Senin, 25 Oktober 2010

Kunci Jawaban Akuntansi AHLITEK dan RAPIJALI

Nah.. ini kunci jawaban yang dari Pak Suwardjono, Kawan..
;-)..

Langsung klik ke "Namanya" sadja,ea..


AHLITEK

Minggu, 10 Oktober 2010

Jawaban soal BONAFIDE

Rekan AKSI 2010, aku iseng-iseng kerjain soal BONAFIDE yang jadi tugas kemarin. Nie hasilnya bisa didunlud kalo pengen liat, kalo da kesalahan comment aja ya...
Makasih...
:-)..

Click this link...
http://www.4shared.com/document/xSYwV0gg/BONAFIDE_edited.html

di sini sebuah pengetahuan akan terbagi, menebar indahnya ilmu di antara insan.

Sabtu, 09 Oktober 2010






Masih ingat sama tugas PT HORIZON kemarin, Rekan AKSI kelas B 2010?
Kalo ada yang mau dunlud lewat blognya Vendhy, ini aku persilahkan..
;-)...

Horizon A

http://www.4shared.com/document/3qjyXiOg/HorisonA.html


Horizon B

http://www.4shared.com/document/TjH2TYVL/HorisonB.html






Jumat, 23 April 2010

Singgah di Sirkus

IA melangkah keluar dari bayangan pohon randu. Dan tiba di pintu gerbang sirkus itu. Betapa mustahil keadaan awal ini dapat menjadi yang selainnya. Ia telah mesti ada di situ, pada saat itu. Dari kejauhan dapat didengarnya suara riuh-rendah manusia dan musik. Dilihatnya warna-warna. Seorang penjaga bersandar di samping gardu kayu. Lelaki itu mengamatinya, seperti menyangsikannya. Dari bentuk batok kepalamu, aku tahu kamu penari. Atau detektif. Ambillah ini.Sobekan selembar karcis tiba di tangannya. Atau rahib?Ia tak menjawab, sebab ia bukan sesiapa. Jari-jarinya meraba sejenak kayu terkelupas di pintu gerbang. Ia merasa tempat itu menyimpan semacam rahasia, keajaiban. Begitu banyak pilihan. Ia belum pernah ke sirkus, dan tak tahu mesti memulai dari mana. Ia berjalan menuju kerumunan. Terdengar lagu akordion mekanis dari mesin permainan membaur dengan deru mesin diesel. Ia mengamati tempelan poster pertunjukan dan bendera berkibaran, mendengarkan para peneriak di luar tenda atau bangunan kayu. Ia menuju tenda pesulap. Membayar karcis sambil menatap poster bergambar siluet hitam misterius berselubung awan putih. Ada tulisan nama pesulap, bertebar bintang-bintang di sekitarnya. Kalimat di bawahnya dicetak dalam huruf lebih kecil. Pesulap, hampir penyihir. Setengah jam kemudian terkagum ia keluar dari tenda pesulap. Ia masuk ke tenda sebelahnya yang tampak lebih megah. Sang peneriak di luar tenda mengulangi seruan yang telah didengarnya tadi. Ayo, berduyun-duyunlah! Saksikanlah! Empat badut spektakuler abad ini!Kuartet badut yang ternyata biasa-biasa saja. Ia heran mengapa antrian karcis untuk badut lebih panjang dari pesulap. Ia pergi mengamati komidi putar dan dremolen, masuk ke pertunjukan seorang peniti tali dan penelan api, lalu keluar menuju deretan adu ketangkasan. Ia menghampiri sebuah mesin pencapit. Ia menempelkan mukanya pada kaca kotak capitan, menatap dengan mata besar segala yang bertaburan sedap di dasar. Sesaat ia tergoda. Jika koin dimasukkan, capit besi itu akan terbuka seperti cakar monster jahat, turun menuju serakan cokelat, biskuit, dan permen di dasar. Mungkin beberapa akan terangkat cakar, mungkin jatuh kembali ke dasar. Ia mengurungkan niat, meniupkan nafasnya pada muka kaca, menggambar spiral, dan berlalu. Ia berada di sana bukan untuk hadiah.Ia pergi membeli gulali. Berlama-lama di depan gerai, sambil minum soda ia menonton pembuat gulali memutar benang-benang halus merah muda, hingga menjelma gunungan kapas yang tampak empuk. Ia terpukau. Ia memesan gulali berkali-kali. Setiap kali wajahnya mendekat, matanya mencoba mengikuti gerak untaian gulali. Sia-sia. Setiap kali pula, ia menatap pupil mata pembuat gulali dan tangannya yang bergerak seolah punya mata pada tiap ujung jemari. Ia ragu, mana yang lebih memukau, perempuan pembuat gulali atau gulalinya. Sebab perempuan itu buta.Ia ingin berputar seperti gulali.Dengan lidah kelu hampir mati rasa oleh manis dan bibir dan ujung jari berubah merah, ia menyeruak di antara para pengunjung. Baginya, dari semua tempat di sirkus, yang paling menyenangkan adalah gerai gulali. TAPI ia keliru. Itu disadarinya kemudian. Ketika ia menatap rumah cermin untuk pertama kali. Di tepi lapangan, di sebuah sudut sepi. Di antara terang matahari panas, rumah cermin itu seakan mengumpulkan gelap di dalam dirinya sendiri dengan dingin. Ada beberapa pintu di situ, ia mengelilingi bangunan itu untuk menghitung jumlahnya. Delapan pintu berbeda. Ia masuk lewat salah satu pintu, tiba di sebuah lorong selebar rentang tangan, berdinding cermin di kanan kirinya. Ia membanyak tak berhingga. Lorong itu berbelok bercabangan ke sana-ke mari. Beberapa kali ia menjumpai dirinya ada dalam kubus cermin. Entah ada berapa, semuanya tampak sama. Di sana, empat sisi dinding memantulkan dirinya, kiri kanan depan belakang. Begitu banyak dirinya, ia tak lagi tahu yang mana dirinya sesungguhnya. Bagai berada dalam ulu hati sebuah berlian cemerlang, tersasar dalam labirin sejuta cahaya berpantulan. Ia pun menari. Berputar seperti gulali.Telah senja hari, ketika ia keluar. Kepalanya sedang berputar menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan, ketika sang penjaga menghampirinya dan berkata ia boleh tinggal di sirkus itu, tanpa bilang mengapa. Ia menduga, penjaga itu telah melihatnya menari dalam salah satu kubus rumah kaca. Ia ingat telah berpapasan dengannya pada sebuah kelokan. Ia menengadah ke langit, melihat bulan berbentuk huruf c.Penjaga sirkus memang telah melihatnya menari. Hanya beberapa gerakan, tapi itu telah cukup baginya. Sebab gerak-gerik itu mungkin memang bisa disebut menari.MAKA ia sering mengunjungi rumah cermin. Tak banyak orang yang ke sana. Ia mempelajari skema dan berbagai rutenya. Kadang bereksperimen dengan gerakan musykil dalam salah satu kubus cermin. Kadang ia berputar-putar saja sesukanya, hingga ia pening dan jatuh terhuyung. Jika capek, ia mencoba menghitung jumlah pantulannya pada cermin. Kadang dijumpainya sang penjaga sirkus di salah satu lorongnya. Halo.Hai.Lalu mereka berbelok ke lorong berbeda arah.Sesekali mereka keluar dari pintu yang berbeda, lalu ke kedai kopi tak jauh dari rumah cermin itu. Kedai itu menjual macam-macam minuman yang diurut secara alfabet dari a sampai z pada daftar menunya -- kecuali kopi. Pemiliknya seorang pensiunan penyair yang bercita-cita menjadi saddhu di jalanan Kalkuta, tapi istrinya melempar piring-piring ke arahnya ketika tahu. Di kedai kopi tanpa kopi itu, ia dan si penjaga akan duduk satu-dua jam bercakap tentang menari sebab lelaki itu juga seorang penari, meski jarang tampil. Atau tentang kota, setrika, spontanitas terjadwal, jarak. Atau mengetawai kelucuan orang-orang di sirkus. Lelaki itu selalu punya satu ringkasan cerita dari negeri-negeri jauh. Dan istilah-istilah yang belum pernah didengarnya. Ignoranus, demikian ia mengumpat pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Ikonofilia, begitulah ia merujuk pada penonton panggung penari. Siklofrenik, katanya menunjuk dengan dagu pada para pengunjung yang menjerit-jerit histeris pada mobil-mobilan rel yang meluncur turun dengan laju. Lalu ia mesti bertanya, dengan kenaifan yang mungkin menggelikan bagi si penjaga sirkus, bertanya untuk ke sekian kali, apa itu? Sesekali mereka bercakap bersama para badut, pesulap, nona bajang albino, pemilik kedai kopi, penelan api, pemain akrobat, atau pengunjung sirkus yang ikut nimbrung. Sesekali ia mendengarkan beberapa nasihat dari mereka.Ini rahasianya, kata pemilik kedai kopi, bukan soal apa yang kamu lakukan, tapi seberapa pintar kamu pertunjukkan apa yang kamu lakukan. Ini bisnis pertunjukan dengan ideologi agung: kemasan lebih penting daripada produk. Kandungan gizi biskuit, saus tomat, atau shampo tak penting, tapi tunjukkan mimpi -- seperti di tivi. Anak-anak masa depan yang cerdas, keluarga harmonis bersantap malam, pacar bertambah sayang. Imaji, bukan substansi.Pembuat gulali yang janda itu pasti tersinggung mendengar ini, ketua badut menambahkan. Kamu pikir kenapa manusia menemukan gulali? Karena tak ada orang yang mau makan gula murni, itu tak menarik. Tapi penghalusan, pewarnaan, penggelembungan, menjadikannya menarik. Isi gulali itu melulu angin! Kenapa badut harus berpakaian norak bermuka putih berhidung merah begitu? Pakaian kami, bahan-bahan halus bermotif meriah itu, khusus diimpor dari kota. Imaji, teman baruku!Selamat datang di dunia imaji, resolusi tinggi, penjaga sirkus berkata sambil bertopang dagu.Ia diam, gulali yang menarik versi ketua badut itu justru terdengar tak menarik, keluar dari bibirnya yang siang itu tanpa merah gincu. Pentasnya pun bahkan tak lucu.

Menuggu Cerpen Nurhadiansyah

Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. "Tunggu aku di tempat biasa. Jam setengah lima, setelah aku pulang kerja. Jangan sampai terlambat, ya." Begitulah bunyi pesan pendek yang ia kirimkan ke telepon genggamku. Karena aku mencintainya, tentu saja permintaannya itu langsung aku turuti. Sepulang dari tempatku bekerja, aku langsung bergegas menuju tempat ini dan menunggu kedatangannya. Sendirian.
Memang, kami memang biasa bertemu di tempat ini, sebuah tempat yang tidak bisa dikatakan sebagai tempat yang istimewa. Tempat ini hanyalah sebuah halte. Tempat persinggahan untuk sementara waktu. Seperti sebuah kehidupan, begitu pikirku. Ya, halte memang seperti sebuah kehidupan. Tempat yang cuma disinggahi sebentar. Tidak bisa untuk tetap tinggal abadi. Hanya sementara waktu, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan berikutnya yang entah menuju ke mana dan entah akan berakhir di mana.
Aku menatap arloji digital yang memeluk pergelangan tangan kananku. Angkanya menunjukkan pukul 16:00. Hmm, rupanya aku datang lebih awal setengah jam. Biarlah. Setidaknya aku tidak datang terlambat. Lagi pula, setengah jam bukanlah waktu yang lama. Cuma tiga puluh menit. Apalagi untuk menunggu seorang wanita seperti dia. Menunggu sampai bertahun-tahun pun akan kujalani. Menunggu sampai menjadi patung pun akan kusanggupi. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Dan menunggu, seperti kita tahu, juga termasuk dari sebuah pengorbanan, bukan? Aku mencintainya. Dia juga, katanya, mencintaiku. Jadi, tak ada salahnya kan jika aku mengorbankan setengah jam hidupku hanya untuk menunggu wanita itu?
Jress! Aku menyalakan sebatang rokok yang terselip di antara celah bibirku. Sekepul demi sekepul asap rokok meluncur ke udara dan segera melarut bersama angin sore. Di hadapanku, segala jenis kendaraan berlalu-lalang. Sepeda motor menyalip bis kota. Sedan hitam mendahului taksi. Debu-debu saling berkejaran. Aku mengembuskan asap rokok ke udara. Seorang wanita muda turun dari bus Patas, lantas berjalan perlahan menuju halte ini dan duduk di sampingku. Aku melirik ke arahnya. Wajahnya cantik. Rambutnya yang bergelombang itu dibiarkannya tergerai. Di mataku, ia terlihat seperti seorang wanita yang tahu betul betapa pentingnya arti sebuah penampilan. Aku menarik nafas panjang, dan dengan segera aroma parfum yang meruap dari tubuhnya itu langsung masuk ke dalam hidungku. Hmm. Aku melirik ke arah matanya. Tetapi, hei, mengapa matanya terlihat begitu sedih? Apakah ia sedang terluka?
Aku mendengar suara telepon genggam berbunyi. Nadanya terdengar asing di kedua telingaku. Tentu, tentu suara itu milik telepon genggam wanita itu. Dari ekor mataku, aku melihat wanita itu membuka tasnya yang berukuran kecil, mengambil sebuah telepon genggam yang kecil, lantas didekatkan di telinga kanannya yang tergantung anting-anting yang juga kecil. Aku mendengar ia berbicara.
"Sudahlah, lupakan aku. Selamat tinggal."
Kemudian, aku melihat ia mematikan telepon genggamnya dan menatap kosong ke depan.
"Apakah setiap laki-laki memang seperti itu?" tanyanya lirih. Entah kepada siapa.
Aku tidak menjawab, sebab ia memang tidak bertanya kepadaku. Kalau pun ia memang bertanya kepadaku, tentu aku butuh waktu untuk bisa menjawabnya. Sebab, pertanyaannya itu memang tidak akan cukup jika cuma diberikan jawaban 'iya' atau 'tidak'.
Aku masih tetap memerhatikan wanita cantik itu. Setelah menaruh telepon genggamnya, ia mengambil sebatang rokok dari dalam tas kecilnya, menyelipkannya di celah bibirnya yang berwarna merah, mambakarnya, menyemburkan asapnya secara sembarang, lantas berdiri dan berjalan meninggalkan halte ini. Ia seperti tidak mempedulikan akan keberadaanku. Ia seperti berada di sebuah dimensi kosong yang tidak ada orang lain lagi kecuali dirinya sendiri. Kedua mataku, entah mengapa, masih terus membututinya. Ia berjalan di atas trotoar, sambil terus merokok, dan melenyap di sebuah kelokan. Ke manakah wanita itu akan pergi? Entahlah. Tentu saja aku tidak akan pernah tahu. Misteri.
Aku kembali mengembuskan asap rokokku ke udara. Terkadang asap itu kupermainkan, agar aku tidak jemu dalam penantian. Aku memonyongkan bibirku, mendesak asap itu dengan lidahku, lantas meluncurlah segumpal asap yang membentuk sebuah lingkaran. Sebuah lingkaran putih, seperti lingkaran yang selalu mengambang di atas kepala malaikat yang sering kulihat di komik-komik. Aku bisa melihat bagaimana asap itu melayang, mengambang, lantas menghilang karena dihapus angin. Segumpal asap, begitulah, meskipun terlihat sepele, ternyata bisa memberikan ketenangan bagi diriku.
Ke manakah wanita itu akan pergi? Aku kembali bertanya tentang wanita yang telah lenyap di kelokan itu. Barangkali ia akan pergi ke sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi. Namun, di manakah tempat itu berada? Tentu saja cuma wanita itu yang mengetahuinya. Barangkali ia akan mengunjungi sebuah tempat yang dapat menghadirkan kebahagiaan semu. Seperti diskotik, pub, atau pun kafe-kafe yang lampunya selalu remang-remang, yang seperti enggan menghadirkan sebuah kenyataan. Tetapi, ah, sepertinya itu tidak mungkin. Hari masih sore, dan sore bukanlah waktu yang tepat untuk pergi ke tempat-tempat semacam itu. Barangkali ia akan pulang ke rumah. Tidak pergi ke mana-mana. Sebab, ia berpikir, pergi ke mana-mana pun tidak akan mampu menghibur hatinya yang anggap saja sedang terluka itu. Ia akan berdiam diri di dalam kamar. Barangkali ia akan menangis, dan menghabiskan waktunya hanya dalam kesendirian. Dan, ia akan tersadar, betapa di dunia ini tidak ada yang tetap tinggal abadi.
Hmm. Aku kembali teringat dengan wanita yang saat ini sedang kutunggu-tunggu kehadirannya. Apakah ia juga akan seperti itu jika hatinya sedang terluka? Apakah ia juga akan mengatakan, 'Apakah setiap laki-laki memang seperti itu?' jika hatinya telah dikhianati? Hmm. Aku jadi semakin tidak sabar dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
* * *
Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. Aku membuang rokokku yang sudah pendek ke aspal dan membunuh baranya dengan injakan. Fiiuuuh! Segumpal asap terakhir meluncur dari bibirku. Lima belas menit sudah berlalu. Berarti, lima belas menit lagi, ia akan hadir di hadapanku. Aku memang sudah terbiasa menghitung waktu dengan sebatang rokok. Sebatang rokok, bagiku, bisa menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit. Langit di atas sana memperlihatkan pemandangan sore. Mega-mega bersepuh susu berarak lambat melintasi cakrawala mengikuti ajakan angin. Matahari bersembunyi di balik gedung-gedung kaca. Angin berembus. Daun-daun saling menampar. 'Lima belas menit lagi,' ujarku dalam hati.
Wanita yang sedang kutunggu-tunggu kehadirannya itu adalah seorang wanita yang menarik. Memang tidak cantik, tetapi menarik. Ah. Cantik. Menarik. Manakah yang lebih menjanjikan untuk sebuah kebahagiaan?
"Aku tidak cantik," ujarnya dulu.
"Lantas, memang kenapa kalau tidak cantik?"
"Iya, mengapa kamu memilih aku? Bukankah masih banyak yang lebih cantik dari aku?"
"Aku memilihmu, sebab kamu adalah wanita yang menarik."
"Menarik?"
"Ya, menarik."
"Tapi, aku tidak cantik."
"Tidak perlu harus menjadi cantik, untuk bisa tampil menarik."
"Kalau begitu, apa yang menarik dariku?"
"Matamu."
"Mataku? Ada apa dengan mataku?"
"Seperti ada tali."
"Maksudmu?"
"Ya, di dalam matamu seperti ada tali yang telah menarik hatiku sehingga membuatku jatuh cinta kepadamu."
"Uh, gombal!"
Hmm. Gombal. Aku masih belum mengerti mengapa segala bentuk pujian yang dikatakan secara jujur pun masih tetap dikatakan gombal? Apakah setiap kata-kata yang manis, yang diucapkan dengan sebenar-benarnya dari dalam hati, masih juga tetap dikatakan gombal? Hmm. Gombal. Makhluk apakah itu?
Halte ini kebetulan sepi. Hanya aku saja duduk di sini, sendirian, menunggu wanita itu, tanpa ada teman yang mengawani. Menyaksikan pemandangan sekitar. Menyaksikan dunia. Apa boleh buat, ternyata memang benar perkataan orang bijak itu, betapa dunia cuma sebatas mata memandang. Aku melihat sebuah bis kota yang penuh sesak dengan penumpang. Laki-laki. Perempuan. Anak kecil. Orang tua. Mereka yang berada di pintu itu bergelantungan dengan berbagai macam cara, bertahan sekuat mungkin agar tidak sampai terjatuh. Mereka yang berada di dalam sana terlihat lebih memrihatinkan. Tubuh-tubuh mereka saling terhimpit satu sama lain. Aku bisa membayangkan betapa sumpek di dalam sana. Namun, sang kernet dengan wajah tanpa dosa masih terus menawarkan jurusan kepada setiap orang yang sedang berada di pinggir jalan. Seandainya aku juga berada di dalam sana, betapa jengkelnya aku melihat aksi sang kernet itu.
Aku kembali melirik arloji digitalku. Angkanya menunjukkan pukul 16:20. Berarti, sepuluh menit lagi wanita itu akan hadir di hadapanku. Aku membayangkan apakah kiranya yang akan kami lakukan jika bertemu nanti. Barangkali ia akan langsung mengajakku makan di sebuah tempat. Sama seperti yang biasa kami lakukan setiap kali bertemu. Kalau tidak di restoran Jepang, pastilah ia akan memilih makan di restoran siap saji. Aku juga tidak mengerti mengapa ia suka sekali makan di tempat-tempat semacam itu. Aku pernah mengusulkan untuk sekali-sekali makan di restoran padang. Tetapi ia selalu menolaknya. "Aku tidak mau. Aku lebih suka makan di sini." Begitulah jawabannya selalu.
Jika memang benar kami makan, maka kami akan makan secara perlahan, sengaja agar pertemuan terasa lama. Tetapi, entah mengapa, itu tidak pernah berhasil. Aku selalu merasa pertemuan kami selalu cepat berakhir. Setiap kali kami bertemu, aku selalu merasa waktu begitu cepat melesat. Satu hari bersamanya, sama seperti satu jam. Satu jam, terasa satu menit. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa selalu seperti itu.
Seperti biasa, kami akan makan sambil bercerita tentang banyak hal. Sebenarnya ia yang lebih banyak bercerita, dan aku yang lebih banyak mendengarkan. Tentang pekerjaannya yang melelahkan. Tentang atasannya yang menjengkelkan. Tentang teman-teman pria di kantornya yang sering menggodanya. Tentang cinta. Tentang harapan. Tentang mimpi-mimpi. Tentang apa saja. Tentang siapa saja. Juga tentang hal-hal yang kelihatannya sepele, namun tetap memiliki daya tarik untuk dibicarakan. Tentang dedaunan, langit malam, sepotong senja, dan lain semacamnya yang sebenarnya memang tidak terlalu penting-penting amat. Biasanya, ia akan bercerita dengan mata berbinar-binar. Semakin berbinar-binar matanya, semakin aku jatuh cinta dibuatnya. Matanya itu, ya, matanya itu seperti sebuah jendela yang menampilkan seribu pemandangan bukit, seribu pemandangan laut, seribu pemandangan semesta, sehingga membuat aku betah untuk berlama-lama menatapnya. Matanya, ya, matanya yang sejernih telaga itulah yang membuat aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Matamu indah," ujarku dulu, entah kapan dan di mana, aku sudah lupa. Yang bisa kuingat, saat itu ia cuma mengulas senyum sambil menarik kepalaku mendekati kepalanya. Lantas, ia menjepit bibirku dengan bibirnya sambil berkata, "Aku mencintaimu, laki-laki gombal."
* * *
Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. Arloji digitalku sudah menunjukkan pukul 16:40. Ia belum juga hadir di hadapanku. Apakah suaminya datang menjemput? Hmm. Terkadang aku lupa betapa ia adalah seorang wanita yang sudah bersuami. Sekarang ia belum datang. Alasannya apa, aku belum tahu.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi dan bergetar di saku celana. Aku meraihnya. Ada pesan yang masuk. Ternyata dari wanita itu. Hmm. Apakah ia ingin membatalkan pertemuan ini? Atau, apakah ia akan datang terlambat, sebab ada sesuatu hal yang mesti ia kerjakan di kantornya?
Aku menarik nafas panjang dan segera membuka kotak pesan di layar telepon genggamku.
Aku membaca sebuah pesan. "TAMAT". ***

 Maaf Anakku?

Dear : Tiara

Anaku Tercinta
Sayang?? papa dan mama udah berangkat, kami tidak tega membangunkanmu papa mungkin sekitar 11 hari di Bali, mama 2 minggu di Surabaya. Jaga diri baik-baik ya, sayang??..
Mama dan papamu
Tersayang
" Gini lagi, " ucap Tiara dengan mimik muka sedih, sambil meletakkan kembali kertas yang berisikan pesan dari orang tuanya ke meja makan.
Bi Jum, yang sedang menuang susu di dapur hanya geleng-geleng kepala saja. " Ngapain sih bilang-bilang Anakku tercinta segala,?, ??Kata tiara dengan intonasi ketus.
??Non?.. kok ngomongnya begitu?"
??Bik ?.udah berapa kali papa dan mama pergi kayak gini, kalau emang mereka, cinta, sayang dan peduli ama aku, kenapa, kenapa mereka ninggalin aku kayak gini? ??
??Merereka kan??"
??Iya ! Emang ! Mereka hanya mengejar materi. Buat apa bik, materi berlimpah, tapi kasih sayang miskin? Bik?.. seharusnya mereka bisa dong ngertiin aku. Aku kesepian. Aku ga? butuh limpahan kekayaan. Aku butuh kasih sayang dan kepedulian," ucap Tiara dengan sedikit berteriak.
Yup! Begitulah kehidupan Tiara.
Nama lengkapnya Mutiara Indah Pamungkas, kedua orang tuanya emang sibuk. Dirumah Tiara hanya ditemani oleh Bi? Jum, pembantu yang telah bekerja di rumahnya selama 13 tahun. Kalau Tiara mau, dia bisa hura-hura sama teman-temannya, bisa jalan kemana aja. Tapi tiara ga? gitu, dia malah mendambakan kehidupan yang penuh cinta, meskipun di kelilingi oleh lautan harta yang bisa membuatnya bahagia?..
??Ra?. Muka kamu kok pucat ? Kamu sakit? " tanya Sesil, sahabat kental Tiara.
?? En?.ga?.papa?.kok !"
??Ra?ra?. Ya ampun ! tolong??!!!
Eh?.Sin, tolongi aku dong. Tiara pingsan Nih !"
??Tiara!!!"
Sesil dan Sintha ?membopong? Tiara ke ruang UKS. Sementara teman-teman yang lain melapor ke guru piket, ada yang pingsan.
Sejam kemudian semua udah beres. Bi jum udah datang, namun tiara belum jua sadarkan diri, akhirnya Tiara dilarikan ke RS.
??Non..non ?.! Non sakit apa? tanya Bi Jum, seraya tangannya yang sedikit kasar mengelus lembut rambut kemilau Tiara. ??Yang sabar, ya Non ??" ucap Bi Jum lagi, sambil memandang wajah jelita tiara lekat-lekat.
??Bi??"desis Tiara, matanya belum sepenuhnya terbuka.
?? Alhamdulillah ya..Allah?Nnon!Non sudah sadar?"
??Bi?.Mama dan Papa mana?"
??Tadi Bibi udah telpon, Nyonya dan Tuan sebentar lagi mereka tiba, non."
Tiara hanya menatap kosong ruangan rumah sakit. Pikirannya menerawang.
Andai papa dan mama tahu apa yang sedang aku alami. Bukan sekedar sakit di hati tapi juga karena penyakit yang aku derita leukimia dan kanker darah. Yup ! dua penyakit yang dovonis dokter 2 bulan yang lalu.
Pa?.Ma?.. andai kau ada disetiap hari-hariku??.detik-detik kematian ini seakan tak sabar untuk menjemputku?..
Aku ga? ada semangat hidup lagi??.."
Tiara berkata dalam hati. Butiran air mata satu persatu jatuh membasahi pipinya.
??Non ?..Non kenapa nangis. Yang sabar ya, Non?."
??Bi?..tolong ambilkan diary aku di kamar. Aku taruh di rak-rak meja belajar."
??Sekarang Non??.?"
??Iya bik! Cepat?.." ucap Tiara, dengan suara yang hampir ga? ada.
Bi Jum beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju rumah, mengambil diary Tiara sesuai yang diamanatkan anak majikannya yang bernasib malang.
Setelah menemukan diary Tiara, Bi Jum kembali lagi menuju rumah sakit.
??Untuk apa ya diary ini ? Kok kayaknya penting banget?" tanya Bi Jum, pada dirinya sendiri. Meskipun, dia didera rasa penasaran, namun bi Jum ga? mau membaca isi diary itu. Ia yakin, suatu saat rasa penasaran itu akan terjawab.
Sesampai di rumah sakit, Bi Jum memasuki ruangan tempat tiara dirawat, kamar 117.
Rupanya di sana kedua orang tua Tiara, sudah datang.
??Nyonya, Tuan, baru sampai? ?? tanya Bi Jum, sambil menutup pintu kamar dan melangkahkan kaki menuju keluarga majikannya.
??Iya Bi??."Jawab Papa dan Mama Tiara.
??Non??.ini diarynya:" Bi Jum menyerahkan diary berwarna Pink, dengan bungkusan dan ukiran yang selaras kepada tiara.
??Makasih ya, Bi?." Ucap Tiara dengan suara lirih.
??Ma?..Pa??ini ada curahan hati Tiara?..Semua tertulis disini. Semua yang ada diperasaan ini. Tiara tuang disini di diary ini. Semua kesedihan, kehampaan tertulis semua disini. Pa??Ma?.
Bi Jum??maafin Tiara kalau Tiara. Kalau Tiara ada salah. Doain Tiara, semoga Tiara masuk surga, dan berbahagia di sana," ucap Tiara.
Ia merintih menahan sakit, dan?.
??Tiara! Tiara !" Pekik Mama "Tiara..."
Saat mengetahui anak tunggalnya telah tiada. Pergi untuk selamanya, sementara Papanya hanya membisu, bibirnya bergetar, matanya memerah, menahan sedih yang teramat .Sedangkan Bi Jum berlari memanggil dokter, diiringi oleh isakan tangisnya.
??Dok?..dok?"
??Ada apa, Bi?."
??Dok?.Ti?.ara??..Tiara??
Dokter dan Bi Jum menuju kamar tempat Tiara dirawat. Dokter tidak kuasa berbuat apa pun lagi. Semuanya kehendak Tuhan.
Seminggu kemudiaan, keadaan sudah berangsur-angsur tenang. Papa Mamanya, sedikit-demi sedikit, sudah mulai ikhlas melepas kepergian anak tersayangnya.
Papa dan Mamanya merasa bersalah. Sesekali air mata menetes lagi dari mata orang tuanya. Juga Bi Jum, yang tidak menyangka kalau akan berakhir begini.
Dari curahan hatii Tiara yang tertuang di diary anaknya, kedua orang tua Tiara jadi sadar, akan kekeliruan yang selama ini mereka kerjakan. Mereka berpikiir, dengan uang, Tiara akan bahagia. Dan itu terbukti salah.
??Tiara sayang? Maafkan kami?Maaf anakku?kami menyesal atas semua. Maaf Anakku?"

Sabtu, 13 Maret 2010


Ayah tidak Pengecut

Cerpen Nuryana Asmaudi SA Silakan Simak!
Dimuat di Bali Post Silakan Kunjungi Situsnya!02/09/2003

Tepat pada saat aku hendak mengayunkan tubuh untuk gantung diri, tiba-tiba teringat pesat terakhir ayah saat menjelang ajalnya: ''Jadilah engkau lelaki sejati. Jangan jadi pengecut, berjiwa kerdil dan khianat. Hadapi hidup ini dengan kebesaran jiwa dan keteguhan hati. Jangan cepat menyerah walau engkau hampir kalah. Jangan mudah putus asa meski sudah tak berdaya. Berjanjilah, agar ayah bangga dan tenang meninggalkanmu menghadapi Tuhan.'' Aku mengangguk menahan haru dan sedih. Kugenggam tangan ayah yang sudah dingin, lalu diciumnya tanganku dengan ekspresi rasa puas. POHON yang akan kujadikan tempat untuk gantung diri bergetar diterpa angin malam. Tubuhku serasa dingin. Suara serangga malam dan gemerisik daun beriringan menyulut lengang. Ayah kembali datang dengan roman penuh kasih: ''Hidup ini sebenarnya sederhana. Karenanya tak perlu kita berpusing-pusing meruwetkannya. Kamu tinggal memilih mana yang kamu suka, tentukan nasib dan jalan hidupmu sendiri. Apa yang telah kamu pilih dan kamu yakini jalankan dan perjuangkan.'' ''Tapi, kita sering dipaksa takdir untuk menerima sesuatu yang tidak kita kehendaki, ayah!''''Bohong!'' jawab ayah. ''Untuk apa kamu percaya pada takdir? Takdir itu nonsense. Nasib baik atau buruk ada di tangan kita sendiri. Keberhasilan dan kegagalan, bahagia dan sedih itu manusia yang membuat. Percayakah kamu pada Tuhan?'' tanya ayah kemudian. Aku mengangguk. ''Tuhan itu mengikuti kehendak manusia. Kalau kamu memilih jalan yang baik, Tuhan akan mendukung dan membukakan jalan kebaikan untukmu. Kalau kau pilih jalan yang buruk, Dia tak akan menghalanginya. Tak usahlah kau risaukan takdir, nasib baik, keberuntungan, sial, apes. Energimu akan habis hanya untuk memikirkan itu. Masa hidupmu akan habis sia-sia. Kau menjadi ragu, malas, bergantung, mudah putus asa.'' Ayah sering mencambukku dengan nasihat yang menggugah. Dan ayah membuktikannya dengan contoh perilakunya sendiri yang membuatku kagum dan iri padanya. Tapi aku tak selalu bisa berbuat seperti ayah. Aku sering gagal dan kalah. Aku sering didera (nasib?) sial yang membuatku lelah, pasrah, dan putus asa. *** TALI yang akan kupakai untuk gantung diri masih terkalung di leher. Malam semakin pekat. Serangga-serangga terus bernyanyi diseling suara kepak kelelawar diatas seputar bukit tempat aku hendak gantung diri. Aku masih berdiri di atas bukit dibawah pohon iyu. Kuraba tali di leher, sekadar meyakinkan apakah sudah benar ikatannya atau belum, agar aku tak terlalu merasakan sakit dan gagal. Tiba-tiba bayang ayah datang lagi: ''Kenapa lehermu kau tali, Bajang?'' ''Kami sedang main kambing-kambingan, ayah.''''O, kalau main kambing-kambing tak usahlah kamu tali lehermu. Nanti terluka. Kamu bisa tercekik!'' cegah ayah sambil melepas tali di leherku. ''Bayangkan saja kamu jadi kambing. Berjalan merangkak. Pura-pura makan rumput.''''Tak boleh sungguhan makan rumput, ayah?''''Ya. Cuma pura-pura saja. Jangan benar-benar ditelan. Rumput bukan makanan kita.'' Kami melanjutkan main kambing-kambingan setelah ayah masuk. Aku, Mona, dan Narti asyik merumput di kebun halaman. Ayah kembali keluar setelah mendengar kami ribut-ribut, ''Ada apa Bajang? Kenapa Narti ngambek?'' tanya ayah, lalu mendekati Narti yang cemberut di bawah pohon jambu. ''Kenapa Narti? Kamu diapakan Bajang?''''Bajang jahat. Narti tak mau main kambing-kambingan lagi!'' kata Narti.''Narti ditunggangi Bajang!'' lapor Mona.''Lho, jangan nakal Bajang. Kamu tak boleh menunggangi Narti!'' kata ayah kemudian.''Ah, Narti saja yang cengeng,'' aku membela diri, ''Kita kan cuma main kambing-kambingan. Kemarin Bajang lihat kambing Pak Sunar menunggangi temannya, tapi temannya tidak ngambek!'' *** AYAH orang bijak. Dia selalu memperlakukan anaknya dengan penuh kasih sayang. ayah jarang marah dan tak pernah membentak. Kalau pun aku nakal dan bikin jengkel, dia tak pernah menghardikku, apalagi memukul. Dia hanya menasihatiku dengan pengertian. Ayah tak pernah menyakiti anak dan istri dengan tangannya. ''Istri dan anak adalah amanat. Kita punya kewajiban untuk menjaganya,'' kata ayah suatu hari menasihati Om Ogi sehabis memukul istrinya. ''Hanya laki-laki kerdil dan pengecut yang suka main tangan pada istri dan anaknya.'' Ayah juga berjiwa ksatria dan tidak munafik. Mau mengakui kekurangan dan kelemahan dirinya, bahkan tidak malu membeberkan aibnya pada orang lain dengan tanpa beban dan berpura-pura suci. Terhadap keluarga sendiri juga demikian. Dalam kaitan hubungan yang sangat pribadi dengan ibu, misalnya, ayah terang- terangan mengaku sering ''jajan'' ke tempat pelacuran. Ibu tidak marah dan memakluminya. Bahkan kadang ibu malah menyuruhnya pergi ''jajan'' kalau pada suatu saat tertentu ibu tak bisa memberi kepuasan pelayanan pada ayah. ''Sudah, sana ke langganan ayah saja. Aku capek. Terasa hambar kan?'' kata ibu sambil membekali ayah uang. Usia ibu memang lebih tua dari ayah. Ibu sibuk kerja jualan dan tak sempat dandan. Sementara ayah semangat mudanya masih membara dan punya kelebihan gairah seks yang tak sepenuhnya bisa terlayani dan bikin ibu kewalahan. Ibu memahaminya. ''Yang penting ayah bisa menjaga kesehatan!'' kata ibu. Suatu hari aku pernah menegur ayah karena terlalu sering meninggalkan ibu untuk ''jajan'' (dengan uang ibu) setelah tak terpuaskan oleh pelayanan ibu. Aku kasihan pada ibu, meski ibu sendiri merelakan, siapa tahu sebenarnya hatinya hancur. Tapi ayah tidak marah. Dia hanya meluruskan cara pandangku terhadap pelacur yang dinilainya berlebihan. ''Kamu pikir pelacur itu semuanya perempuan kotor dan busuk? Salah besar kalau kamu berpikir seperti itu. Dosa besar orang yang melecehkan pelacur!'' kata ayah. Menurut dia para pelacur adalah perempuan ''istimewa'' yang punya keberanian untuk memperjuangkan hidup (dan berani menanggung risiko memilih atau terpilih jadi tumbal kehidupan) pada sisi dunia yang buram, demi kelangsungan peradaban manusia dan sejarah jagadraya ini. Ya, ayah memang punya pandangan dan idealisme sendiri tentang pelacur. Aku mengaguminya, lepas dari benar atau salah. Keteguhan hati pada prinsip hidup yang telah dia pilih dan dia jalani menunjukkan ayah adalah seorang laki-laki yang punya sikap, tidak munafik, dan tidak pengecut. Ayah mengakui dirinya laki-laki sundal, suami yang sontoloyo, dan ayah yang tidak bisa diteladani anak. Tetapi dia arif dan tidak picik. Dia menghargai prinsip, pilihan hidup, dan hak azasi orang. Sikap itu ditunjukkan pada siapapun, termasuk pada istri dan anaknya. Suatu ketika aku memergoki (dan ayah juga memergoki aku) di tempat pelacuran. Ayah tidak kaget dan tidak marah. Dia hanya tanya: ''Ngapain kamu di sini?'' ''Ngapain ayah juga di sini?''''Lho, ayah kan laki-laki!''''Saya juga laki-laki, ayah!''Ayah tertawa, menepuk bahuku. ''Bagus, ternyata kau memang anak ayah. Kita tak perlu munafik.'' Aku diajaknya duduk di sebuah bangku. ''Kamu sudah?''''Ayah sudah?''''Ha... ha... ha... kamu makin cerdas saja Bajang. Kamu benar-benar anak ayah,'' katanya sambil mencabut sebatang rokok dan menyulutnya, menghisapnya, menyodorkan yang bungkusan dan koreknya padaku. Lalu, ''Ayah baru saja datang. Kamu juga baru datang?'' Aku mengangguk, mengembalikan rokok dan korek padanya. ''Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo cepat sana!'' perintah ayah. Aku tidak enak kalau harus beranjak mendahului ayah. Ayah mengerti. Dia segera bangkit, melangkah meninggalkan aku, berjalan ke lorong timur. Aku ke barat dan segera memutar ke lorong lain menuju kamar langgananku. Setelah memutar-mutar, untuk menjaga kemungkinan terlihat ayah (tak enak kalau saling mengetahui langganan masing-masing), aku segera mendapati kamar langgananku. Tapi, betapa aku kaget kepergok ayah lagi di kamar yang sama. Ayah tertawa. Aku juga tertawa. Sejak itu, aku dan ayah sering diskusi tentang pelacur. Kami jadi lebih bersikap seperti seorang sahabat, nyaris tak seperti ayah dan anak. Ayah memang fair dan santai. Tak perlu ada lagi rahasia diantara kami. Dari persahabatan itu aku mendapat banyak pelajaran dari ayah yang membuatku jadi semakin kecil di hadapan ayah dan semakin bangga dengannya. Kembali ke soal pelacuran tadi, misalnya, ayah sangat selektif dan tidak ngawur memilih pelacur. Dia tidak sekadar berhajat ''jajan'', tetapi juga punya niatan menolong atau membantu pelacur yang benar-benar bekerja untuk menghidupi keluarganya yang miskin, orang tua, atau bahkan mencari nafkah untuk anak tercintanya yang ditinggal pergi sang ayah. Ayah ingin mengangkat harkat para pelacur dengan kemampuan dan caranya sendiri sebisa-bisa yang dia lakukan. Belakangan kemudian (setelah ayah meninggal), aku mendapat cerita dari teman seprofesi ibu, bahwa ibu adalah salah seorang diantaranya yang diselamatkan ayah dengan dinikahinya ketika ibu hamil di tempat kerja. Dan aku adalah anak yang lahir dari benih lelaki yang tidak jelas yang kemudian jadi anak resmi ayah. Aku bangga punya ayah seperti ayah. Tapi aku tak pernah bisa menjadi laki-laki seperti dia yang bisa melakoni hidup sebagai amanat yang dia taklukkan dengan kemenangan. Aku selalu didera derita dan kekalahan yang menyakitkan. Bagiku hidup adalah derita (pergulatan?) tak berkesudahan, selebihnya misteri. Aku selalu gagal, lemah, lembek, tak punya jati diri dan ketegaran hidup seperti ayah. Bahkan hanya untuk melamar seorang pelacur untuk kuperistri, seperti yang pernah dilakukan ayah, pun aku ditolak. Jadi, buat apa mempertahankan hidup (yang katanya amanat) yang tak lagi berarti ini? Buat apa menambah beban derita dan mengotori dunia dengan diri ini yang tak berguna? *** SEEKOR biawak mendadak melintas. Aku terperanjat, nyaris meloncat. Bulan menyembul di langit timur. Kelelawar kian riuh beterbangan-berkepakan menyayat malam, menggertap lengang. Gonggong anjing sayup-sayup bersahutan di kejauhan. Tali yang membentang dari dahan pohon itu masih mencangklong di leherku. Tapi ayah serasa terus di dekatku: menjadi angin, menjadi pohon-dedaunan, menjadi serangga malam, menjadi kelelawar, menjadi bulan, menjadi malam, mengawasiku, menungguiku, menjagaku, menemani bercakap, merenungi sunyi-senyap, menerangi malam, mengusung beban dunia yang sarat dan menghimpit.***Denpasar, 19 Juli 2002* Terkenang (dan terimakasih untuk) rekan WS.


Tak Bolehkah Aku Menjadi Kanak Lagi?

Cerpen Nuryana Asmaudi SA Silakan Simak!
Dimuat di Bali Post Silakan Kunjungi Situsnya!05/18/2003 Telah Disimak 202 kali

Tetanggaku Komang Boim, anak laki berusia tujuh tahun, sering kulihat bermain bersama kakak perempuannya, Kadek Ika, dan teman-temannya yang lain. Mereka bermain apa saja dengan asyiknya sepanjang waktu. Kadang Komang Boim bermain sendirian, berlari-lari menarik layang-layang, atau duduk ngelesod bermain debu atau mengendus-endus tanah sambil bicara sendiri, menikmati dunia kanaknya, seakan tak punya beban hidup yang menghimpit sebagaimana orang dewasa.
KARENANYA aku sering jadi tertarik ikut bergabung bermain dengannya. Komang Boim dan kawan-kawannya itu senang kalau akau menemaninya bermain. Kadang mereka malah sengaja mencariku, memanggil-manggil dari luar pintu pagar, ''Om Om, mainan yuk?'' Lalu aku keluar menyambutnya, bermain dengan mereka.
Sebenarnya aku malu main bersama anak-anak itu, apalagi rumah kami di pinggir jalan yang agak besar dimana banyak orang lewat dan melihat kami. Tapi Komang Boim selalu bilang, menghiburku, ''Nggak apa-apa Om, nggak usah malu, kan ada saya?'' sehingga aku pun jadi terbiasa juga. Kukira orang-orang yang lewat dan melihat kami bermain pasti berpikir aku sedang menghibur anak-anak itu.
Aku semakin tidak canggung lagi bermain bersama Komang Boim dan kawan-kawannya setelah teringat sahabatku, Frans Nadjira, seorang sastrawan dan pelukis, pernah mengatakan (menulis) dalam sebuah karya sastranya yang berjudul ''Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun'': ''Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanaknya. Bermain..., keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.'' Jadi, kupikir, tak perlulah aku malu menjadi kanak-kanak lagi. Biar pun orang-orang yang lewat melihat dan menganggapnya aneh, bahkan mentertawakanku, aku tak perlu menghiraukannya. Masing-masing orang punya keinginan dan urusan sendiri.
Kadang aku malah ingin ikut-ikutan telanjang seperti Komang Boim yang suka telanjang dan ''burung''-nya kontal-kantil, bermain di pinggir jalan di bawah pohonan yang rindang di tepi sungai di dekat rumah kami, sambil melihat orang mandi yang juga telanjang -- para perempuan setengah tua yang susunya bergelantungan seperti buah pepaya. Aku kira aku perlu menyesuaikan diri dengan teman bermain, juga dengan lingkungan dimana aku tinggal. Jadi, sesekali ikutan telanjang di tempat terbuka -- seperti Komang Boim, seperti para perempuan dan lelaki yang mandi bersama dengan telanjang di sungai sebelah rumahku atau di pancuran di pinggir jalan di desa-desa yang pernah kulihat di daerah ini, atau seperti turis-turis bule di pantai-pantai -- tak apalah. Namanya juga jadi kanak-kanak. Kalau ada orang menilaiku aneh, ya tak usahlah dipikirkan. Nyatanya orang-orang telanjang yang kusebutkan tadi toh tak dipersoalkan dan tak dianggap aneh? Jadi buat apa malu telanjang?
***
Tetapi, hari ini Komang Boim dan Kadek Ika sedang tidak ada. Mereka ikut ayahnya pulang kampung ke Karangasem. Padahal aku sedang ingin sekali bermain. Jadi, terpaksalah aku bermain sendirian di halaman rumahku. Aku bermain pasir, sisa dari aku memperbaiki jembatan depan pintu pagar yang jebol tempo hari dan belum semuanya rampung dikerjakan sehingga pasirnya masih banyak dan kutaruh di halaman dekat teras rumah. Aku bermain di atas onggokan pasir yang kubayangkan sebagai bukit atau gunung itu. Aku sedang menyetir mobil (tentu saja nyetir bohong-bohongan dan juga mobil bohong-bohongan) layaknya melakukan atraksi reli gunung. Aku naik turun onggokan pasir yang kubayangkan sebagai gunung itu sambil mulutku tak henti-henti bergumam menirukan suara mobil yang sedang reli ''hngeeee.... hngeeeng... hngeeeeng... cieett... cieett.. hngeeeng...'' berkali-kali sambil naik turun onggokan pasir itu sampai berantakan. Lalu aku susun lagi pasir itu mengonggok menjadi seperti gunung lagi, kemudian aku gunakan untuk reli-relian lagi, aku naik turun berkali sampai berantakan lagi.
Setelah bosan main reli gunung, aku ganti main goa-goaan. Onggokan pasir itu aku susun menjadi lebih bagus lagi, benar-benar seperti seperti gunung, lalu aku buat lubang bundar di bagian bawahnya menjadi seperti goa yang menganga. Goa-goaan itu aku buat seindah mungkin, aku beri semak-semak di sekitarnya biar terkesan seram seperti goa beneran. Aku teringat Goa Hantu dalam film silat di televisi dulu. Lalu aku membayangkan sebuah padepokan perguruan silat tersohor. Aku bayangkan juga diriku menjadi seorang pendekar, guru silat, yang mengajarkan ilmu kanuragan dan bela diri dengan jurus-jurus andalan yang aku kuasai. Dan, karena rumah tempat tinggalku sekarang ini berada di ujung wilayah jalan Bedahulu, maka aku beri saja nama jurus atau ilmu andalanku itu Tendangan Sudut Bedahulu -- disingkat Tensudbeh -- yang sekaligus menjadi nama padepokanku itu.
Baiklah, sekarang saatnya aku peragakan jurus-jurus silatku itu di depan goa. Lihatlah, murid-muridku begitu banyak. Aku ajarkan jurus-jurus dasar bagi murid baru dan aku ajarkan jurus atau ilmu tingkat tinggi bagi murid senior.
''Nah, lihatlah anak-anak, ini namanya Tendangan Kuda Meringkik sebagai jurus pengantar sebelum memasuki jurus andalan Tensudbeh warisan guru sepuhku atau kakek guru kalian, lelaki sakti, guru besar dari Sumba yang pernah bertapa di Pantai Selatan (d kerajaannya Nyai Roro Kidul) yang menemukan dan menguasai semua jurus kuda,'' aku memperagakan, memberi contoh dan menjelaskan kepada murid-muridku. Mereka menirukan semua yang kuperagakan mulai dari gerakan tangan, kaki, tubuh, hingga teriakan, ''Ciaaat! Ciaaat! Ciaaat!''
Masyarakat di sekitar situ jadi tertarik dan berdatangan untuk menonton aku melatih murid-muridku belajar silat. Ya, tak apalah, tak jadi soal. Mereka boleh saja menonton kami latihan. Mereka toh orang baik-baik saja. Tak mungkinlah mereka akan mencuri ilmuku untuk kejahatan. Aku mengenal satu-dua diantara orang-orang itu, yang sering menyapaku berpapasan di jalan atau saat aku lewat di depan rumahnya. Siapa tahu diantara orang-orang itu ada yang bisa menirukan atau bahkan tertarik untuk bergabung ikut berlatih bersama kami belajar silat sekadar untuk bekal menjaga diri.
Lihatlah, orang-orang itu senyum-senyum melihat aku melatih, sepertinya merasa puas dan terhibur, atau mungkin terkagum-kagum, dan boleh jadi juga bangga dan merasa lega di daerahnya ada perguruan silat yang diharapkan bisa ikut menjaga keamanan dari kemungkinan tindak kejahatan yang belakangan ini semakin marak merajalela di mana-mana. Ya, mereka pasti tahu, aku dan murid-muridku di padepokan perguruan silat Tensudbeh ini adalah orang-orang baik juga, atau pendekar golongan putih yang selalu siap membela kebaikan dan membasmi kejahatan.
''Ayo anak-anak, kita teruskan latihan, jangan dulu berhenti. Tak usah malu dilihat orang. Mereka adalah saudara kita sendiri. Mereka orang-orang baik. Bukankah begitu, Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Saudara-Saudara?'' kataku. Dan orang-orang itu serempak menjawab, ''Yaaa!'' sambil senyum-senyum nampak puas dan bangga, saling memandang dan saling berbisik. ''Bapak-bapak atau saudara-saudara yang berminat ikut latihan, masuk saja ke mari, tak usah malu. Ayo, ke marilah, kita latihan bersama!'' kataku menawari mereka. Tapi tak ada di antara mereka yang mau masuk. Mereka hanya senyum-senyum saja di luar pagar padepokanku. Mungkin mereka sungkan, atau masih agak takut dan malu. Aku lanjutkan latihan lagi. Sekarang saatnya aku peragakan jurus-jurus atau ilmu tingkat tinggi seperti ilmu loncat tebing, lintas gunung, terbang dari pohon ke pohon, ilmu menghilang di balik gunung, jurus mengendus-ratakan gunung, dan lain-lain. Tapi, latihan terpaksa kuhentikan sejenak karena mataku kemasukan pasir.
Orang-orang yang makin banyak berdatangan menontonku itu pada berdecak kagum sambil sesekali memberi aplaus dengan tepuk tangan. Kadang tepuk tangannya sampai tiga kali -- pada awal, tengah, dan akhir -- untuk satu peragaan jurus. Ya, tak apalah, mereka boleh memberi aplaus buat latihanku, buat padepokan Tensudbeh ini.
***
Nah, itu dia Komang Boim datang! Dia baru saja turun dari mobil bersama kakaknya, ibu dan bapaknya. Aku panggil-panggil dia, kulambaikan tangan padanya, tapi dia tak mau mendekat. Nampaknya dia ragu. Mungkin belum saatnya Komang Boim boleh belajar silat, karena dia memang masih terlalu kecil. Komang Boim hanya memandangku dari kejauhan dengan sorot mata agak aneh. Dia lalu dibisiki ibu dan bapaknya, kemudian digelandang diajak masuk ke rumahnya. Tapi, dia tadi sempat membalas kiss bye-ku dengan tangannya di bibirnya, dengan senyum yang bersahabat. Ya, mungkin Komang Boim perlu istirahat dulu. Nampaknya terlalu lelah dari perjalanan jauh. Tak apalah, sehabis istirahat nanti, atau setidaknya besok, dia pasti keluar dan bisa kuajak main bersama lagi seperti kemarin lusa. Orang-orang yang tadi berkerumun di luar pagar padepokan menonton aku melatih silat, satu persatu mulai beranjak pergi. Ya, hari memang sudah senja, sebentar lagi malam, sudah saatnya mereka pulang. Tapi, aku dengar mereka saling berbisik sambil berjalan pulang dengan sesekali menoleh ke arahku. Ah, mudah-mudahan tak ngrasani buruk aku. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja, tidak terganggu oleh latihan dan tidak juga tersinggung oleh sikapku. Mudah-mudahan tidak ada yang buruk diantara kami.
''Kasihan ya, nampaknya dia sudah benar-benar begini!'' kudengar lagi celoteh yang lain sambil menempelkan telunjuk jari dalam posisi miring di keningnya. Ada juga kudengar disebut-sebut pasir yang kubuat mainan itu. Ah, yang benar saja kalian orang! Masak aku baik-baik begini dan sedang sangat bahagia seperti ini kalian bilang kasihan? Apanya yang perlu dikasihani? Justru akulah yang kasihan pada kalian yang tak pernah bisa menikmati kebahagiaan hidup seperti aku. Ah, ada-ada saja kalian. Orang aku cuma mainan di pasir, lagi pula pasir-pasirku sendiri, kenapa di-rasani? Kenapa kalian ribut? Dibilang sudah begini, sudah begitu? Padahal para tukang batu dan kuli bangunan di ujung sebelah sana itu juga pada bermain pasir dan bukan pasirnya sendiri lagi, kenapa tidak kalian rasani? Kenapa hanya aku yang kalian jadikan sasaran?.
Ah, tapi biarlah, buat apa dipikirkan. Mungkin orang-orang itu cuma iri saja padaku. ***

Mencari Jasad

Cerpen Nuryana Asmaudi SA
Dimuat di Bali Post 07/27/2003
Aku terperanjat ketika sampai di hutan itu jasadku tidak ada. Puing-puing pesawat dan mayat para penumpang yang tadi bergelimpangan juga tidak ada. Hilang ke mana? Atau aku salah tempat kembali? Mustahil kalau mayat-mayat dan juga batang pesawat itu sudah dievakuasi oleh regu penolong dalam waktu demikian singkat.
SETELAH mengadu-aduk seluruh hutan pegunungan tersebut tak kutemukan jasadku, maka aku putuskan untuk mencari kampung terdekat. Siapa tahu jasadku bersama mayat-mayat lain yang menjadi korban kecelakaan jatuhnya pesawat yang kami tumpangi itu memang sudah dievakuasi ke sana.
Di kampung itu pun aku tak menemukannya. Hingga aku segera melanjutkan pencarian ke kota, ke rumah sakit, barangkali para korban sudah dibawa ke sana. Tapi di rumah sakit kota kabupaten juga tak ada. Kamar mayat kosong. Hanya ada beberapa kereta dorong yang terbujur kaku. Ada tiga rumah sakit di kota itu, tapi semuanya nihil. Aku semakin resah dan lelah. Tapi, aku harus meneruskan pencarian dan menemukan jasadku sebelum terlambat. Aku segera meluncur ke kota propinsi, ke rumah sakit besar. Kukira para korban itu pasti diangkut ke sana untuk penanganan lebih profesional, mengingat sebagian besar dari korban itu adalah warga asing.
Di rumah sakit besar propinsi itu barulah aku melihat tanda-tanda yang melegakan. Banyak orang berkerumun dan mondar-mandir berdatangan silih berganti. Wajah-wajah orang berduka dan panik, juga penasaran, bahkan tangis histeris, menyelimuti suasana di rumah sakit induk tersebut.
Aku segera menerobos di sela-sela kerumunan dan keriuhan orang-orang itu. Aku langsung menuju kamar mayat untuk mencari jasadku yang pasti ditaruh di sana. Benar, di kamar mayat itu banyak mayat bergelimpangan. Mayat-mayat yang penuh bercak darah ada yang patah di bagian kaki dan tangan, tubuh yang sudah hancur, kepala yang terpisah dari tubuh, dan macam-macam lagi yang mengenaskan. Bahkan banyak mayat yang gosong seperti bekas terbakar, yang sebagian sudah dibungkus dalam plastik. Aku teliti satu demi satu, terutama pada mayat yang masih agak utuh dan mirip jasadku, karena waktu aku tinggal tadi jasadku memang masih utuh. Tapi, aneh sekali, aku tak menemukan jasadku di kamar mayat itu.
Maka, aku coba mencarinya ke ruang perawatan. Siapa tahu jasadku dirawat di sana, karena masih ada tanda-tanda hidup. Semua ruang perawatan di rumah sakit yang besar dan luas -- mulai dari ruang Gawat Darurat hingga ruang operasi bedah -- telah aku masuki, tapi tak juga kutemukan jasadku. Mungkinkah jasadku tercecer di tempat lain? Atau, barangkali, sudah ada orang yang mengambilnya?
Aku kelelahan dan putus asa. Aku duduk di teras rumah sakit sambil memperhatikan orang-orang yang tak henti lalu-lalang -- mungkin mencari keluarganya, atau sekadar ingin tahu pada kurban di kamar mayat itu. Dan, dari omongan mereka akhirnya aku tahu, ternyata ratusan mayat yang bergelimpangan di kamar mayat itu adalah korban ledakan bom, bukan korban kecelakaan pesawat yang aku tumpangi. Ah, pantas jasadku tak ada di antaranya.
Karena terlalu lelah, aku sampai ketiduran di teras rumah sakit di dekat kamar mayat itu. Hingga tiba-tiba aku dikejutkan oleh colekan seseorang yang membangunkanku, "Hai, ngapain sampeyan di sini? Pergi nggak bilang-bilang, bikin bingung orang saja. Saya sampai dimarahi Bos, dibilang teledor menjaga sampeyan. Ayo, kembali ke asrama. Beliau sudah menunggu. Nanti saya dimarahi lagi gara-gara terlalu lama mencari sampeyan!" kata orang itu. Dialah orang yang membawaku pergi waktu terjadi kecelakaan pesawat tersebut.
"Emoh! Aku nggak mau kembali ke sana sebelum jasadku kutemukan. Gaga-gara ajakanmu aku jadi kehilangan jasad. Sialan!" aku omeli orang itu.
"Hus! Jangan bikin masalah. Ngapain cari susah? Sampeyan itu dipremakke, dipilihkan hal yang lebih baik, kok malah ngeyel. Sudahlah, ayo cepat kembali ke asrama. Lupakan saja jasad sampeyan yang jelek itu, bikin repot saja!"
"Tidak! Aku harus menemukan jasadku. Aku tak perduli. Ini semua gara-gara kamu. Pokoknya kamu tak tempohi, kamu harus bertanggungjawab ikut menemukan jasadku!"
"Ah, sampeyan ini memang mbrengkele! Bandel! Ngeyelan!" Akhirnya orang itu mengalah. Diajaknya aku pergi ke sebuah kota yang rasanya aku pernah melihatnya -- aku teringat agak samar-samar, sepertinya kota kelahiranku yang sudah lama aku tinggalkan. Sampai di suatu tempat, aku diajak memasuki kuburan tua yang luas dan wingit -- sepertinya kuburan desaku.
"Inilah kuburan sapeyan!" kata orang itu, menunjukkan makam tua di bawah pohon kamboja yang nisannya sudah berlumut dan diapit batang bunga putri ayu dan cempaka piring. Pusara makam itu sudah sangat padat.
"Ah, kamu jangan mengada-ada!" Aku terperanjat tak percaya, "Kamu sukanya bikin sensasi. Mau ngerjain aku lagi ya?" "Sampeyan masih juga tak percaya, sampeyan ini memang bandel. Mana mungkin saya bohong? Itu menyalahi kodrat saya, Bung!" kata orang itu tak mau kalah, "Ini benar-benar makam sampeyan. Sumpah! Asli! Tingpet! Wallahi!" "Mustahil! Tidak masuk akal! Bagaimana mungkin kuburan setua ini makamku? Aku baru meninggalkan jasadku beberapa jam lalu di hutan tempat jatuhnya pesawat itu!" bantahku.
"Baru beberapa jam, itu kan menurut perhitungan sampeyan di alam yang sekarang ini, Mas? Tapi menurut perhitungan di alam dunia, sampeyan sudah pergi meninggalkan jasad sampeyan puluhan tahun!" orang itu menjelaskan. Sungguh tidak masuk akal. Aku tak percaya pada penjelasan orang itu. Sayang aku tak diizinkan masuk ke dalam kubur, menengok jasad di liang lahat, untuk membuktikan apakah benar itu jasadku atau bukan. Orang itu cepat-cepat merengkuhku dan membawaku pergi meninggalkan kuburan tua itu.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, aku tak henti-henti berpikir perihal kuburan tua yang dibilang makamku itu. Akhirnya dia bercerita bahwa jasadku sudah dikubur tiga puluh tahun yang lalu, setelah disiksa terlebih dulu oleh penguasa pada saat itu, setelah aku ditemukan dalam keadaan pingsan dalam kecelakaan pesawat itu. Aku dianggap sebagai tokoh oposisi dan teroris yang diincar oleh pemerintah yang ditunggangi penguasa Barat. Aku dibilang pentolan agama kelompok garis keras yang bekerja sama dengan komunis (lha, ini yang lucu dan tak masuk akal!) yang menjadi musuh negara. Setelah dibunuh, mayatku kemudian dikirim kepada keluargaku dalam kondisi sudah terbungkus dan dikemas dalam peti mati. Keluargaku dilarang membuka.
Bahkan saat pemakaman pun dijaga ketat dan diawasi. Keluargaku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti kehendak penguasa, bahkan harus "membenarkan" isu yang dikatakan mereka, bahwa aku adalah tokoh teroris yang membahayakan negara. Penguasa negeriku dihasut oleh Barat. Barat telah berhasil membuat rekayasa dengan cara yang licik, dengan membuat teror dan kekacauan di berbagai daerah dengan memancing pertikaian antar-suku dan etnis, serta meledakkan bom di berbagai tempat terutama rumah ibadah, yang seolah-olah dilakukan oleh (atau sengaja memanfaatkan) kelompok garis keras yang berbasis agama.
Aku termasuk salah seorang yang dijadikan kambing hitam dan difitnah mereka. Aku diisukan baru saja pulang dari perjalanan untuk menggalang kekuatan organisasi kelompok garis keras dan fundamentalis untuk membuat teror dan kekacauan. Aku bahkan dituduh membajak dan meledakkan pesawat yang aku tumpangi (yang kemudian jatuh itu) yang kebetulan banyak orang bule-nya.
"Sampeyan memang dikambing-hitamkan!" kata orang itu, "Sudah lama, dan tak henti-hentinya, mereka mencari orang atau kelompok yang bisa dijadikan kambing hitam. Kebetulan sampeyan sedang apes: sebagai tokoh agama yang mengajarkan agama dengan tegas dan lurus tanpa dibengkok-bengkokkan, yang terkesan keras dan fundamentalis. Kebetulan pula sampeyan naik pesawat bersama banyak bule yang kebetulan mengalami kecelakaan. Apalagi sampeyan satu-satunya penumpang yang masih hidup. Ya, tepatlah! Sangat pas dijadikan kambing hitam untuk korban!" papar orang itu menjelaskan.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkannya. Bagiku tidak hanya biadab dan tidak masuk akal, tetapi juga menggelikan, kalau aku dituduh dan diperlakukan seperti itu. "Eh, tunggu dulu! Omong-omong, ceritamu tadi kisah nyata apa fiksi?" tanyaku kemudian.
Orang itu tidak menjawab. Dia hanya tertawa, sambil matanya ketip-ketip menatapku, hingga giginya yang putih berkilat-kilat seperti gigi bintang iklan pasta gigi di televisi.
Denpasar, 1 Februari 2003


Tawa Perempuan

Cerpen Nuzul Alif Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi Situsnya!03/11/2007
 
Ruangan itu masih tampak lusuh. Sobekan kertas tak bertuan berserakan di pinggiran tong sampah, tak sempat menggapai lubangnya. Ada aroma sejuk dari hembusan napas dedah dedaunan di luar jendela, begitu membentur kulit tembok tak berkelambu. Lalu mendenting dan lama kelamaan bersendawa melabrak putaran jarum jam yang begitu lamban berdetak. Seseorang berjalan lamban menuju salah satu sisi gelap, mencari celah buat sekadar menghirup udara. Seberkas cahaya rembulan melindap ke dipan yang di atasnya berjejer alat rias kecantikan. Menyiratkan bahwa penghuninya adalah perempuan. Sesekali tatapan matanya menghadap ke langit-langit rumah, berputar ke sekeliling bertautan mata kiri dan mata kanan. Kali ini menepi ke gagang pintu diiringi kedipan alis matanya, tegang seakan mencoba membuka pintu yang memang sudah nyata tertutup rapat. Mata itu mulai lelah dan kembali merebah ke pelukan kelopaknya. Lampu neon di kamar itu meredup, pinggirannya menghitam menyulitkan kornea mata memandang isi kamar ukuran mini. Perempuan itu seorang diri, berteman lamunan sepanjang malam menjelang.
Kota di mana perempuan itu tinggal, memang sudah tampak sepi. Lalu lalang kendaraan kembali berjarak sekitar lima belas ketukan. Layaknya kota mati, hingga suara ombak di lautan terdengar desirannya sayup-sayup ke telinga. Malam kembali mendiskusikan maut dan menawarkan teh hangat bagi para pecandu. Bayang menjadi sekat-sekat yang melebur ke genangan air di aspal sepanjang bumi yang basah. Di sela-sela genangan itu ada sisa gelembung yang menjelma tawa perempuan malam. Setiap musim penghujan, gelembung akan meletup-letup histeris menyita perhatian orang-orang di sekitar. Termasuk para penjual kacang rebus yang sempat berjam-jam terbata.
"Ini salah satu pertanda keberkahan nasib kota ini", seru Pak Mustamin penjual kacang rebus pada beberapa abang becak yang mulai magang di area sederhana itu.
Semenjak dua tahun terakhir kota itu seperti terkena guna-guna. Kota yang dulunya makmur dan ramah pada orang-orang yang hendak melepas lelah, saat ini situasinya amat menyayat hati penduduk. Tak ada lagi keramahan, bencana datang beruntun, kelaparan merajalela, hingga menjadikan kota ini tidak lagi bertaring. Kenangan keceriaan bocah kecil yang bermain petak umpet, belajar mengaji, suara tawa tukang ojek menunggu penumpang pun tak lagi terbahasakan bahkan oleh sebait syair pujangga.
"Barangkali putri dewa hujan dibuang ke bumi karena telah melanggar titah," Somad menimpali. Ia adalah tukang becak termuda di lingkungannya. Somad putus sekolah setelah uang simpanan hasil mengayuh becak terkuras habis untuk prosesi pemakaman ayahnya, mati dibunuh ibunya sendiri. Sedangkan yang lain mendengarkan penjelasan Somad dengan saksama. Mereka akhirnya sepakat akan mengadakan upacara penghormatan tiap malam Jumat, mengelilingi genangan air bersuara tawa perempuan. Mereka pun berlalu satu-persatu menanggalkan gelap.
*
Perempuan itu masih di kamar, rambut terurai panjang. Ini adalah malam ketiga baginya mendekam diri. Pesona ayu masih jelas menggetarkan naluri seseorang yang memandang. Seorang lelaki, memandang matanya adalah bunuh diri yang berpahala. Tangannya yang lembut memegang lembaran kertas putih serupa folio, tapi lebih tebal dan lebih putih. Di kamar itu ada banyak koleksi buku berbagai judul, tapi yang berserakan di meja perempuan itu adalah tema-tema cinta tak kesampaian. Satu judul dengan judul-judul yang lain seakan menutup perasaannya sebagai manusia yang tidak lagi dalam koridor kekasih waktu. Pelukan tangannya pada pena, akan menggores cipratan sebuah noktah kelam kisah yang mulai menghilang ke antah berantah. Tapi sampai tiga malam berlalu tak ada satu pun coretan yang dijamahnya. Bukan karena lelah, tapi karena perempuan itu menunggu dedaunan, angin, air, gerimis, api, dan tanah menjelajah ke matanya menuju ke satu titik. Yakni kubangan kecil berisikan air tepat di depan rumahnya. Lalu bumi mengundang langit bersenggama hingga kubangan itu mencipta teriakan yang menyayat hati para penduduk.
Dalam kesendirian, perempuan itu teringat masa-masa saat bersama lelaki pujaan. Lelaki gagah dengan langkahnya begitu rapi selaras dengan wajah tampan selaksa tempias purnama. Setiap hari perempuan duduk di depan teras, lurus arah pagar agar gampang terlihat orang. Lelaki gagah pasti lewat di depan rumahnya. Khayalan perempuan terus mengalir terbawa kata-kata batin. Dan sampailah saat ia pada saat menegur lelaki dengan salam dan lambaian tangan penuh telisik. Hal itu berulang kali ia lakukan bahkan berbulan-bulan, namun tidak ada respon sama sekali dari lelaki gagah. Hanya tawa sinis dan kata-kata sesumbar keluar dari mulut tipisnya tepat ketika ia berjalan sampai di kubangan. Lelaki pun membelok ke kanan menuju bangunan dengan kubah biru dan menghilang bagai ditelan tempias lampu kota.
Orang-orang di sekitar rumahnya tahu bahwa lelaki itu adalah orang yang paling baik dan sabar di kotanya. Selalu mengumbar senyum dan membantu setiap orang yang tertimpa kesulitan, namun tidak padanya. Pada perempuan yang mendekam di kamar di siang hari, dan malamnya melukis liuk tubuhnya dengan kesunyian dan kegelapan. Pekerjaan lelaki gagah itu setiap hari adalah bolak-balik menuju bangunan berkubah biru sambil membawa selendang dan peci. Sebelum fajar, lelaki itu memanggil orang-orang untuk bangun. Setiap rumah penduduk diketuk satu-persatu dan menyuruh mereka untuk segera bergegas menuju bangunan berkubah biru. Lelaki gagah sering bilang, "bangunlah kalian agar kedamaian dan keberkahan senantiasa mengalir di kota ini".
Beberapa waktu pun berlalu, kota mulai damai dan kehidupan sejahtera. Penduduk tidak lagi membutuhkan lelaki gagah. Sambil diarak dan dicaci-maki lelaki gagah diusir dari kota itu karena suaranya dianggap mengganggu orang tua, anak kecil, dan semua penduduk yang masih tepekur di waktu fajar. Hanya perempuan di teras itu yang peduli pada kepergian lelaki gagah. Kepergian lelaki gagah membuat hati perempuan di teras murung beberapa waktu lamanya. Baginya, tanpa melihat lelaki gagah hidupnya tidak lagi berarti walau tegurannya tiap pagi tidak pernah dihiraukan. Suara burung berkicauan menambah galau hatinya kala itu. Kota pun gersang dan gedung tidak lagi memutih, dan bencana datang tiada henti bersamaan dengan kepergian lelaki gagah.
*
Sesajen dan dupa sudah dipersiapkan semenjak senja tidak lagi berarak. Tetamu yang kemungkinan menghadiri ritual itu tidaklah orang sembarangan, tapi hasil peranakan gua dan pedukuhan bahkan perdukunan. Termasuk Pak Mustamin dan Somad menyibukkan diri dengan keranda cokelat dipenuhi lilitan janur kuning dan di dalamnya kembang tujuh rupa. Perempuan di kamar memandangnya dengan tersipu malu. Ternyata semakin hari penduduk kota ini munafik pada ari-arinya, yang lebih punya perasaan dan mengerti langkahnya untuk beranjak.
Pak Romli yang dituakan mulai menyalakan dupa. Wajahnya komat-kamit membaca mantra. "Ambil tongkat ini dan tancapkan di tengah-tengah kubangan", ucapnya pada orang-orang di sampingnya. Semua orang berebut hendak meraih tongkat berkepala ular berbahan cendana. Semua mata menatap lekat ke kubangan, laki-laki dan perempuan berjejer membentuk lingkaran. Orang pertama yang bisa menancapkan tongkat tepat di rusuk kubangan aspal akan mendapat keberkahan bagi keluarganya dan untuk kota yang telah mati.
Malam semakin larut, tapi suara teriakan histeris tak kunjung muncul. Desiran angin hanya lewat melewati celah-celah sempit lorong dari arah utara. Angin selatan masih tersandera. Suara kodok di persawahan menambah riuh perasaan penduduk menanti bunyi yang dinanti-nanti. Sejurus kemudian, angin berhenti melambai dedaunan. Samar-samar kubangan mulai meletup-letup dan suara histeris melengking ke udara. Gerombolan tangan mulai berebut menjamah satu-satunya tongkat di area itu. Semakin lama tongkat kian menjauh dan suara lengkingan semakin menjadi-jadi. Dan, crass...!, satu tubuh lunglai ke tanah bersimbah darah. Kemudian disusul teriakan tubuh itu dengan kesakitan yang mendalam. Suasana kian riuh-ricuh. Sesosok tubuh kembali terhempas ke aspal dengan darah mengucur dari batok kepalanya. Kali ini teriakannya lebih keras. Akhirnya tongkat itu merenggut nyawa orang-orang di sekitar kubangan. Rembulan melihat kejadian itu dengan tetesan air mata yang kemudian menjelma gerimis kemerahan.
Perlahan, perempuan keluar dari kamar mendatangi sekumpulan tubuh yang tidak lagi bernyawa. Di tangannya ada lembaran kertas putih dan beberapa botol kosong bekas minuman. Darah yang bersimbah di aspal di masukkan ke dalam botol dan disiramkan ke tongkat berkepala ular berbahan cendana. Kemudian dengan linangan air mata perempuan itu menancapkan tongkat ke tengah-tengah kubangan. Tawa perempuan tidak lagi terdengar dan di kubangan itu muncul wajah lelaki gagah. Bibirnya seakan berteriak dan mensabdakan; "ambillah kain penutup tubuh telanjangmu dan aku tunggu engkau di bangunan berkubah biru". ***



Topeng Monyet

Cerpen
Nyoto Silakan Simak!
Dimuat di Riau Pos
04/30/2006


MONYET itu kembali lagi. Dia sudah dua tahun menghilang entah ke mana rimbanya. Badannya lusuh —kurus, mata sayu dengan sedikit sisa tahi mata yang masih melekat. Bulu badannya juga tidak terurus seperti dua tahun yang lalu. Ekornya yang panjang menjuntai, kotor dan sangat tidak sedap dipandang. Belum lagi bau badannya yang menebar ketika angin menampar badannya dan membawanya hingga ke rongga hidung. Ah, alangkah busuknya. Pendek kata, dia tidak terurus.

Si Gelis, nama monyet itu. Si Gelis sangat dimanja oleh Cecep Suryana, tuannya yang selalu membawanya saban hari mengelilingi pinggiran kota dan menghibur anak-anak dengan berbagai atraksi. Dengan uang lima ribu rupiah, segerombolan anak-anak sudah bisa menikmati Si Gelius menari, bermain payung layaknya seorang wanita cantik menghindari hujan atau teriknya sengat matahari. Si Gelis juga memainkan kepiawaiannya memetik senar gitar, tentu saja gitar mainan yang sengaja dibuat tuannya dengan proporsi badan Si Gelis. Tidak hanya itu, Si Gelis juga mahir berakrobat; sesekali dia mempertontonkan kebolehannya bersalto layaknya seorang jago kungfu menghindari serangan lawan. Anak-anak pinggiran kota yang merasa terhibur kejenakaan Si Gelis tertawa terbahak-bahak. Senang.

Menjelang petang, tuannya beristirahat di sebuah kedai. Cecep sesekali memesan kopi panas melepas penat keseharian. Tentu saja Si Gelis tidak mendapatkan haknya minum kopi, melainkan beberapa potong pisang barangan murahan menjadi bagiannya. Itu pun tidak lebih dari tiga buah walaupun lapar Si Gelis sudah mendobrak lambung perutnya yang kecil itu. Ketika orang-orang bermurah hati, Si Gelis mendapatkan sedikit kacang goreng yang disisikan beberapa tamu warung atau siapa saja yang dijumpainya. Rezeki itu tidak saban hari diterimanya.


HARI itu, Cecep apes. Sudah berkilo-kilo meter kakinya berkeliling pinggiran
kota, ya - daerah sub urban yang biasanya menjadi langganannya. Kali ini dia tidak mendapatkan satu pesanan pun dari anak-anak. Namanya saja anak-anak yang meminta hiburan, sesungguhnya yang membayar adalah orang tua mereka. “Sayang anak,” begitulah ungkapan umum yang kita dengar. Setengah mati tangannya menabuh genderang kecil sembari memikul Si Gelis, namun rezeki tak kunjung tiba. Cecep frustrasi. “Hari ini aku apes. Tuhan tidak adil!” Begitulah desahnya dalam hati. Bukan tidak ada orang yang ditemuinya, tetapi memang tidak ada orang yang berminat mengorder permainan Si Gelis. “Sekarang zaman susah. Semua serba mahal. Jatah hiburan anak lebih baik dibelikan beras dan minyak tanah!” begitu celoteh beberapa orang.

Sore menjelang magrib, Cecep pulang ke rumahnya. Setengah lusin anaknya sudah menunggunya di depan pintu rumah sederhana kalau pun tidak dikatakan rumah yang teramat sederhana. Sebuah rumah kontrakan bersekat kamar satu, juga tidak jauh dari pinggiran
kota yang kumuh. Tetapi yang sangat mengkhawatirkan adalah istrinya, Surti. Cecep tahu kalau semua orang yang ada di rumahnya pasti menantikan rezeki darinya. Setidaknya, Surti akan segera pergi beli beras dan beberapa butir telor ayam begog setelah mendapatkan uang dari Cecep. Dengan sebakul nasi dan beberapa telor goreng plus kecap kental manis, anak-anak Cecep mengeroyok hidangan itu dengan lahap. Memang, mereka tidak menuntut lebih seperti anak-anak yang berada di rumah gedongan. Anak-anak Cecep bersahaja dan mengerti kalau mereka dikategorikan keluarga yang wajib kurang gizi. Yang penting perut kenyang dan mereka akan tertidur lelap setelah Cecep berceritera tentang perjalanannya. Panjangnya jalan yang dilangkahi Cecep dan banyaknya watak manusia yang dijumpainya, merupakan ceritera yang menarik bagi setengah lusin anak Cecep. Rasanya tak ada obat tidur yang mujarab selain ceritera Cecep pada anak-anaknya. Ah…

Setengah lusin anak yang dilahirkan Surti, teramat meyibukkannya. Hampir setiap bulan dia dipanggil kepala sekolah karena anaknya yang sulung kelas enam SD telat bayar SPP. Bukan Surti tidak berkehendak KB, tetapi dia sendiri takut karena mendengar ceitera ibu-ibu yang ber-KB lalu tidak mendatangkan kebahagiaan suaminya. Akhirnya Surti mengambil jalan pintas; menerima pemberian Tuhan –-anak yang harus dilahirkannnya setiap tahun. Si bungsu yang masih menetek pada Surti terkadang nakal. Dia tidak memperdulikan orang-orang di sekelilingnya; jika dia berhasrat tentu tetek Surti menjadi sasarannya. Berlama-lama dia bergayut pada denok buah dada Surti.


Cecep tahu, kali ini Surti akan marah besar karena tidak memperoleh uang sepeser pun. Surti protes! Tetapi Cecep bertahan. Cecep juga tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu sial. Tidak ada satu pun orang yang memesan permainan si Gelis. Di otaknya mulai timbul rasa penasaran. Memang. Beberapa tahun sebelumnya, rezeki Cecep lebih baik ketika itu dia ditemani Si Mona, monyet betina ibu Si Gelis. Bahkan mahligai rumah tangga Cecep dibangun dari rezeki yang didapat bersama Si Mona. Tetapi sayang, Si Mona memang nakal. Suatu hari dia mencuri sepotong ikan Surti karena lapar yang menerjang setelah seharian bekerja. Cecep marah dan mengambil sebuah batu koral sebesar kepalan tangan dan dengan spontan batu itu dilemparkan tepat mengenai batok kepala Si Mona. Si Mona yang tidak nenyadari kalau tuannya akan berbuat demikian, mati terkulai dengan tangan yang masih menggenggam ikan hasil curian.


Sejak itu, Gelis anak Si Mona dididik menggantikan tugas ibunya. Si Gelis tumbuh semakin dewasa. Sekarang dia tahu apa yang diucapkan Cecep layaknya dia hidup bagai seorang manusia yang tunga-rungu; mengerti tetapi tidak bisa berbicara dengan wajar.


PERTENGKARAN mulut antara Cecep dan Surti disaksikan oleh setengah lusin anaknya juga Si Gelis. Puncaknya, Cecep menyalahi Si Gelis. “Dasar monyet sial!” Umpat Cecep sembari tangannya mengambil gagang sapu yang tersandar di balik pintu. Gagang sapu sebesar lengan dihantamkan berulang kali ke tubuh Si Gelis. Sontak saja Si Gelis kaget, tetapi dia tidak dapat menghindar. Satu dua kali pukulan dia masih bisa bertahan, tetapi pada pukulan ketiga dan seterusnya, Si Gelis semaput. Dia melompat ke
sana ke mari menghindari gagang sapu Cecep. Cecep tidak memperdulikannya. Rupanya, rasa lapar dan kesal setelah bertengkar dengan istrinya menambah api amarah Cecep. Cecep tidak sadar jika dia menguber-nguber terus Si Gelis yang sudah minta ampun.

Rasa sakit yang tak tertahankan membuat Si Gelis yang juga lapar silap mata. Dia melompat sekuat tenaga ke arah si bungsu yang terbengong-bengong. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, leher si bungsu digigitnya. Darah keluar dari tenggorokan si bungsu. Cecep sadar kalau si bungsu mendapat marah Si Gelis. Sebelum kesadaran Cecep pulih, Si Gelis mencuri lompat ke arah jendela dan melarikan diri. Dia terus membawa keletihannya menerobos temaram magrib diiringi azan magrib yang sedang berkumandang. Sejak itu, Si Gelis tak pernah kembali.


TETAPI hari ini Si Gelis kembali. Dia kembali ke rumah itu bagaikan orang yang baru saja pulang dari penjara. Dia bukan pulang sebagai bangau yang melalangbuana, tetapi lebih tepat dia pulang karena tidak tahan siksaan alam.


Sejak kepergian Si Gelis, Cecep tidak lagi mencari penggantinya. Cecep bekerja serabutan. Terkadang dia bekerja bangunan, tetapi terkadang dia juga ikut buruh bongkar muat di gudang-gudang yang banyak di seputar tempat tinggalnya. Tubuh Cecep memang tidak terbiasa mengangkat beban berat. Badannya terasa tersiksa beban. Namun, tuntutan hidup mejadikan tubuhnya harus kuat. Semangat Cecep menang sekuat Superman, Spiderman atau Samson Betawi.


Hari itu, Cecep lesu darah, termenung karena baru saja dipecat boss-nya. Ketika dia ikut kerja bongkar beras di gudang Baba, dia mencuri seplastik kresek beras catu. Tidak lebih, hanya seplastik kresek itu saja! Namun, Cecep bernasib sial, mata sipit Baba ternyata lebih tajam dari mata pisau belati. Cecep tertangkap basah. Tanpa ampun, setelah diproses security, dia langsung dipecat tanpa pesangon sebutir beras pun. Masih beruntung, karena Cecep tidak dimasukkan ke dalam sel jahanam. Barangkali hari itu hati Baba lagi senang karena beras yang ditumpuknya mendapat banyak laba. Dia masih ingat, dengan wajah lesu dan badan lemas, Cecep melangkahkan kakinya menuju rumah. Pasti, Surti akan kembali merepet.


Tetapi hari ini, Cecep yang lesu disadarkan oleh Si Gelis yang sudah dua tahun pergi melarikan diri melompati jendela rumahnya setelah dia meninggalkan bekas gigitan maut pada leher si bungsu. Dengan perlahan Si Gelis mendekat ke Cecep yang terduduk lesu di serambi rumahnya. Cecep ingat kalau itu Si Gelis yang pernah menemaninya mengais rezeki keluar masuk pinggiran
kota. Mata Si Gelis yang sayu, kurus dan tidak terurus ternyata tidak mengingatkan Cecep bahwa dia pernah memberinya banyak uang. Cecep kecewa pada Si Gelis.

Dia bangkit dari kursi, tangannya meraih gagang sapu yang dulu pernah mengusir dan memberi pelajaran berharga tetapi menyakitkan bagi Si Gelis. Tangan Cecep mencengkram kuat gagang sapu itu, dengan dada terbakar amarah dia menghampiri Si Gelis. Si Gelis tidak beranjak dari tempatnya. Dia berserah diri. Ternyata, ayunan gagang sapu yang dilayangkan Cecep tepat mengenai sasarannya; tempurung kepala Si Gelis retak. Hanya suara kiiek yang terdengar dari tekak kering si Gelis. Si Gelis tergeletak diam. Dia mati!


Cecep sadar kalau monyet cantik yang dulu disayangnya, dimanjanya dan terkadang dibawa tidur hingga ke dalam kamarnya sekalipun, sekarang nayawanya telah melayang menyusul nyawa si bungsu yang pernah digigit lehernya. Cecep tidak menyadari kalau Si Gelis telah mendapatkan hukuman setimpal di alam yang tidak biasa dia jalani. Si Gelis yang masih menetek ternyata tidak pernah menikmati kesenangannya bersama ibunya, Si Mona karena hajaran Cecep. Si Gelis iri melihat anak-anak Cecep dengan manja menghisap habis susu Surti. Sementara Si Gelis, terlalu cepat disapih. Ketika pertengkaran Cecep dengan Surti memuncak, Si Gelis menjadi sasaran kemarahan dan menyebabkan dia terluntang-lantung selama dua tahun di alam manusia yang tidak mengenal balas kasihan. Si Gelis ingin protes, tetapi pada siapa?


Keinginannya mengakui kesalahannya ternyata salah diterjemahkan oleh Cecep. Seandainya dia bisa ngomong tentu dia akan menerangkan pada Cecep tentang kepulangannya. Namun, kali ini Si Gelis pulang dengan sia-sia. Tidak ada lagi tepuk tangan meriah anak-anak pinggiran. Juga, tidak ada haru-biru bocah-bocah nakal yang sesekali mencepret pantatnya dengan karet gelang. Yang tertinggal hanya bangkai Si Gelis terbujur kaku tanpa penghormatan. Dia membayarnya dengan nilai kematian. ***




Toapekong

Cerpen
Nyoto Silakan Simak!
Dimuat di Riau Pos Silakan Kunjungi Situsnya!03/13/2005
Telah Disimak 248 kali

TOAPEKONG duduk termenung di pinggir telaga di langit surgawi junggringsalaka2). Matanya yang setengah menutup, terlihat terkantuk-kantuk ditampar butir angin semilir yang dihembuskan Dewa Angin. Tadi pagi, Dewa Angin baru saja membuka lorong bayu ke delapan penjuru. Ternyata, angin itu sempat menghampiri pipi dan sedikit mengusik ketenangan Toapekong yang gusar melihat tingkah umatnya.Matanya yang setengah menutup, terlihat terkantuk-kantuk ditampar butir angin semilir yang dihembuskan Dewa Angin. Tadi pagi, Dewa Angin baru saja membuka lorong bayu ke delapan penjuru. Ternyata, angin itu sempat menghampiri pipi dan sedikit mengusik ketenangan Toapekong yang gusar melihat tingkah umatnya.
Sesungguhnya, Toapekong baru saja mengejawantah ke bumi tadi pagi. Setelah dia melihat penanggalan Xin Jia, Jia Gwee,3) terburu-buru dia menyusup ke pintu langit bermaksud menghadap Yang Mulia. Di tangannya sudah tergenggam sejumput laporan -persis terlipat bagaikan nota hutang-piutang Tuan Konglomerat.
Tetapi, Toapekong masih sempat memalingkan mukanya dan melihat dari pingggir surgawi, wajah manusia yang ada di bawahnya. Tergambar dengan jelas di matanya yang redup, sebagian besar manusia menyeret manusia yang lain dan membawanya ke sebuah telaga dengan tali nafsu untuk dibantai. Suara jerit dan tangis terdengar bagaikan suara tawa -membahana, memecah ceruk langit yang bukan sesungguhnya milik manusia.
Sejenak, Toapekong beralih ke pintu surgawi lapis ke tujuh. Dengan terbungkuk-bungkuk dan nafas sendal-sendul, dia mencoba untuk melaporakan isi dapur orang Tionghoa.
"Yang Mulia, dihariban seulas persembahan... " Toapekong memberi sembah.
"Silahkan...." Dengan wajah berseri, Yang Mulia mempersilahkan Toapekong melaporkan hasil pengawasannya selama satu tahun di dapur orang-orang Tionghoa. "Bagaimana kerjamu selama satu tahun, Toapekong?"
"Sesungguhnya Yang Mulia, rotasi waktu bagaikan cakra maksiat. Revolusi bumi dimajukan tujuh kali musim chun4) lebih baik dan akan mengurangi penderitaan manusia di bumi."
"Maksudmu?"
"Saya tidak bisa menyaksikan perbuatan manusia yang sudah kelewat batas. Mereka menumbal sesama. Suara jerit dan tangis justru terdengar bagaikan suara desah kegirangan. Setelah hamba periksa, ternyata telinga mereka terpasang terbalik, Yang Mulia."
Yang Mulia terperanjat.
Toapekong mengajak Yang Mulia berjalan di tepi surga sembari menikmati teratai yang sedang mekar di musim chun. Dua ekor angsa yang dibawa dari bumi atas kebajikan mereka ketika menolong Dewi Kwan Im5) yang digoda begundal, juga hidup dengan tenang memadu kasih sepanjang waktu jagatrana. Mereka berenang di kolam madu dan sesekali tertawa terpingkal-pingkal ketika angsa betina mencoba menggoda angsa jantan yang terus birahi sepanjang kalender surgawi. Juga sepasang kelinci6) berbulu sutra putih ikut memadu kasih.Di belahan paling bawah, Yang Mulia bersama Toapekong masih sempat mengintip dari celah pagar nirwana. Terlihat dengan jelas sejumlah manusia yang terus bergembira. Tetapi Toapekong sungguh terperanjat. Dapur-dapur orang Tionghoa tidak lagi menyiapkan makanan kesukaan para leluhur yang sudah dua malam dilepas ke bumi moksa7) dengan manusia.
"Lihatlah Yang Mulia, dapur-dapur mereka sudah tidak berbau kebajikan."
"Hemm..."
"Meja altar mereka terhidang samseng8)8) ayam, bebek dan babi kukus. Tetapi mereka lupa kalau sebelumnya induk ayam itu minta ampun demi nyawanya."
Yang Mulia mengangguk.
"Ayam yang sudah membangkai itu minta berjuta ampun pada tuannya, namun mereka tidak memperdulikannya."
"Dengan cara apa mereka minta ampun?" Yang Mulia seakan tidak tahu padahal Yang Mulia serba tahu.
Toapekong lalu menjawabnya, "Tercatat pada nota kerja saya, ayam itu telah memberikan mimpi pada manusia yang memeliharanya." Dan Toapekong lalu membukan review catatan perjalanan hidup induk ayam beserta setengah lusin anaknya yang masih di bawah umur.
"Anak-anakku, malam ini adalah malam terakhir kita bersama. Mulai besok pagi, kalian pergilah ke arah barat dan sembunyi di rumpun bambu. Jangan ada yang keluar ketika majikan kita memberi umpan nasi basi," ujar induk ayam yang telah menghitung azalnya.9)
9)
"Memangnya ada apa, Bu?" tanya salah satu anaknya.
"Ini kodrat kita sebagai ayam. Besok pagi sebelum jam tujuh, majikan kita akan menjerat lalu menggorok leher ibu dan meletakkan jasad ibu di meja altar sebagai samseng."
"Sebegitu kejamkah?"
"Begitulah."
"Kita masih sempat berdoa pada dewa kehidupan, Bu..." anak ayam menciap-ciap sedih bercampur takut. Pucat!
"Ya. Tapi batas pengampunan hanya sebatas birahi manusia."
Tanpa tawar. Tanpa ampun. Catatan kekejaman di tangan Toapekong terasa bergetar menandakan mimpi manusia semakin buruk terperuk teruk di celah relung kemaksiatan, ketamakan dan kezaliman. Toapekong meneteskan air mata.
Aha! Yang Mulia terpingkal.
Toapekong pamit. Berjalan di antara pelangi menyisir awan hingga ke tepi neraka yang terus bergejolak panasnya. Semilir angin surgawi tak mampu menutupi panasnya api yang tergelincir dari lubang burit neraka.
"Saya masih percaya, altar orang Tionghoa masih menyediakan samseng," Toapekong masih bergetar. Awan menepuk-nepuk dadanya yang bidang, tetapi isi dada itu sudah kering. Apa boleh buat, Toapekong terselimutkan halimun kesedihan dan kakinya sekarang telah menginjak maksiat manusia. Di bumi!
Di penghujung tikungan, Toapekong berpapasan dengan seorang toke yang sudah moksa ke alam dewata.
"Ternyata nilai-nilai nominal duniawi tak lebih dari sejumput nafas yang tergeser nadi kehidupan."
"Begitulah..." jawab Toapekong yang terus mengejar waktu.
Sementara bumi terus berpacu dengan waktu yang diiringi rotasi tanpa henti. Dewa-dewa terpana karena di pinggir telaga Yang Mulia terlihat murung. Menyesalkah Yang Mulia menyajikan kehidupan di hariban manusia? Sungguh, sebuah catatan akhir di dapur orang Tionghoa yang tertinggal Toapekong di pinggir telaga ternyata membuat para toke bermimpi.
Alih-alih, di pinggir telaga surgawi, Yang Mulia menertawai manusia. Yang Mulia duduk tapakur hingga mendengkur sepanjang malam waktu surgawi.***

Pekanbaru, Malam Imlek
11 Februari 2004

(Cerita ini dipetik dari muatan filsafat hidup orang Tionghoa tentang samseng dan Dewa Harta (Cai Sin) pada musin chun [semi].)
samseng dan Dewa Harta (Cai Sin) pada musin chun [semi].)

Catatan:
1) Dewa Dapur yang sering disogok orang Tionghoa. Pada patung Toapekong mulutnya sering diolesi madu sehingga diharapkan memberikan laporan yang baik-baik tentang ulah manusia di bumi.
Dewa Dapur yang sering disogok orang Tionghoa. Pada patung Toapekong mulutnya sering diolesi madu sehingga diharapkan memberikan laporan yang baik-baik tentang ulah manusia di bumi.
2) Tempat tinggal para dewa.
Tempat tinggal para dewa.
3) Tahun Baru Cina, bulan pertama
Tahun Baru Cina, bulan pertama
4) Musim Semi
Musim Semi
5) Dewi Kasih Sayang
Dewi Kasih Sayang
6) Dalam kisah legenda; kelinci membakar dirinya di depan Sang Pencipta Alam Semesta yang merubah dirinya menjadi seorang tua sehingga dia disertakan hidup tentram di bulan.
Dalam kisah legenda; kelinci membakar dirinya di depan Sang Pencipta Alam Semesta yang merubah dirinya menjadi seorang tua sehingga dia disertakan hidup tentram di bulan.
7) Menghilang
Menghilang
8) Sejenis persembahan kepada arwah leluhur atau dewa
Sejenis persembahan kepada arwah leluhur atau dewa
9) Sepenggal cerita tentang Dewa Harta (Cai Sin) yang pernah mendapat mimpi dari seekor induk ayam. Sejak itu, Cai Sin tidak berani lagi menyantap hidangan ayam atau hewan lainnya.***
Sepenggal cerita tentang Dewa Harta (Cai Sin) yang pernah mendapat mimpi dari seekor induk ayam. Sejak itu, Cai Sin tidak berani lagi menyantap hidangan ayam atau hewan lainnya.***



Tuyul

Cerpen
Nyoto Silakan Simak!
Dimuat di Riau Pos Silakan Kunjungi Situsnya!06/08/2003
Telah Disimak 319 kali

HAMPIR tak kupercaya, uangku yang tersusun rapi digasak maling. Tapi tak habis semua, hanya beberapa lembar. Namun maling itu tak kunjung kutemukan. Jangankan batang hidungnya, jejaknya pun nyaris tak ada. Kerjanya cukup rapi sehingga tak meninggalkan jejak perbuatan yang berarti bagiku.
Segera kulaporkan ke polisi dan polisi pun datang. Namun bukan hasil penyelidikan yang kudapat, melainkan bahan tertawaan. Polisi menertawaiku habis-habisan. Mereka bilang, ‘’Bapak sudah pikun. Mana mungkin pencuri masuk ke rumah bapak, sementara semua pintu dalam keadaan terkunci. Terlebih-lebih lemari dan laci penyimpanan uang bapak, semuanya dalam kondisi terkunci rapi’’.
‘’Tapi Pak, ini kenyataan. Hampir saban hari uang saya berkurang,’’ aku berusaha meyakinkan.
‘’Ha...ha...ha...! Bapak termakan halusinasi sendiri. Bapak harus pakai seorang staf untuk menyimpan uang-uang bapak secara baik, biar kelak tak salah menghitungnya,’’ nasehat polisi padaku. Aku tak butuh nasehatnya, tapi kubiarkan saja kalimat itu berlalu dari liang telingaku yang sempit.
‘’Semua yang tercatat adalah benar, Pak. Hanya uangnya yang berkurang,’’
‘’Maaf, Pak. Kami dari pihak forensik pun sudah meneliti jejak pencuri yang bapak maksudkan itu. Namun di sekitar rumah ini, tetap saja jejak pencuri tak kami temukan. Ada baiknya bapak berpikir kembali tentang kebenaran uang-uang yang hilang itu’’.
‘’Itulah yang membingungkan saya, Pak Polisi. Semua kunci rumah-saya yang pegang, namun uang tetap saja hilang...’’ tukasku, seakan aku sendiri tak percaya dengan kejadian yang kualami.
‘’Sekali lagi maaf, Pak. Bapak kami sarankan untuk berkunjung ke seorang psikiater. Barangkali pikiran bapak terganggu dengan jumlah uang yang begitu banyak itu’’.
Aku terlongo sejenak. Aku sudah gila? (dalam hati aku tertawa). Enyahlah! Justru aku menganggap mereka yang gila. Mereka tak mempercayai kata-kataku, jika semua yang kulaporkan itu benar adanya. Uang hilang bukan sekali-dua kali, tapi sudah berulang kali dan celakanya tak ada bukti yang bisa diungkapkan.
***
Semua kejadian aneh ini pun sudah aku ceritakan pada istri, kerabat dan anak-anakku. Tragisnya, istriku pun sudah mulai ikut-ikutan menertawaiku. Bukan tidak mungkin besok-lusa anak-anakku juga demikian, sehingga semua ber-ha-ha-ha padaku.
Yang terakhir menertawaiku tentu saja polisi-polisi yang kuundang ke rumahku. Mereka bekerja cekatan, namun tak ada pekerjaan yang kulihat diselesaikan dengan baik oleh mereka. Masing-masing menyibukkan diri; ada yang menabur sejenis bedak untuk menyelidiki sidik jari, barangkali dari sini nantinya diperoleh hasil siapa yang pernah menjamah laci-laci penyimpanan uangku. Namun hasil pemeriksaaan hanya sidik jariku seorang yang ada di sana. Makanya hari ini aku ditertawakan habis-habisan oleh mereka. Ya— oleh mereka, mulai dari istriku hingga polisi-polisi itu.
Dalam keteranganku sebagai pelapor, aku selalu menegaskan semua yang kuungkapkan itu benar adanya. Sesekali dalam selaku, kucoba untuk meyakinkan polisi, mungkin mereka keliru dalam melakukan tahap pekerjaan. Tapi dalam hati kecilku-aku berpikir, tak mungkin mereka salah melakukan tahapan pekerjaan, sebab mereka orang-orang profesional yang sudah terlatih. Negara sudah banyak menghabiskan uang untuk kegiatan peningkatan sumber daya manusia. Jadi wajar saja kalau mereka bekerja dengan profesional.
Namun tetap saja aku kecewa! Betapa tidak? Maling kecil saja mereka tak sanggup menangkapnya, bagaimana kalau itu maling besar? Tentu akan lebih sulit lagi menjerat leher garong itu. Setahuku, maling kecil jika sudah tertangkap tak banyak komentar, tak banyak tingkah, juga tak banyak rede. Jika yang tertangkap maling besar, malah banyak tingkah dan kita direpotkan dengan seabrik permintaannya. Dengan demikian jelas aku kecewa. Urusan maling kecil tak tertangkap malah aku ditertawai, pelecehan jadinya. Ah! Persetan sama kalian...!(umpatku dalam hati).
***
‘’Jadi, kalian sungguh-sungguh ingin meninggalkan tugas penyelidikan ini?’’ tanyaku serius setengah mengancam.
‘’O, bukan! Bukan kami bermaksud meninggalkan tanggung jawab, tapi jelas sekali laporan bapak tak sesuai dengan hasil penyelidikan kami,’’ jawab polisi itu serius. Tapi perilaku mereka kulihat tetap saja setengah serius. (Dalam hatiku bertanya, inikah profesional?)
‘’Iya. Saya sungguh-sungguh kehilangan duit. Ini serius, Pak Polisi!’’
Lagi-lagi mereka menertawaiku, ‘’Tak mungkin! Maaf, Pak. Ini bukan pekerjaan kami. Kami permisi,’’ mereka meninggalkan sepotong kecewa padaku.
Dalam hati aku berpikir, barangkali mereka mau menangkap maling ketika maling itu datang menyerahkan diri. Tentu saja polisi tinggal menelikung-lalu memborgol ke dua tangan maling itu-diseret ke tahanan dan diberi makan sayur kangkung rebus sepuluh kali menu dalam seminggu agar kakinya lama-kelamaan setengah lumpuh. Setelah dia keluar dari tahanan, kalau pun mencuri lagi, tak susah-susah menangkapnya, sebab dia tak bisa lari kencang. Kakinya tadi sudah lumpuh, paling tidak, lemah ketika dibawa berlari. Gampang, bukan?
***
Berselang dua hari kemudian, kualami lagi peristiwa yang sama. Pada kejadian yang lalu-lalu, uang yang diambil hanya lembaran lima ribuan-sepuluh ribuan dan dua puluh ribuan. Kali ini tidak! Maling ini sudah lebih berani, dia menggondol habis bundel uang lima puluh ribuan dan uang ratus ribuan. Keberaniannya sudah melewati batas wajar. Nekat betul maling ini, pikirku. Kalau yang lalu-lalu dia masih menyisakan uang di laciku, kali ini tak begitu. Dia santap habis uang-uang itu tanpa ampun. Kandas!
Aku tak tahan lagi menghadapi persoalan uang hilang. Jika aku laporkan lagi ke polisi, dapat dipastikan, aku ditertawai lagi. Mungkin-mungkin mereka akan bertanya padaku: ‘’Apakah bapak sudah mengunjungi psikiater?’’ Tentu saja aku tak bersikap dungu. Ini sudah keterlaluan, pikirku. Aku mencari alternatif lain. Sekiranya di negeri ini ada ditektif swasta, jauh hari sudah kusewa. Uangku yang banyak cukup membayar mereka, biarpun bandrolnya mahal, tapi aku puas.
Akhirnya aku meminta jasa seorang paranormal. Mbah dukun itu datang ke rumahku dengan membawa sejumlah properti perdukunannya. Ia duduk di ruang tengah rumahku sembari menyulut sebatang rokok keretek dengan ukuran abnormal. Keretek itu satu setengah kali lebih besar dari keretek biasa. Bau asap rokok itu pun membuat hidungku bagaikan orang yang berpenyakit polip-tersumbat, sementara bulu kudukku tegak bagaikan jarum-jarum halus. Ya, bau kemenyan. Suasana rumahku jadi mistis. Barangkali Mbah dukun ini menyampurkan sedikit tembakau rokoknya dengan kemenyan yang telah dihaluskan, pikirku dalam hati.
Dia bertanya padaku, ‘’Di mana letak laci itu?’’ maksud dia adalah laci mejaku yang sering mengalami kehilangan duit itu.
‘’Ada di kamar kerja saya, Mbah,’’ kataku.
‘’Tunjukkan pada Mbah, di mana kamar itu’’.
Aku menuntunnya ke sebuah kamar di bagian kanan ruang tamu. ‘’Ini kamarnya, dan itu laci yang bernasib malang, Mbah,’’ aku menuding pada sebuah laci meja kerjaku yang selalu membuatku pusing.
Kulihat Mbah dukun mengangguk-angguk seraya tangannya mengelus-ngelus janggutnya yang tumbuh acak-acakkan itu. Sejurus kemudian dia berujar, ‘’Tuyul yang mengambil uangmu!’’
‘’Apa, Mbah?!’’ tanyaku setengah kaget.
‘’Uangmu diambil tuyul,’’ tegas Mbah dukun.
‘’Mana mungkin tuyul mengambilnya, Mbah’’.
‘’Apanya yang tidak mungkin?’’
‘’Tuyul mengambil tak lebih dari tiga lembar uang, sedangkan ini bukan hitungan lembaran lagi, Mbah. Tapi sudah main bundelan. Tentu ini pekerjaan manusia,’’ kataku setengah tak percaya. Artinya aku masih saja menyangkal tentang pernyataan Mbah dukun.
‘’Apa bedanya manusia dengan tuyul? Kamu tahu apa tentang manusia? Juga tahu apa tentang tuyul? Bagi Mbah, keduanya sama saja’’. Kulihat Mbah dukun tenang-tenang saja.
‘’Tuyul tak kuat mengangkat uang sebanyak itu, Mbah. Manusia tentu lebih mampu mengambil lebih banyak dari yang diambil tuyul’’.
‘’Berarti manusia lebih rakus dari tuyul, maksudmu begitu?’’
Aku yang cerdik, tertunduk sejenak, lalu, ‘’Jelas manusia lebih rakus dari tuyul. Tuyul mencuri uang bukan untuk dirinya, melainkan untuk tuannya. Siapa lagi kalau bukan manusia. Manusia mencuri uang untuk kesenangannya semata. Yang satu mencuri, yang satu menadah. Di mata hukum, keduanya sama-sama bersalah, bahkan si penadah akan dihukum lebih berat daripada si pencuri’’.
‘’Bagus! Kau telah menjawabnya. Mbah hanya sekilas menerangkan tentang perbedaan tuyul dan manusia. Perbedaan intrik manusia dan tuyul adalah, ketika tuyul tertangkap, dia tak mampu merubah dirinya menjadi manusia. Tapi, manusia ketika tertangkap dan kepepet, dia mampu merubah dirinya menjadi tuyul. Berarti manusia berbentuk tuyul akan jauh lebih dasyat kejahatannya dibanding tuyul yang sebenarnya, sungguh berbahaya,’’ jelas Mbah dukun. Dia masih terus menikmati rokok keretek yang baunya tak kusukai itu.
Aku terpagut-pagut. Semua yang diterangkan Mbah dukun padaku masuk akal. Di otakku sekarang, tak peduli itu tuyul atau manusia, yang penting bisa kutangkap dan kupatahkan batang lehernya lalu kubanting, habis perkara! Selanjutnya aku menyuruh Mbah dukun menangkap tuyul-tuyul yang katanya selama ini bergentayangan di rumahku.
Dengan cekatan, Mbah dukun mempersiapkan segala properti yang semula telah dia bawa dari rumah. Dia duduk bersila pada lantai kamar kerjaku dan membakar kemenyan pada sebuah bokor. Mulutnya komat-kamit mengucapkan mantera yang sayup-sayup aku dengar: ‘’babalam bababalam lambabalam!’’ seperti bahasa India. Sungguh aku tak mengerti maksud ucapan mantera itu. Kubiarkan dia larut dengan prosesinya. Tak seberapa lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah botol yang bentuknya aneh. Tabung botol itu lebih besar dari botol-botol biasa, namun leher botol tetap sama seperti botol biasa dengan sumbat kain hitam. Sebuah botol transparan.
‘’Mbah akan memancing tuyul-tuyul itu datang ke sini untuk mengambil uang-uang ini. Di saat mereka asyik mengambil uang, akan Mbah jerat kaki mereka lalu Mbah masukkan ke dalam botol ini,’’ Mbah dukun meletakkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
‘’Kalau dimasukkan ke dalam botol, bagaimana saya bisa mencekik batang leher tuyul-tuyul itu, Mbah?’’ tanyaku dengan sedikit emosi.
‘’Itu urusan nanti. Yang penting Mbah tangkap dulu tuyul itu baru kita adili!’’
Aku terdiam serius. Perhatianku tersita pada botol yang sekarang terletak di atas meja kecil di depan Mbah. Di sekeliling botol itu ditaburi beras kencur dan dipasakkan tiga buah hio yang mengeluarkan aroma kayu cendana. Ruang kerjaku kini menjadi semerbak akibat ulah asap-asap properti itu. Aroma kemenyan yang bercampur aroma kembang, membuat dadaku tambah sesak. Untuk sejenak, aku berusaha untuk tak merasakan aroma-aroma busuk itu.
Tiba-tiba Mbah dukun menutup botol itu dengan sumbat kain hitam yang telah disediakannya tadi. ‘’Ha... ha.. ha...! Sekarang dua ekor tuyul sudah Mbah tangkap dalam botol ini. Mereka melolong-lolong minta keluar. Jangan sekali-kali Engkau buka sumbat botol ini, sebab mereka akan melarikan diri, mengeri?’’ Mbah dukun menyerahkan botol itu padaku.
Tanganku gemetar menerima botol itu. Kuangkat agak tinggi, sejajar dengan tinggi kepalaku. Kuamati dengan seksama-dengan detak jantung berdegup, sebab aku belum pernah mengalami hal demikian ini. Aku tak menemukan dua sosok tuyul yang dikatakan Mbah dukun tadi.
‘’Mbah, saya tak melihat dua sosok tuyul yang Mbah katakan tadi,’’ ujarku penasaran.
‘’Jelas kamu tak mampu melihatnya. Tak sembarangnya orang mampu melihat mereka. Tapi Mbah dengar apa yang dikatakan mereka tadi ketika kau melototi mereka’’.
‘’Apa yang dikatakan mereka, Mbah?’’
‘’Mereka meneriaki kaulah pencuri yang sebenarnya’’.
‘’Hah?!’’ Aku terperanjat. ‘’Jangan macam-macam, Mbah. Saya tak melihat mereka,’’ ingin rasanya tanganku membuka sumbat botol itu, namun hatiku ragu.
‘’Sekali lagi Mbah katakan padamu, Nak, bahwa manusia biasa tak mampu melihat mereka. Hanya paranormal yang mampu berkomunikasi dengan mereka. Nah, sekarang kau tahu apa yang diteriaki mereka?’’
‘’Katakan, Mbah. Apa yang mereka teriakkan’’.
‘’He... he... he...! Tuyul-tuyul itu bilang: Maling teriak maling!’’
‘’Saya tak percaya!’’ suaraku agak keras karena terperanjat mendengar sebutan maling. Aku berpikir sejenak, dari mana tahu Mbah ini kalau aku selama ini juga maling? Jika saja aku mau jujur, tentu semua orang akan datang padaku dan menyeretku ke pengadilan lalu memenggal leherku ini. Tapi, rasanya aku tak mungkin mengakui perbuatanku itu. Sama saja dengan ular yang minta pukul, mati konyol! Tuyul-tuyul itu benar. Namun tetap saja aku malu untuk mengakuinya, bahkan aku teramat marah dengan mereka.
‘’Saya akan bawa tuyul-tuyul ini ke kantor polisi, Mbah!’’ ujarku.
‘’Polisi-polisi itu tentu tak sanggup mengadili mereka. Biar pun ini negeri tuyul, namun polisi tetap manusia dan tuyul tetap tuyul. Engkau akan ditertawai mereka’’.
‘’Maksud Mbah siapa?’’
‘’Kedua-duanya!’’
Hah! Aku terperanjat lagi. Kemarin aku ditertawai polisi ketika kulaporkan uangku yang hilang. Mereka menyarankan aku untuk berkonsultasi dengan psikiater, tentu mereka menganggapku sudah gila. Kali ini tuyul-tuyul itu menertawaiku, mereka berteriak-teriak hingga tenggorokkannya kering-kerontang. Untung saja tidak semua manusia mendengarkan teriakannya. Celaka! Ini juga pelecehan, pikirku.
‘’Engkau boleh percaya, boleh tidak. Sekarang tuyul-tuyul itu mengatakan padaku bahwa mereka hanya mengambil sebagian hasil curianmu,’’ Mbah dukun memberitahuku, seakan-akan dia menjadi penerjemah bagi percakapanku dengan kasus dua ekor tuyul ini.
‘’Biarkan mereka mati dalam botol ini, Mbah! Akan aku bakar botol ini biar mereka rasakan panasnya api neraka dunia ini!’’ aku mengancam tuyul-tuyul itu.
‘’Mereka tertawa-tawa kesenangan, Nak,’’ ujar Mbah dukun tersenyum-senyum.
‘’Apa, Mbah? Tertawa? Mereka tidak takut kubakar? Dasar setan!’’ umpatku.
‘’Sabar! Jangan terlalu emosi. Tuyul tak takut api, mereka akan terbebas jika api menjilat tubuh mereka,’’ Mbah dukun menjelaskan padaku.
‘’Apa yang harus saya lakukan untuk menghukum mereka?’’
‘’Berikan botol itu pada Mbah. Lupakan uangmu yang selama ini hilang. Namun, jangan sekali-kali menjadi tuyul dalam dirimu, sebab tuyul-tuyul dalam botol ini tetap akan datang padamu!’’ nasehat Mbah dukun seraya pamit meninggalkanku.
Aku tertegun dengan ucapan tuyul-tuyul itu, merasa sama saja diriku dengan mereka. Apa bedanya tuyul dengan manusia? Bagiku, di rumahku, di negeriku yang kacau ini, manusia dan tuyul sama saja. Semua terasa seakan berada di negeri tuyul. Wah ha ha ha! Suara tertawa itu menjauh dariku.***
Pekanbaru, 2002



Kunang-kunang Di Atas Kuburan

Cerpen
Nyoto Silakan Simak!
Dimuat di Waspada Silakan Kunjungi Situsnya!12/29/2002
Telah Disimak 357 kali

SUDAH dua puluh tahun lebih Parlan menekuni pekerjaannya. Tanpa modal yang berarti, hanya sebuah cangkul dan tenaga yang keluar dari otot-otot tubuhnya. Parlan tak pernah mengeluh. Dia juga tak pernah meratapi nasibnya. Walaupun sesekali istrinya menuntut lebih dari yang diberikannya, Parlan tetap sabar dari rongrongan istrinya. Tapi pada suatu sore, istrinya mengomel. "Pak, pacul itu sudah usang menemanimu. Sudah setengah usia bapak. Dua puluh tahun lebih bekerja kok rumah masih ngontrak?" Keduanya terlibat perbincangan serius di ruang tengah rumah mereka. Istri Parlan baru saja menghidangkan secangkir kopi dan beberapa potong ubi goreng pada meja kecil yang berada di samping ke dua kursi yang mereka duduki. "Sabar, Bu, aku tahu maksudmu. Kita kan sudah sepakat dari bulu bahwa pekerjaan apa saja yang kulakoni yang penting halal, iya toh?" Jawab Parlan seraya tangannya meraih cangkir kopinya. Dia hirup kopi itu perlahan... Jakunnya yang mulai menonjol akibat termakan keriput ketuaannya menambah semakin jelas naik turun kerja jakun itu. "Sudahlah... Tuhan itu kankota dengan menggadaikan fasilitas desa yang ada. Hasil bumi dia beli dengan murah dan dijualnya dengan harga tinggi sehingga banyak masyarakat yang tidak senang kepadanya. Sangking bencinya warga, keluarganya takut kalau-kalau kuburannya dibongkar oleh masyarakat dan mayatnya dijadikan makanan serigala." "Ah, Bapak bergurah..." "Lha, serius kok, ,Bu..." "Apakah hartanya yang banyak itu juga dibawa mati, Pak?" Istri Parlan makin serius wajahnya. Dia lupakan sejenak pekerjaan sulam-menyulamnya. "Soal itu aku tidak tahu. Tapi dengar-dengar, kuburan itu dijaga oleh orang-orang suruhan," terang Parlan kepada istrinya. Sekali lagi, dia sulut kreteknya yang mulai tinggal separuh. Dan, puuuusshh..., gelombang awan larat kembali bergulung, menyebar di antara dua wajah. "Hemm, orang kaya, sudah mati pun masih tak kuasa melepas hartanya." Istri Parlan mencibirkan bibir dowernya. Perbincangan itu terhenti. Parlan larut dengan lamunannya. Jari-jari istrinya sibuk lagi, menari-nari dengan sulamannya. Tak terasa, hari mulai sore. Sesi magrib menjemput. Dari kejauhan di upuk barat, matahari mulai menghilang dan langit memerah memberi bayangan lembayung. ***Setelah selesai shalat Isa, Parlan pamit pada istrinya. "Bu, aku mau pergi dulu," ujarnya datar. "Lho, malam-malam begini mau ke mana toh, Pak?" tanya istrinya. "Ada pertemuan kecil denagn kawan-kawan RT seberang, Bu," jawab Parlan membohong. Pertemuan itu tak ada. Hanya alasan yang dibuat-buat saja. "Hati-hati, ,Pak." Nasehat istrinya. "Ya." Sepasang kaki usang itu keluar dari rumah. Dia berhenti sejenak, lalu menutup pintu rumahnya perlahan. Parlan menuju samping rumah dan mengambil cangkulnya yang selama ini telah menemaninya. Dia tahu, tak ada yang paling setia selain cangkulnya ini. Apa pun yang diperbuatnya, cangkul itu tak pernah protes. Tak juga banyak cakap. Bahkan cangkul ini pula yang memberinya hidup, setidaknya membiayai sewa rumah dan makan mereka berdua. Parlan memang tidak memiliki anak. Untuk yang satu ini, nasibnya terlalu buruk. Tapi dia tidak mengeluh soal itu. Di kegelapan malam, Parlan terus melangkahkan kakinya. Dia mulai memasuki jalan setapak yang sunyi. Terus... dan terus menuju suatu tempat. Pada sebatang pohon waru hutan, dia berhenti sejenak. Dia letakkan cangkulnya di atas tanah dan duduk di akar waru besar yang menojol keluar. Suara jangkrik dan piyam menemaninya di situ. Suara itu saling bersahutan. Beberapa ekor kunang-kunang terbang mengerlipkan cahaya kecilnya. Ya, hanya beberapa ekor; setelah itu datang berpuluh, beratus dan sekarang sudah beribu ekor kunang-kunang menerangi tanah kuburan yang tak seberapa luas itu. Sementara langit cerah. Bintang-bintang bertebaran di alam raya. Bulan memang tiada menampakkan diri. Tapi cahaya bintang dan kunang-kunang cukup menerangi tempat itu. Bintang kelihatan bagaikan kuntum-kuntum bunga api yang aduhai. Parlan mengeluarkan sebungkus rokok yang dibawanya dari rumah. Dia cabut satu batang, namun wajahnya tetap menoreh pada sebuah fokus beberapa puluh meter di depannya. Kreek! Kreek! Rokok yang sudah berada di bibirnya itu dia sulut dengan mancir tuanya. Nyamuk-nyamuk liar yang berkeliaran di situ sesekali mencuri kesempatan. Mereka gigit lengan Parlan. Parlan mengusirnya dengan elusan. Dia tidak hardik atau tepuk dengan tapak tangannya yang lebar. Terkadang, dia usir dengan hembusan asap rokok. Untuk sejenak, Parlan aman dari hajaran nyamuk liar. Wajah yang serius itu terus menatap sebuah gundukkan beberapa ratus meter di depannya. Gundukan itu bukan lain adalah kuburan Lurah Wangsit yang tadi siang dikebumikan. Parlanlah yang menggali kuburan itu. Dia pula yang menutup kuburan Lurah Wangsit. Dia memperhatikan sekitarnya. Tak terlihat olehnya ada orang-orang yang menjaga kuburan itu. Dari cerita yang didengarnya, seharusnya ada orang suruhan keluarga Lurah Wangsit yang menjaga di situ. Tapi mengapa tidak ada satu orangpun yang terlihat di sana? Parlan menggapai cangkulnya. Dengan hati-hati tanpa menimbulkan keributan, dia mendekat dan terus mendekat hingga pada jarak sekitar tiga puluh meter, Parlan berhenti. Dia jongkok di balik sebatang pohon kamboja besar. Tangannya masih menggenggam erat cangkul yang dibawanya. Dia tahu persis yang mana kuburan Lurang Wangsit. Sebab itu, Parlan menyelidik sekelilingnya. Hatinya berdebar kencang. Semakin dekat dengan kuburan itu, debar jantungnya semakin kuat. Parlan ke situ memang berniat membongkar kubur Lurah Wangsit yang diisukan membawa sejumlah harta dan uang yang diletakkan di samping mayatnya. Bahkan ada isu yang mengatakan uang dan harta itu dililitkan bersama kain kapan. Hati Parlan tertarik untuk melakukan pekerjaan itu. Dia ingin memperbaiki roda kehidupannya selama ini. Sebab itu dia datang ke situ dengan satu tekad, mengobok-obok kuburan Lurah Wangsit. Dia berniat mengeluarkan harta-harta yang ada dibalik lipatan kain kapan. Bagi Parlan, nyali takutnya memang sudah putus. Kebiasaannya melakukan pekerjaan itu, membuatnya merasa tidak pernah takut dengan hal-hal yang berbau tahyul. Sekitar sepuluh menit dia mengamati tempat itu. Namun masih saja sunyi dari gerakan dan dengusan nafas manusia. Hanya serangga kecil dan kunang-kunang yang terus terbang bermain di atas kuburan. Kerlap-kerlip kecil bertebaran. Setelah memastikan tidak ada orang yang mencurigakan di situ, Parlan mendekat ke kuburan itu, lalu dia mulai ayunkan cangkul itu ke tanah yang masih basah dan gembur. Tanpa henti. Tanpa suara yang mengganggu. Namun, sesekali dia tengadahkan kepalanya ke sekeliling, takut kalau-kalau ada orang yang melihatnya. Sunyi. Parlan meneruskan pekerjaannya. Tak kurang dari seratus ayunan cangkul pada gundukan basah itu, dengan samar dia melihat sebuah peti. Parlan membersihkan tanah yang masih berserakkan di atas peti itu. Ladam cangkul yang tipis dan tajam itu dia masukkan dengan paksa ke sela papan peti jenazah. Lalu dia dongkel sekuat tenaga. Dan breaaak! Peti itu terbuka atasnya. Bayang putih terlihat di dalamnya.Sejurus kemudian, Parlan menggapai kain kapan pengikat mayat. Dengan cekatan, tanpa gemetar tangan Parlan mempreteli kain kapan itu. Sekarang mayat itu terlihat bugil, kaki dan dingin. Sekiranya Lurah Wangsit bisa bicara; mungkin dia akan protes habis; mengapa ada orang begitu bernyali mengusik ketenangannya di alam baka? Namun, mayat itu hanya mampu diam diri. Mayat itu lebih baik menggunakan hak diamnya. Suara jangkrik dan piyam yang semakin ribut ternyata tak digubris oleh Parlan. Dia tidak memperdulikan lagi semua suara yang berada di sekelilingnya. Walaupun suara-suara itu mengingatkannya akan ancaman bahaya, namun Parlan tidak mengerti isyarat. Di otaknya hanya ada satu pikiran; bagaimana mendapatkan harta dan uang yang dibawa Lurang Wangsit. Dia terus sibuk mencari-cari di seputar mayat itu. Kain kapan itu pun sekarang sudah terpisah dengan mayat. Kapan panjang kotor akibat tanah basah itu dia campakkan ke samping. Sementara Parlan masih berada dalam lobang itu. Kedua kakinya mengangkangi mayat Lurah Wangsit yang tengadah langit. Sungguh tidak sopan! Walaupun malam semakin larut, namun peluh tetap membasahi tubuh Parlan. keringat yang mengucur itu terasa dingin bagai air es.Sesekali tangannya menyeka butiran peluh yang ada di dahinya. Parlan terus mencari. Mencari dan mencari. Namun apa yang diharapkannya tak kunjung jumpa. Menurut kabar burung, harta itu ada di samping mayat, tapi mengapa tak juga dia temukan? Untuk sejenak, Parlan ragu. Sekarang dia tidak lagi menggunakan tangannya membolak-balik mayat Lurah Wangsit, tapi sudah menggunakan kedua kakinya yang berotot dan kotor. Dia dongkel mayat itu dengan ujung kaki, dan mayat itu terguling menyamping. Muka mayat itu menghadap dinding tanah. Cahaya bintang yang terang dan langit yang cerah cukup memberi arti bagi Parlan, setidaknya dia tidak perlukan senter untuk menyorot mayat itu. Sekali lagi, Parlan membolak-balik mayat itu dengan kakinya, tangannya, cangkulnya berulang kali dan hatinya geram tak menemukan sesuatu. Satu-dua kata makian sempat terlontar dari mulutnya. Parlan tidak sadarkan diri. Dia bagai kesetanan dalam lobang kuburan. Dia juga tidak sadar kalau di atas kubur itu berdiri banyak orang kampung mengamati gerak-geriknya. Hingga pada sebuah waktu Parlan sadarkan diri. Dia tengadahkan mukanya ke atas. Dia hirup udara segar malam yang dingin dengan maksud mengusir kepenatannya. Dari sudut matanya yang nanar, dia menangkap bayang-bayang banyak orang. Terasa seakan semua mata kaku menelanjanginya bagaikan ketika dia menelanjangi mayat Lurang Wangsit. Dia melihat seakan ribuan kunang-kunang terbang di atas kuburan dan matanya itu pun semakin berat dengan pandangan yang berkunang-kunang. Hanya sebentar, Parlan tak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya. ***Geger. Keesokan harinya tersiar kabar bahwa kuburan Lurah Wangsit dibongkar orang. Orang-orang kampung banyak membicarakan itu di pasar-pasar, namun ada satu orang perempuan yang diam-diam meninggalkan kampung itu. Dia tidak saja meninggalkan semua kenangan yang dia miliki bersama suaminya, tidak! Perempuan itu juga meninggalkan suami pada kubur yang digalinya tadi malam.*** maha pengadil, Bu..." "Maha pengadil bagaimana, Pak?" "Ya, maha pengadil." "Lho?" "Iya, Tuhan itu akan memberikan nikmatnya pada hambanya yang sabar dan terus berdoa. Sabar melakoni pekerjaannya tanpa berkeluh kesah. Istilahnya: Ora et labora, Bu..." "Ora et labora, ora et labor... Omong kosong, tuh Pak. Lha, kita sudah hampir tiga puluh tahun berumah tangga, kalau tak sabar ya sudah bubaran kita ini!" Istri Parlan mulai ketus. Bibirnya dia cibirkan. Untuk sejenak, wajah itu jadi jelek. "Nasib..." suara itu perlahan meloncat keluar dari mulut Parlan. Untuk sementara, mereka berdua terbuai hening. Parlan menikmati sebatang rokok kreteknya. Dia tarik dalam-dalam rokok itu, dan puuuuussshhh.. Asap rokok itu bagaikan awan larat yang bergulung dalam keheningan. Lalu menipis bersatu dalam partikel oxygen. Istrinya sibuk dengan sulamannya. "Tadi siang, siapa yang meninggal, Pak?" tanya istrinya membuka kesunyian. "Pak Lurah Wangsit dari kampung seberang." "Lho, kok ditanam di desa kita?" "Itu permintaan keluarga mereka." Jari-jemari tangan istrinya rehat sejenak. Wajahnya serius menuding ke suaminya. "Apa alasan mereka, Pak?" "Kurang jelas, Bu. Dengar-dengar cerita Lurah Wangsit itu kikir dan tamak. Dia selalu mementingkan dirinya sendiri. Banyak sudah kekayaan yang didapatnya dari orang



Air Mata Salju

Cerpen
Nyoto Silakan Simak!
Dimuat di Riau Pos Silakan Kunjungi Situsnya!11/10/2002
Telah Disimak 473 kali

Kyoto, September 1986 CUACA dingin akibat salju yang terus turun bagaikan hujan, dan di beberapa tempat salju-salju itu menumpuk bagaikan bukit-bukit kecil, membuatku tambah dingin. Tak biasanya aku merasakan suasana seperti ini. Baju tebal yang kukenakan; dengan lengan panjang dan sarung tangan hitam, krah baju menutupi sebagian besar leherku, namun dingin terus saja merasuk menikam perasaanku. Angin sepoi menampar-nampar wajahku yang pucat dan tambah pucat karena kegemetaranku. Gigi-gigku sesekali saling bertetak, bibir menggetar. Sungguh, sungguh menyiksa kebiasaanku yang tak seperti hari itu. Salju-salju putih bersih bagai kapas-kapas halus jatuh perlahan. Terbujur dihamparan tumpukkan salju lain yang terlebih dahulu tersungkur di atas tanah. Pohon-pohon sakura yang gagah dan cantik tampak semakin indah. Bunganya yang berwarna pink terasa sejuk di mata ketika salju-salju kecil itu menepis pinggir mahkotanya yang aduhai. Daun-daun pinus halus kelihatannya pika-pika suru1. Aku berada di bawah sebatang pohon sakura tua yang sebagian besar bunganya sudah terbalut salju. Di situ ada sebuah kursi kayu panjang yang sengaja dibuat untuk tempat orang-orang duduk bersantai. Aku duduk di situ. Biarpun aku berlindung di bawah pohon sakura, tetapi rasa dingin tak mampu terusir dari sensitifitas kulitku. Dingin terus saja menikamku. Rasanya aku mau ka-o. Sementara bunga es yang turun bagaikan hujan kecil, masih menyempatkan diri singgah di bulu-bulu mataku yang kacau. Sesekali aku mengusapnya dengan tapak tanganku yang bersarung tebal. Sebenarnya aku sudah dua bulan berada di Kyoto. Keberadaanku di sini dalam rangka tugas belajar tentang metalurgi2 sesuai dengan jurusan yang kutimba di salah satu PTN di Surabaya. Aku sedikit bernasib baik karena keenceran otakku. Aku dikirim pemerintah ke sana selama satu semester. Sekarang aku sudah dua bulan berada di sana terletak di sudut kiri pintu masuk. Meja itu tidak tertimpa salju karena terlindung atap. Juga ada tiga buah kursi. Aku berjalan terus dituntun Konji hingga pada sebuah tatapan beberapa pasang mata. Miyuki, seorang wanita anggun (dalam hatiku, aku dapat menebak: ini pasti ibu Miyuki karena kemiripan wajahnya), dan satu lagi seorang tua yang usianya jika kutebak sekitar tujuh puluhan. Perawakannya tidak begitu tinggi. Wajahnya klimis. Biarpun cuaca dan tiupan angin terasa dingin, tetapi wajah orang ini tetap segar kemerahan. Ini mencerminkan dia cukup sehat. Pakaian yang dikenakannya pun sangat tradisional. Menyerupai pakaian seorang samurai. Di dekatnya duduk, ada sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu. Miyuki berdiri di kanan dan wanita tengah baya berdiri di kirinya. ''Dare ka. Dare ka.’’ (Seseorang. Seseorang) bibirnya bergetar. Suara itu tidak cukup kuat untuk diterima telinga manusia. Hanya karena aku dekat, maka aku mendengarnya. Segera aku memberi hormat. Kurendahkan badanku sama seperti kebiasaan nihonjin. Aku belum berani bersuara karena orangtua itu terlalu agung penampilannya. ‘’Dare ka. Hai.’’ Dia terdiam sejenak. ‘’Kimi-wa, Antonius-san desu ka?’’ (apakah kamu bernama Antonius?) suaranya berat. ‘’Hai, so desu,’’ aku mengangguk. Dia menatapku terus. Agak senang. ‘’Apa kabar, Nak Antonius?’’ sapanya padaku dengan bahasa Indonesia yang cukup jelas. Aku membelalakkan mata. Sejenak kulupakan dingin yang menyerang ulu hatiku. Tetapi hanya sejurus, ketika aku teringat Miyuki pernah mengatakan kakeknya pernah menjadi atase militer di Indonesia, aku tidak kaget lagi. Aku jawab dengan bahasa Indonesia, ‘’Kabar baik, Tuan.’’ ‘’Saya Iwada, Iwada Hirato, kakek Miyuki,’’ dia berbahasa Indonesia lagi. ‘’Silahkan duduk.’’ Dia sangat sopan. Aku mengambil tempat duduk tidak persis di depannya, agak menyamping. Sehingga kami berbincang-bincang namun kami juga bisa menikmati jatuhnya kapas-kapas salju yang tak henti-hentinya bagaikan hujan ketika menyerbu bumi. ‘’Antonius-san, kamu berasal dari mana?’’ tanyanya. Miyuki menyempatkan diri menuang teh ke dalam dua cawan mungil. Teh yang berwarna kemerahan. Inilah yang dinamakan orang Jepang minum ocha7 ‘’Indonesia.’’ ‘’Hai, pulau apa?’’ ‘’Sumatera, Tuan’’ ‘’Hah!?’’ Dia terperanjat. ‘’Dare ka. Ee, dare ka.’’ ‘’Siapa ibumu?’’ ‘’Chang Hong Lan.’’ ‘’Dia sehat-sehat saja?’’ Aku mengangguk, lalu, ‘’Ee, okagesama de,’’ (ya, berkat doa, anda). Untuk sejenak kami terdiam sampai wanita tengah baya yang bukan lain adalah ibu Miyuki mempersilahkanku minum teh yang sedari tadi sudah dituang. Aku hirup perlahan teh hangat kemerahan itu dengan nikmat yang belum pernah kurasakan selama ini. Ada rasa hangat yang membantuku mengusir dingin yang terus menyengat. Sejujurnya, aku menyukai suasana itu, tetapi kondisi alam yang tidak membuatku akrab seperti ini menyebabkan aku harus tersiksa seperti orang sakit asma. ‘’Nenek kamu masih hidup?’’ tanyanya dengan bahasa Indonesia yang setengah celat. Oarngtua ini kurang berlatih bicara Indonesia. Sebenarnya, bahasa Indonesia yang dikuasainya cukup baik dan pengucapannya kumengerti. ‘’Tiga bulan sebelum saya ke mari, nenek meninggal akibat serangan jantung,’’ paparku singkat. Dan aku masih sempat menjenguk nenek ketika dia mengatakan aku turunan satria dari bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur. Kakekku seorang patriot bangsanya. Dia seorang pahlawan bagi negerinya. ‘’Kasihan dia. Nenekmu bernama Olina? Maksud saya Pek Kim. Ya, Yap Pek Kim?’’ Kali ini aku yang terperanjat setengah mati. Kalau tak ada kursi yang menopang badanku, barangkali aku sudah terjerambab ke lantai. Wajahku seketika itu pucat pasi, karena tidak kusangka Iwada Hirato mengetahui nama nenekku, bahkan nama kecilnya. Ya, Tuhan Ada permainan apa ini? Belum habis bingungku, orangtua itu menangis tersedu-sedu. Tetapi dia tabah dalam menahan kesedihannya. Jelas! Dia seorang satria yang berpantang cengeng. ‘’Arigato, goryoshin ni yoroshiku. Gomen nasai.’’ (terima kasih, sampaikan salamku pada orangtuamu. Maafkan aku) orangtua itu berujar lemah sembari tangannya menyeka dua butir. Walaupun sama-sama berada di benua Asia, namun semuanya terasa berbeda. Makanku payah. Bahasa Jepangku juga kacau balau. Aku lebih senang mempergunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Jepang, tetapi orang-orang Jepang itu sendiri pun tambah kacau bahasa Inggrisnya. Akhirnya aku mau tidak mau mempergunakan bahasa mereka. Ternyata lambat-laun aku mampu juga menyesuaikan bahasaku. Soal makan, aku tak begitu pusing. Lidah Tionghoa-ku selalu menurut kemauan seleraku. Apalagi orang-orang Jepang, mereka umumnya makan mempergunakan copstick3 sama seperti orang Tionghoa layaknya. Bagiku semua itu no-problem. Kebiasaan orang-orang Jepang yang begitu disiplin dan hormat pada atasan, aku juga mampu membiasakan diri. Kurasa semuanya dapat kuatasi, hanya saja ketika sesi musim salju, aku terpaksa bagaikan pesakitan. Rasa dingin itu terkadang membuat lidahku terjulur seperti anjing herder yang kehausan. Tak terasa aku termenung entah berapa lama di situ; di bawah pohon sakura tua yang rimbun. Kerimbunan itu pun semakin rimbun ketika salju terus menebal. ‘’Sore wa kirei na hana desu,’’ (bunga-bunga itu indah) ujar Miyuki yang datang bersamaku ke tempat itu. Dia menggeser duduknya, merapat ke sisiku. ‘’Shiroi hana,’’ (bunga putih) lanjutnya. Miyuki Akisito gadis Jepang yang kukenal di Kyoto Institute and Science dua bulan lalu. Ketika aku seperti orang asing, di sana Miyuki menyapaku dengan lembut, ‘’Anata wa gaijin desu ka?’’ (apakah anda orang asing?). Wajahnya menatapku curiga. ‘’Haik, so desu,’’ (ya, betul) jawabku acuh. ‘’Shogaku sikin omedeto gozaimasu,’’ (selamat memperoleh bea siswa) Miyuki mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Umumnya pelajar dari luar Jepang yang mendapat bea siswa belajar di sana. ‘’Domo arigato gozaima%@!#$&a,’’ (terima kasih banyak). Pandangannya curiga. Memang. Kalau aku mau menipu nihonjin, aku rasa tak payah. Wajahku yang kental dengan ras Asia jelas ada kemiripan dengan mereka. Namun, aku juga butuh sahabat yang membimbingku di sana. Miyuki, gadis imut inilah yang kuperlukan. Setidaknya, dia bisa menuntunku pada berbagai kendala yang bakal kuhadapi dalam tugas belajar. Dari perkenalanku dengan Miyuki, aku mengetahui kalau dara Jepang ini beberapa tahun lalu pernah berkunjung ke Indonesia. Dia mengikuti tour dan mengunjungi pulau Jawa serta Bali. Namun, pada kunjungannya di Sumatera Utara, dia pernah singgah di sebuah Desa Bamban dekat Kota Tebing Tinggi. Di sana Miyuki sekedar napak tilas ketika kakeknya Iwada Hirato pernah menjadi atase militer. Dia hanya merekam beberapa sudut desa Bamban pada handycamp-nya dan menjepret beberapa lokasi yang disebutkan kakeknya. Dan sekembalinya dari Indonesia, Miyuki bercerita pada Iwada, sehingga Iwada Hirato meneteskan air mata. Tak ada jejak apapun yang tertinggal ketika desa itu sekarang telah menjadi sarang walet. Miyuki tidak berani membuka surat itu. Dia mengembalikan surat itu pada Iwada, dan Iwada menyimpannya kembali di lemari kecil yang terbuat dari kayu mahoni. Hanya satu pesan Iwada Hirato pada cucunya, sampaikan sepucuk surat dengan amplop putih yang tertutup rapi dengan nama yang ditulis kurang begitu lengkap. Huruf KIM tertulis rapi gaya kaligrafi Jepang. Jelas huruf itu ditulis dengan mo-pit5 *** Aku dan Miyuki yang berlibur akhir pekan di sebuah sudut taman kota Kyoto, sering menghabiskan waktu berjam-jam di situ. Kami ngobrol, saling tukar pengalaman. Ketika pertama aku tiba di kota ini, salju belum turun sehebat sekarang. Hanya elusan angin sepoi dingin yang terasa. Bunga-bunga salju hanya bagaikan kapas putih kecil yang terbang melambai ditiup angin. Saat itu aku dan Miyuki mampu duduk hingga tiga jam. Tetapi, ketika salju turun pada puncaknya, aku yang tidak terbiasa dengan alam musim dingin, terpaksa merasa tersiksa. Aku keluarkan topi sebo yang kubeli di sebuah toko murahan di kota itu. Kupakai dan kugulung ke atas sehingga hanya kepala bagian atas saja yang tertutup. Miyuki maklum kalau aku tidak tahan dingin. Hanya sebentar, di kepalaku sudah penuh dengan kapas-kapas salju. Kulihat Miyuki juga demikian. Gadis itu sungguh cantik diterpa salju. Hatinya selembut salju, membuatku hanyut pada sebuah lamunan. Seakan aku ingin membawanya ke Indonesia. Tetapi, aku sendiri tidak punya keberanian untuk itu. Perkenalanku yang cuma tak lebih dari dua bulan, tentu belum mendapat simpati dari keluarganya. Akhirnya aku sedikit menyerah. Aku tersentak dalam lamunan ketika Miyuki menggandeng lenganku. ‘’%@!#$&surei shimasu,’’ (maafkan saya) ujarnya membuyar lamunanku. Aku memalingkan wajahku padanya dan mengumbar senyum. Tidak banyak yang kami bicarakan pada hari itu. Karena dingin yang terus menikam, membuat pikiranku kacau. Libur akhir pekanku tak seindah yang kubayangkan. Memang. Biasanya orang-orang Jepang pada musim dingin lebih banyak berdiam di rumah dan menikmati sake atau teh hangat. Mereka minum-minum saling bagi pengalaman atau saling bercanda. Hangatnya api tungku mampu membakar semangat juang para nihonjin. Di sana mereka menyebutnya semangat matahari. Aku bangkit dari kursi panjang dan berlalu dari taman itu. Miyuki menguntitku, dan pada sebuah terminal bus, kami berpisah. ‘’Sayonara, Miyuki,’’ (sampai jumpa, Miyuki) aku melambaikan tangan ketika sebuah bus tiba dan langkahku lebar menuju ke pintu bus. ‘’Mata a%@!#$&a,’’ (sampai jumpa besok) Miyuki melambaikan tangannya padaku. Bus pun semakin jauh meninggalkan halte itu. Kupalingkan wajahku ke belakang, namun Miyuki sudah tidak tampak lagi oleh mataku. Keramaian kota Kyoto menutupi wajah Miyuki. *** Pada sebuah senja aku ditelepon oleh Miyuki. Dia mengatakan bahwa kakeknya, Iwada Hirato ingin bertemu denganku. Aku sama sekali tidak paham apa maksud Miyuki. Aku bertanya padanya; apa maksud orangtua itu memanggilku? Miyuki mengatakan kalau kakeknya ingin bernostalgia denganku. Kakeknya yang pernah bertugas di Indonesia semasa penjajahan Jepang tidak sempat tinggal lama di Indonesia. Dia harus pulang ke negerinya ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Akhirnya kuputuskan untuk menjumpai orangtua itu. Aku yakin, Miyuki tidak mungkin memburuk-burukkan diriku pada keluarganya. Dan aku pun tidak merasa canggung berada di depan orang-orang Jepang. Sebab aku sudah banyak belajar etika mereka dari Miyuki. Ya, gadis imut yang pernah singgah di hatiku. Tak mampu aku memejamkan mataku barang sebentar saja pun. Sudah kuusahakan untuk membaca buku sebanyak-banyaknya; kucari bacaan berat; buku tebal. Satu buah text-book kuraih dan kugarap, namun mataku tak jua mau diajak tidur. Di kepalaku penuh dengan bayangan Miyuki, Iwada dan setidaknya ibu Miyuki yang berpakaian kimono6 dan duduk bersimpuh pada kedua kakinya bersama menikmati hidangan teh hangat. Jam belum juga pukul sembilan setengah ketika aku keluar dari apartemenku yang berada di Moyagi Street, lantai sembilan. Langkahku lebar menuju halte bus. Dari sana aku terus menuju rumah Miyuki yang berjarak tak lebih sepuluh kilometer. Sebenarnya aku ingin naik kereta api listrik, tetapi biarlah. Aku ingin nikmati hari-hari dinginku di kota metropolitan ini bersama bus saja. Hatiku ngeras. Pukul sepuluh setengah aku tiba di rumah Miyuki. Sebuah rumah yang kunilai tidak begitu mewah, tetapi menandai ini rumah orang terhormat. Di kota Kyoto, rumah seperti ini agaknya bagi orang-orang yang berjasa bagi negara saja. Yang lainnya adalah rumah-rumah yang berbentuk apartemen. Aku dipersilahkan masuk oleh seseorang yang kemudian kukenal sebagai Konji. Dia pembantu di rumah Iwada. Orangnya sopan dan sangat hormat pada tamu. ‘’Obasan, ohayo, gozaimasu.’’ (selamat pagi, bibi) sapaku hormat. Aku membungkukkan badan. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan begini tiap kali aku menyapa orang. ‘’Ohayo, gozaimasu.’’ (selamat pagi), ‘’Antonius-san?’’ tanyanya padaku sembari memberi hormat dengan menekuk badannya empat puluh lima derajat. Aku membalas hormat orangtua itu, ‘’Hai, so desu,’’ ( ya, betul) kataku membenarkan. Dia mempersilahkanku masuk ke ruangan tengah. Sebuah pintu gaya arsitektur khas Jepang. Pintu itu menuju ke sebuah ruangan yang terbuka. Ini adalah halaman terbuka yang di tengahnya ada tiga buah kursi dan satu buah meja batu. Di pinggir halaman itu ada sebuah meja lain yang air mata yang jatuh di pangkuannya. Air mata itu jatuh dibalut dinginnya salju dan berguling ke lantai. Aku tak kuasa bertahan. Semua rasa dingin seakan terusir dari sekujur tubuhku. Aku terbaring. Badanku terasa ringan dan aku yakin; ini mimpi di tengah musim salju. Tingkat kesadaranku masih di ambang batas, sebuah lengan usang membelai-belai keningku. Kulihat di wajahnya ada air mata salju.***

Powered By Blogger