan. Terbujur dihamparan tumpukkan salju lain yang terlebih dahulu tersungkur di atas tanah. Pohon-pohon sakura yang gagah dan cantik tampak semakin indah. Bunganya yang berwarna pink terasa sejuk di mata ketika salju-salju kecil itu menepis pinggir mahkotanya yang aduhai. Daun-daun pinus halus kelihatannya pika-pika suru1. Aku berada di bawah sebatang pohon sakura tua yang sebagian besar bunganya sudah terbalut salju. Di situ ada sebuah kursi kayu panjang yang sengaja dibuat untuk tempat orang-orang duduk bersantai. Aku duduk di situ. Biarpun aku berlindung di bawah pohon sakura, tetapi rasa dingin tak mampu terusir dari sensitifitas kulitku. Dingin terus saja menikamku. Rasanya aku mau ka-o. Sementara bunga es yang turun bagaikan hujan kecil, masih menyempatkan diri singgah di bulu-bulu mataku yang kacau. Sesekali aku mengusapnya dengan tapak tanganku yang bersarung tebal. Sebenarnya aku sudah dua bulan berada di Kyoto. Keberadaanku di sini dalam rangka tugas belajar tentang metalurgi2 sesuai dengan jurusan yang kutimba di salah satu PTN di Surabaya. Aku sedikit bernasib baik karena keenceran otakku. Aku dikirim pemerintah ke sana selama satu semester. Sekarang aku sudah dua bulan berada di sana terletak di sudut kiri pintu masuk. Meja itu tidak tertimpa salju karena terlindung atap. Juga ada tiga buah kursi. Aku berjalan terus dituntun Konji hingga pada sebuah tatapan beberapa pasang mata. Miyuki, seorang wanita anggun (dalam hatiku, aku dapat menebak: ini pasti ibu Miyuki karena kemiripan wajahnya), dan satu lagi seorang tua yang usianya jika kutebak sekitar tujuh puluhan. Perawakannya tidak begitu tinggi. Wajahnya klimis. Biarpun cuaca dan tiupan angin terasa dingin, tetapi wajah orang ini tetap segar kemerahan. Ini mencerminkan dia cukup sehat. Pakaian yang dikenakannya pun sangat tradisional. Menyerupai pakaian seorang samurai. Di dekatnya duduk, ada sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu. Miyuki berdiri di kanan dan wanita tengah baya berdiri di kirinya. ''Dare ka. Dare ka.’’ (Seseorang. Seseorang) bibirnya bergetar. Suara itu tidak cukup kuat untuk diterima telinga manusia. Hanya karena aku dekat, maka aku mendengarnya. Segera aku memberi hormat. Kurendahkan badanku sama seperti kebiasaan nihonjin. Aku belum berani bersuara karena orangtua itu terlalu agung penampilannya. ‘’Dare ka. Hai.’’ Dia terdiam sejenak. ‘’Kimi-wa, Antonius-san desu ka?’’ (apakah kamu bernama Antonius?) suaranya berat. ‘’Hai, so desu,’’ aku mengangguk. Dia menatapku terus. Agak senang. ‘’Apa kabar, Nak Antonius?’’ sapanya padaku dengan bahasa Indonesia yang cukup jelas. Aku membelalakkan mata. Sejenak kulupakan dingin yang menyerang ulu hatiku. Tetapi hanya sejurus, ketika aku teringat Miyuki pernah mengatakan kakeknya pernah menjadi atase militer di Indonesia, aku tidak kaget lagi. Aku jawab dengan bahasa Indonesia, ‘’Kabar baik, Tuan.’’ ‘’Saya Iwada, Iwada Hirato, kakek Miyuki,’’ dia berbahasa Indonesia lagi. ‘’Silahkan duduk.’’ Dia sangat sopan. Aku mengambil tempat duduk tidak persis di depannya, agak menyamping. Sehingga kami berbincang-bincang namun kami juga bisa menikmati jatuhnya kapas-kapas salju yang tak henti-hentinya bagaikan hujan ketika menyerbu bumi. ‘’Antonius-san, kamu berasal dari mana?’’ tanyanya. Miyuki menyempatkan diri menuang teh ke dalam dua cawan mungil. Teh yang berwarna kemerahan. Inilah yang dinamakan orang Jepang minum ocha7 ‘’Indonesia.’’ ‘’Hai, pulau apa?’’ ‘’Sumatera, Tuan’’ ‘’Hah!?’’ Dia terperanjat. ‘’Dare ka. Ee, dare ka.’’ ‘’Siapa ibumu?’’ ‘’Chang Hong Lan.’’ ‘’Dia sehat-sehat saja?’’ Aku mengangguk, lalu, ‘’Ee, okagesama de,’’ (ya, berkat doa, anda). Untuk sejenak kami terdiam sampai wanita tengah baya yang bukan lain adalah ibu Miyuki mempersilahkanku minum teh yang sedari tadi sudah dituang. Aku hirup perlahan teh hangat kemerahan itu dengan nikmat yang belum pernah kurasakan selama ini. Ada rasa hangat yang membantuku mengusir dingin yang terus menyengat. Sejujurnya, aku menyukai suasana itu, tetapi kondisi alam yang tidak membuatku akrab seperti ini menyebabkan aku harus tersiksa seperti orang sakit asma. ‘’Nenek kamu masih hidup?’’ tanyanya dengan bahasa Indonesia yang setengah celat. Oarngtua ini kurang berlatih bicara Indonesia. Sebenarnya, bahasa Indonesia yang dikuasainya cukup baik dan pengucapannya kumengerti. ‘’Tiga bulan sebelum saya ke mari, nenek meninggal akibat serangan jantung,’’ paparku singkat. Dan aku masih sempat menjenguk nenek ketika dia mengatakan aku turunan satria dari bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur. Kakekku seorang patriot bangsanya. Dia seorang pahlawan bagi negerinya. ‘’Kasihan dia. Nenekmu bernama Olina? Maksud saya Pek Kim. Ya, Yap Pek Kim?’’ Kali ini aku yang terperanjat setengah mati. Kalau tak ada kursi yang menopang badanku, barangkali aku sudah terjerambab ke lantai. Wajahku seketika itu pucat pasi, karena tidak kusangka Iwada Hirato mengetahui nama nenekku, bahkan nama kecilnya. Ya, Tuhan Ada permainan apa ini? Belum habis bingungku, orangtua itu menangis tersedu-sedu. Tetapi dia tabah dalam menahan kesedihannya. Jelas! Dia seorang satria yang berpantang cengeng. ‘’Arigato, goryoshin ni yoroshiku. Gomen nasai.’’ (terima kasih, sampaikan salamku pada orangtuamu. Maafkan aku) orangtua itu berujar lemah sembari tangannya menyeka dua butir. Walaupun sama-sama berada di benua Asia, namun semuanya terasa berbeda. Makanku payah. Bahasa Jepangku juga kacau balau. Aku lebih senang mempergunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Jepang, tetapi orang-orang Jepang itu sendiri pun tambah kacau bahasa Inggrisnya. Akhirnya aku mau tidak mau mempergunakan bahasa mereka. Ternyata lambat-laun aku mampu juga menyesuaikan bahasaku. Soal makan, aku tak begitu pusing. Lidah Tionghoa-ku selalu menurut kemauan seleraku. Apalagi orang-orang Jepang, mereka umumnya makan mempergunakan copstick3 sama seperti orang Tionghoa layaknya. Bagiku semua itu no-problem. Kebiasaan orang-orang Jepang yang begitu disiplin dan hormat pada atasan, aku juga mampu membiasakan diri. Kurasa semuanya dapat kuatasi, hanya saja ketika sesi musim salju, aku terpaksa bagaikan pesakitan. Rasa dingin itu terkadang membuat lidahku terjulur seperti anjing herder yang kehausan. Tak terasa aku termenung entah berapa lama di situ; di bawah pohon sakura tua yang rimbun. Kerimbunan itu pun semakin rimbun ketika salju terus menebal. ‘’Sore wa kirei na hana desu,’’ (bunga-bunga itu indah) ujar Miyuki yang datang bersamaku ke tempat itu. Dia menggeser duduknya, merapat ke sisiku. ‘’Shiroi hana,’’ (bunga putih) lanjutnya. Miyuki Akisito gadis Jepang yang kukenal di Kyoto Institute and Science dua bulan lalu. Ketika aku seperti orang asing, di sana Miyuki menyapaku dengan lembut, ‘’Anata wa gaijin desu ka?’’ (apakah anda orang asing?). Wajahnya menatapku curiga. ‘’Haik, so desu,’’ (ya, betul) jawabku acuh. ‘’Shogaku sikin omedeto gozaimasu,’’ (selamat memperoleh bea siswa) Miyuki mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Umumnya pelajar dari luar Jepang yang mendapat bea siswa belajar di sana. ‘’Domo arigato gozaima%@!#$&a,’’ (terima kasih banyak). Pandangannya curiga. Memang. Kalau aku mau menipu nihonjin, aku rasa tak payah. Wajahku yang kental dengan ras Asia jelas ada kemiripan dengan mereka. Namun, aku juga butuh sahabat yang membimbingku di sana. Miyuki, gadis imut inilah yang kuperlukan. Setidaknya, dia bisa menuntunku pada berbagai kendala yang bakal kuhadapi dalam tugas belajar. Dari perkenalanku dengan Miyuki, aku mengetahui kalau dara Jepang ini beberapa tahun lalu pernah berkunjung ke Indonesia. Dia mengikuti tour dan mengunjungi pulau Jawa serta Bali. Namun, pada kunjungannya di Sumatera Utara, dia pernah singgah di sebuah Desa Bamban dekat Kota Tebing Tinggi. Di sana Miyuki sekedar napak tilas ketika kakeknya Iwada Hirato pernah menjadi atase militer. Dia hanya merekam beberapa sudut desa Bamban pada handycamp-nya dan menjepret beberapa lokasi yang disebutkan kakeknya. Dan sekembalinya dari Indonesia, Miyuki bercerita pada Iwada, sehingga Iwada Hirato meneteskan air mata. Tak ada jejak apapun yang tertinggal ketika desa itu sekarang telah menjadi sarang walet. Miyuki tidak berani membuka surat itu. Dia mengembalikan surat itu pada Iwada, dan Iwada menyimpannya kembali di lemari kecil yang terbuat dari kayu mahoni. Hanya satu pesan Iwada Hirato pada cucunya, sampaikan sepucuk surat dengan amplop putih yang tertutup rapi dengan nama yang ditulis kurang begitu lengkap. Huruf KIM tertulis rapi gaya kaligrafi Jepang. Jelas huruf itu ditulis dengan mo-pit5 *** Aku dan Miyuki yang berlibur akhir pekan di sebuah sudut taman kota Kyoto, sering menghabiskan waktu berjam-jam di situ. Kami ngobrol, saling tukar pengalaman. Ketika pertama aku tiba di kota ini, salju belum turun sehebat sekarang. Hanya elusan angin sepoi dingin yang terasa. Bunga-bunga salju hanya bagaikan kapas putih kecil yang terbang melambai ditiup angin. Saat itu aku dan Miyuki mampu duduk hingga tiga jam. Tetapi, ketika salju turun pada puncaknya, aku yang tidak terbiasa dengan alam musim dingin, terpaksa merasa tersiksa. Aku keluarkan topi sebo yang kubeli di sebuah toko murahan di kota itu. Kupakai dan kugulung ke atas sehingga hanya kepala bagian atas saja yang tertutup. Miyuki maklum kalau aku tidak tahan dingin. Hanya sebentar, di kepalaku sudah penuh dengan kapas-kapas salju. Kulihat Miyuki juga demikian. Gadis itu sungguh cantik diterpa salju. Hatinya selembut salju, membuatku hanyut pada sebuah lamunan. Seakan aku ingin membawanya ke Indonesia. Tetapi, aku sendiri tidak punya keberanian untuk itu. Perkenalanku yang cuma tak lebih dari dua bulan, tentu belum mendapat simpati dari keluarganya. Akhirnya aku sedikit menyerah. Aku tersentak dalam lamunan ketika Miyuki menggandeng lenganku. ‘’%@!#$&surei shimasu,’’ (maafkan saya) ujarnya membuyar lamunanku. Aku memalingkan wajahku padanya dan mengumbar senyum. Tidak banyak yang kami bicarakan pada hari itu. Karena dingin yang terus menikam, membuat pikiranku kacau. Libur akhir pekanku tak seindah yang kubayangkan. Memang. Biasanya orang-orang Jepang pada musim dingin lebih banyak berdiam di rumah dan menikmati sake atau teh hangat. Mereka minum-minum saling bagi pengalaman atau saling bercanda. Hangatnya api tungku mampu membakar semangat juang para nihonjin. Di sana mereka menyebutnya semangat matahari. Aku bangkit dari kursi panjang dan berlalu dari taman itu. Miyuki menguntitku, dan pada sebuah terminal bus, kami berpisah. ‘’Sayonara, Miyuki,’’ (sampai jumpa, Miyuki) aku melambaikan tangan ketika sebuah bus tiba dan langkahku lebar menuju ke pintu bus. ‘’Mata a%@!#$&a,’’ (sampai jumpa besok) Miyuki melambaikan tangannya padaku. Bus pun semakin jauh meninggalkan halte itu. Kupalingkan wajahku ke belakang, namun Miyuki sudah tidak tampak lagi oleh mataku. Keramaian kota Kyoto menutupi wajah Miyuki. *** Pada sebuah senja aku ditelepon oleh Miyuki. Dia mengatakan bahwa kakeknya, Iwada Hirato ingin bertemu denganku. Aku sama sekali tidak paham apa maksud Miyuki. Aku bertanya padanya; apa maksud orangtua itu memanggilku? Miyuki mengatakan kalau kakeknya ingin bernostalgia denganku. Kakeknya yang pernah bertugas di Indonesia semasa penjajahan Jepang tidak sempat tinggal lama di Indonesia. Dia harus pulang ke negerinya ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Akhirnya kuputuskan untuk menjumpai orangtua itu. Aku yakin, Miyuki tidak mungkin memburuk-burukkan diriku pada keluarganya. Dan aku pun tidak merasa canggung berada di depan orang-orang Jepang. Sebab aku sudah banyak belajar etika mereka dari Miyuki. Ya, gadis imut yang pernah singgah di hatiku. Tak mampu aku memejamkan mataku barang sebentar saja pun. Sudah kuusahakan untuk membaca buku sebanyak-banyaknya; kucari bacaan berat; buku tebal. Satu buah text-book kuraih dan kugarap, namun mataku tak jua mau diajak tidur. Di kepalaku penuh dengan bayangan Miyuki, Iwada dan setidaknya ibu Miyuki yang berpakaian kimono6 dan duduk bersimpuh pada kedua kakinya bersama menikmati hidangan teh hangat. Jam belum juga pukul sembilan setengah ketika aku keluar dari apartemenku yang berada di Moyagi Street, lantai sembilan. Langkahku lebar menuju halte bus. Dari sana aku terus menuju rumah Miyuki yang berjarak tak lebih sepuluh kilometer. Sebenarnya aku ingin naik kereta api listrik, tetapi biarlah. Aku ingin nikmati hari-hari dinginku di kota metropolitan ini bersama bus saja. Hatiku ngeras. Pukul sepuluh setengah aku tiba di rumah Miyuki. Sebuah rumah yang kunilai tidak begitu mewah, tetapi menandai ini rumah orang terhormat. Di kota Kyoto, rumah seperti ini agaknya bagi orang-orang yang berjasa bagi negara saja. Yang lainnya adalah rumah-rumah yang berbentuk apartemen. Aku dipersilahkan masuk oleh seseorang yang kemudian kukenal sebagai Konji. Dia pembantu di rumah Iwada. Orangnya sopan dan sangat hormat pada tamu. ‘’Obasan, ohayo, gozaimasu.’’ (selamat pagi, bibi) sapaku hormat. Aku membungkukkan badan. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan begini tiap kali aku menyapa orang. ‘’Ohayo, gozaimasu.’’ (selamat pagi), ‘’Antonius-san?’’ tanyanya padaku sembari memberi hormat dengan menekuk badannya empat puluh lima derajat. Aku membalas hormat orangtua itu, ‘’Hai, so desu,’’ ( ya, betul) kataku membenarkan. Dia mempersilahkanku masuk ke ruangan tengah. Sebuah pintu gaya arsitektur khas Jepang. Pintu itu menuju ke sebuah ruangan yang terbuka. Ini adalah halaman terbuka yang di tengahnya ada tiga buah kursi dan satu buah meja batu. Di pinggir halaman itu ada sebuah meja lain yang air mata yang jatuh di pangkuannya. Air mata itu jatuh dibalut dinginnya salju dan berguling ke lantai. Aku tak kuasa bertahan. Semua rasa dingin seakan terusir dari sekujur tubuhku. Aku terbaring. Badanku terasa ringan dan aku yakin; ini mimpi di tengah musim salju. Tingkat kesadaranku masih di ambang batas, sebuah lengan usang membelai-belai keningku. Kulihat di wajahnya ada air mata salju.***