Jumat, 23 April 2010

Singgah di Sirkus

IA melangkah keluar dari bayangan pohon randu. Dan tiba di pintu gerbang sirkus itu. Betapa mustahil keadaan awal ini dapat menjadi yang selainnya. Ia telah mesti ada di situ, pada saat itu. Dari kejauhan dapat didengarnya suara riuh-rendah manusia dan musik. Dilihatnya warna-warna. Seorang penjaga bersandar di samping gardu kayu. Lelaki itu mengamatinya, seperti menyangsikannya. Dari bentuk batok kepalamu, aku tahu kamu penari. Atau detektif. Ambillah ini.Sobekan selembar karcis tiba di tangannya. Atau rahib?Ia tak menjawab, sebab ia bukan sesiapa. Jari-jarinya meraba sejenak kayu terkelupas di pintu gerbang. Ia merasa tempat itu menyimpan semacam rahasia, keajaiban. Begitu banyak pilihan. Ia belum pernah ke sirkus, dan tak tahu mesti memulai dari mana. Ia berjalan menuju kerumunan. Terdengar lagu akordion mekanis dari mesin permainan membaur dengan deru mesin diesel. Ia mengamati tempelan poster pertunjukan dan bendera berkibaran, mendengarkan para peneriak di luar tenda atau bangunan kayu. Ia menuju tenda pesulap. Membayar karcis sambil menatap poster bergambar siluet hitam misterius berselubung awan putih. Ada tulisan nama pesulap, bertebar bintang-bintang di sekitarnya. Kalimat di bawahnya dicetak dalam huruf lebih kecil. Pesulap, hampir penyihir. Setengah jam kemudian terkagum ia keluar dari tenda pesulap. Ia masuk ke tenda sebelahnya yang tampak lebih megah. Sang peneriak di luar tenda mengulangi seruan yang telah didengarnya tadi. Ayo, berduyun-duyunlah! Saksikanlah! Empat badut spektakuler abad ini!Kuartet badut yang ternyata biasa-biasa saja. Ia heran mengapa antrian karcis untuk badut lebih panjang dari pesulap. Ia pergi mengamati komidi putar dan dremolen, masuk ke pertunjukan seorang peniti tali dan penelan api, lalu keluar menuju deretan adu ketangkasan. Ia menghampiri sebuah mesin pencapit. Ia menempelkan mukanya pada kaca kotak capitan, menatap dengan mata besar segala yang bertaburan sedap di dasar. Sesaat ia tergoda. Jika koin dimasukkan, capit besi itu akan terbuka seperti cakar monster jahat, turun menuju serakan cokelat, biskuit, dan permen di dasar. Mungkin beberapa akan terangkat cakar, mungkin jatuh kembali ke dasar. Ia mengurungkan niat, meniupkan nafasnya pada muka kaca, menggambar spiral, dan berlalu. Ia berada di sana bukan untuk hadiah.Ia pergi membeli gulali. Berlama-lama di depan gerai, sambil minum soda ia menonton pembuat gulali memutar benang-benang halus merah muda, hingga menjelma gunungan kapas yang tampak empuk. Ia terpukau. Ia memesan gulali berkali-kali. Setiap kali wajahnya mendekat, matanya mencoba mengikuti gerak untaian gulali. Sia-sia. Setiap kali pula, ia menatap pupil mata pembuat gulali dan tangannya yang bergerak seolah punya mata pada tiap ujung jemari. Ia ragu, mana yang lebih memukau, perempuan pembuat gulali atau gulalinya. Sebab perempuan itu buta.Ia ingin berputar seperti gulali.Dengan lidah kelu hampir mati rasa oleh manis dan bibir dan ujung jari berubah merah, ia menyeruak di antara para pengunjung. Baginya, dari semua tempat di sirkus, yang paling menyenangkan adalah gerai gulali. TAPI ia keliru. Itu disadarinya kemudian. Ketika ia menatap rumah cermin untuk pertama kali. Di tepi lapangan, di sebuah sudut sepi. Di antara terang matahari panas, rumah cermin itu seakan mengumpulkan gelap di dalam dirinya sendiri dengan dingin. Ada beberapa pintu di situ, ia mengelilingi bangunan itu untuk menghitung jumlahnya. Delapan pintu berbeda. Ia masuk lewat salah satu pintu, tiba di sebuah lorong selebar rentang tangan, berdinding cermin di kanan kirinya. Ia membanyak tak berhingga. Lorong itu berbelok bercabangan ke sana-ke mari. Beberapa kali ia menjumpai dirinya ada dalam kubus cermin. Entah ada berapa, semuanya tampak sama. Di sana, empat sisi dinding memantulkan dirinya, kiri kanan depan belakang. Begitu banyak dirinya, ia tak lagi tahu yang mana dirinya sesungguhnya. Bagai berada dalam ulu hati sebuah berlian cemerlang, tersasar dalam labirin sejuta cahaya berpantulan. Ia pun menari. Berputar seperti gulali.Telah senja hari, ketika ia keluar. Kepalanya sedang berputar menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan, ketika sang penjaga menghampirinya dan berkata ia boleh tinggal di sirkus itu, tanpa bilang mengapa. Ia menduga, penjaga itu telah melihatnya menari dalam salah satu kubus rumah kaca. Ia ingat telah berpapasan dengannya pada sebuah kelokan. Ia menengadah ke langit, melihat bulan berbentuk huruf c.Penjaga sirkus memang telah melihatnya menari. Hanya beberapa gerakan, tapi itu telah cukup baginya. Sebab gerak-gerik itu mungkin memang bisa disebut menari.MAKA ia sering mengunjungi rumah cermin. Tak banyak orang yang ke sana. Ia mempelajari skema dan berbagai rutenya. Kadang bereksperimen dengan gerakan musykil dalam salah satu kubus cermin. Kadang ia berputar-putar saja sesukanya, hingga ia pening dan jatuh terhuyung. Jika capek, ia mencoba menghitung jumlah pantulannya pada cermin. Kadang dijumpainya sang penjaga sirkus di salah satu lorongnya. Halo.Hai.Lalu mereka berbelok ke lorong berbeda arah.Sesekali mereka keluar dari pintu yang berbeda, lalu ke kedai kopi tak jauh dari rumah cermin itu. Kedai itu menjual macam-macam minuman yang diurut secara alfabet dari a sampai z pada daftar menunya -- kecuali kopi. Pemiliknya seorang pensiunan penyair yang bercita-cita menjadi saddhu di jalanan Kalkuta, tapi istrinya melempar piring-piring ke arahnya ketika tahu. Di kedai kopi tanpa kopi itu, ia dan si penjaga akan duduk satu-dua jam bercakap tentang menari sebab lelaki itu juga seorang penari, meski jarang tampil. Atau tentang kota, setrika, spontanitas terjadwal, jarak. Atau mengetawai kelucuan orang-orang di sirkus. Lelaki itu selalu punya satu ringkasan cerita dari negeri-negeri jauh. Dan istilah-istilah yang belum pernah didengarnya. Ignoranus, demikian ia mengumpat pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Ikonofilia, begitulah ia merujuk pada penonton panggung penari. Siklofrenik, katanya menunjuk dengan dagu pada para pengunjung yang menjerit-jerit histeris pada mobil-mobilan rel yang meluncur turun dengan laju. Lalu ia mesti bertanya, dengan kenaifan yang mungkin menggelikan bagi si penjaga sirkus, bertanya untuk ke sekian kali, apa itu? Sesekali mereka bercakap bersama para badut, pesulap, nona bajang albino, pemilik kedai kopi, penelan api, pemain akrobat, atau pengunjung sirkus yang ikut nimbrung. Sesekali ia mendengarkan beberapa nasihat dari mereka.Ini rahasianya, kata pemilik kedai kopi, bukan soal apa yang kamu lakukan, tapi seberapa pintar kamu pertunjukkan apa yang kamu lakukan. Ini bisnis pertunjukan dengan ideologi agung: kemasan lebih penting daripada produk. Kandungan gizi biskuit, saus tomat, atau shampo tak penting, tapi tunjukkan mimpi -- seperti di tivi. Anak-anak masa depan yang cerdas, keluarga harmonis bersantap malam, pacar bertambah sayang. Imaji, bukan substansi.Pembuat gulali yang janda itu pasti tersinggung mendengar ini, ketua badut menambahkan. Kamu pikir kenapa manusia menemukan gulali? Karena tak ada orang yang mau makan gula murni, itu tak menarik. Tapi penghalusan, pewarnaan, penggelembungan, menjadikannya menarik. Isi gulali itu melulu angin! Kenapa badut harus berpakaian norak bermuka putih berhidung merah begitu? Pakaian kami, bahan-bahan halus bermotif meriah itu, khusus diimpor dari kota. Imaji, teman baruku!Selamat datang di dunia imaji, resolusi tinggi, penjaga sirkus berkata sambil bertopang dagu.Ia diam, gulali yang menarik versi ketua badut itu justru terdengar tak menarik, keluar dari bibirnya yang siang itu tanpa merah gincu. Pentasnya pun bahkan tak lucu.

Menuggu Cerpen Nurhadiansyah

Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. "Tunggu aku di tempat biasa. Jam setengah lima, setelah aku pulang kerja. Jangan sampai terlambat, ya." Begitulah bunyi pesan pendek yang ia kirimkan ke telepon genggamku. Karena aku mencintainya, tentu saja permintaannya itu langsung aku turuti. Sepulang dari tempatku bekerja, aku langsung bergegas menuju tempat ini dan menunggu kedatangannya. Sendirian.
Memang, kami memang biasa bertemu di tempat ini, sebuah tempat yang tidak bisa dikatakan sebagai tempat yang istimewa. Tempat ini hanyalah sebuah halte. Tempat persinggahan untuk sementara waktu. Seperti sebuah kehidupan, begitu pikirku. Ya, halte memang seperti sebuah kehidupan. Tempat yang cuma disinggahi sebentar. Tidak bisa untuk tetap tinggal abadi. Hanya sementara waktu, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan berikutnya yang entah menuju ke mana dan entah akan berakhir di mana.
Aku menatap arloji digital yang memeluk pergelangan tangan kananku. Angkanya menunjukkan pukul 16:00. Hmm, rupanya aku datang lebih awal setengah jam. Biarlah. Setidaknya aku tidak datang terlambat. Lagi pula, setengah jam bukanlah waktu yang lama. Cuma tiga puluh menit. Apalagi untuk menunggu seorang wanita seperti dia. Menunggu sampai bertahun-tahun pun akan kujalani. Menunggu sampai menjadi patung pun akan kusanggupi. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Dan menunggu, seperti kita tahu, juga termasuk dari sebuah pengorbanan, bukan? Aku mencintainya. Dia juga, katanya, mencintaiku. Jadi, tak ada salahnya kan jika aku mengorbankan setengah jam hidupku hanya untuk menunggu wanita itu?
Jress! Aku menyalakan sebatang rokok yang terselip di antara celah bibirku. Sekepul demi sekepul asap rokok meluncur ke udara dan segera melarut bersama angin sore. Di hadapanku, segala jenis kendaraan berlalu-lalang. Sepeda motor menyalip bis kota. Sedan hitam mendahului taksi. Debu-debu saling berkejaran. Aku mengembuskan asap rokok ke udara. Seorang wanita muda turun dari bus Patas, lantas berjalan perlahan menuju halte ini dan duduk di sampingku. Aku melirik ke arahnya. Wajahnya cantik. Rambutnya yang bergelombang itu dibiarkannya tergerai. Di mataku, ia terlihat seperti seorang wanita yang tahu betul betapa pentingnya arti sebuah penampilan. Aku menarik nafas panjang, dan dengan segera aroma parfum yang meruap dari tubuhnya itu langsung masuk ke dalam hidungku. Hmm. Aku melirik ke arah matanya. Tetapi, hei, mengapa matanya terlihat begitu sedih? Apakah ia sedang terluka?
Aku mendengar suara telepon genggam berbunyi. Nadanya terdengar asing di kedua telingaku. Tentu, tentu suara itu milik telepon genggam wanita itu. Dari ekor mataku, aku melihat wanita itu membuka tasnya yang berukuran kecil, mengambil sebuah telepon genggam yang kecil, lantas didekatkan di telinga kanannya yang tergantung anting-anting yang juga kecil. Aku mendengar ia berbicara.
"Sudahlah, lupakan aku. Selamat tinggal."
Kemudian, aku melihat ia mematikan telepon genggamnya dan menatap kosong ke depan.
"Apakah setiap laki-laki memang seperti itu?" tanyanya lirih. Entah kepada siapa.
Aku tidak menjawab, sebab ia memang tidak bertanya kepadaku. Kalau pun ia memang bertanya kepadaku, tentu aku butuh waktu untuk bisa menjawabnya. Sebab, pertanyaannya itu memang tidak akan cukup jika cuma diberikan jawaban 'iya' atau 'tidak'.
Aku masih tetap memerhatikan wanita cantik itu. Setelah menaruh telepon genggamnya, ia mengambil sebatang rokok dari dalam tas kecilnya, menyelipkannya di celah bibirnya yang berwarna merah, mambakarnya, menyemburkan asapnya secara sembarang, lantas berdiri dan berjalan meninggalkan halte ini. Ia seperti tidak mempedulikan akan keberadaanku. Ia seperti berada di sebuah dimensi kosong yang tidak ada orang lain lagi kecuali dirinya sendiri. Kedua mataku, entah mengapa, masih terus membututinya. Ia berjalan di atas trotoar, sambil terus merokok, dan melenyap di sebuah kelokan. Ke manakah wanita itu akan pergi? Entahlah. Tentu saja aku tidak akan pernah tahu. Misteri.
Aku kembali mengembuskan asap rokokku ke udara. Terkadang asap itu kupermainkan, agar aku tidak jemu dalam penantian. Aku memonyongkan bibirku, mendesak asap itu dengan lidahku, lantas meluncurlah segumpal asap yang membentuk sebuah lingkaran. Sebuah lingkaran putih, seperti lingkaran yang selalu mengambang di atas kepala malaikat yang sering kulihat di komik-komik. Aku bisa melihat bagaimana asap itu melayang, mengambang, lantas menghilang karena dihapus angin. Segumpal asap, begitulah, meskipun terlihat sepele, ternyata bisa memberikan ketenangan bagi diriku.
Ke manakah wanita itu akan pergi? Aku kembali bertanya tentang wanita yang telah lenyap di kelokan itu. Barangkali ia akan pergi ke sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi. Namun, di manakah tempat itu berada? Tentu saja cuma wanita itu yang mengetahuinya. Barangkali ia akan mengunjungi sebuah tempat yang dapat menghadirkan kebahagiaan semu. Seperti diskotik, pub, atau pun kafe-kafe yang lampunya selalu remang-remang, yang seperti enggan menghadirkan sebuah kenyataan. Tetapi, ah, sepertinya itu tidak mungkin. Hari masih sore, dan sore bukanlah waktu yang tepat untuk pergi ke tempat-tempat semacam itu. Barangkali ia akan pulang ke rumah. Tidak pergi ke mana-mana. Sebab, ia berpikir, pergi ke mana-mana pun tidak akan mampu menghibur hatinya yang anggap saja sedang terluka itu. Ia akan berdiam diri di dalam kamar. Barangkali ia akan menangis, dan menghabiskan waktunya hanya dalam kesendirian. Dan, ia akan tersadar, betapa di dunia ini tidak ada yang tetap tinggal abadi.
Hmm. Aku kembali teringat dengan wanita yang saat ini sedang kutunggu-tunggu kehadirannya. Apakah ia juga akan seperti itu jika hatinya sedang terluka? Apakah ia juga akan mengatakan, 'Apakah setiap laki-laki memang seperti itu?' jika hatinya telah dikhianati? Hmm. Aku jadi semakin tidak sabar dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
* * *
Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. Aku membuang rokokku yang sudah pendek ke aspal dan membunuh baranya dengan injakan. Fiiuuuh! Segumpal asap terakhir meluncur dari bibirku. Lima belas menit sudah berlalu. Berarti, lima belas menit lagi, ia akan hadir di hadapanku. Aku memang sudah terbiasa menghitung waktu dengan sebatang rokok. Sebatang rokok, bagiku, bisa menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit. Langit di atas sana memperlihatkan pemandangan sore. Mega-mega bersepuh susu berarak lambat melintasi cakrawala mengikuti ajakan angin. Matahari bersembunyi di balik gedung-gedung kaca. Angin berembus. Daun-daun saling menampar. 'Lima belas menit lagi,' ujarku dalam hati.
Wanita yang sedang kutunggu-tunggu kehadirannya itu adalah seorang wanita yang menarik. Memang tidak cantik, tetapi menarik. Ah. Cantik. Menarik. Manakah yang lebih menjanjikan untuk sebuah kebahagiaan?
"Aku tidak cantik," ujarnya dulu.
"Lantas, memang kenapa kalau tidak cantik?"
"Iya, mengapa kamu memilih aku? Bukankah masih banyak yang lebih cantik dari aku?"
"Aku memilihmu, sebab kamu adalah wanita yang menarik."
"Menarik?"
"Ya, menarik."
"Tapi, aku tidak cantik."
"Tidak perlu harus menjadi cantik, untuk bisa tampil menarik."
"Kalau begitu, apa yang menarik dariku?"
"Matamu."
"Mataku? Ada apa dengan mataku?"
"Seperti ada tali."
"Maksudmu?"
"Ya, di dalam matamu seperti ada tali yang telah menarik hatiku sehingga membuatku jatuh cinta kepadamu."
"Uh, gombal!"
Hmm. Gombal. Aku masih belum mengerti mengapa segala bentuk pujian yang dikatakan secara jujur pun masih tetap dikatakan gombal? Apakah setiap kata-kata yang manis, yang diucapkan dengan sebenar-benarnya dari dalam hati, masih juga tetap dikatakan gombal? Hmm. Gombal. Makhluk apakah itu?
Halte ini kebetulan sepi. Hanya aku saja duduk di sini, sendirian, menunggu wanita itu, tanpa ada teman yang mengawani. Menyaksikan pemandangan sekitar. Menyaksikan dunia. Apa boleh buat, ternyata memang benar perkataan orang bijak itu, betapa dunia cuma sebatas mata memandang. Aku melihat sebuah bis kota yang penuh sesak dengan penumpang. Laki-laki. Perempuan. Anak kecil. Orang tua. Mereka yang berada di pintu itu bergelantungan dengan berbagai macam cara, bertahan sekuat mungkin agar tidak sampai terjatuh. Mereka yang berada di dalam sana terlihat lebih memrihatinkan. Tubuh-tubuh mereka saling terhimpit satu sama lain. Aku bisa membayangkan betapa sumpek di dalam sana. Namun, sang kernet dengan wajah tanpa dosa masih terus menawarkan jurusan kepada setiap orang yang sedang berada di pinggir jalan. Seandainya aku juga berada di dalam sana, betapa jengkelnya aku melihat aksi sang kernet itu.
Aku kembali melirik arloji digitalku. Angkanya menunjukkan pukul 16:20. Berarti, sepuluh menit lagi wanita itu akan hadir di hadapanku. Aku membayangkan apakah kiranya yang akan kami lakukan jika bertemu nanti. Barangkali ia akan langsung mengajakku makan di sebuah tempat. Sama seperti yang biasa kami lakukan setiap kali bertemu. Kalau tidak di restoran Jepang, pastilah ia akan memilih makan di restoran siap saji. Aku juga tidak mengerti mengapa ia suka sekali makan di tempat-tempat semacam itu. Aku pernah mengusulkan untuk sekali-sekali makan di restoran padang. Tetapi ia selalu menolaknya. "Aku tidak mau. Aku lebih suka makan di sini." Begitulah jawabannya selalu.
Jika memang benar kami makan, maka kami akan makan secara perlahan, sengaja agar pertemuan terasa lama. Tetapi, entah mengapa, itu tidak pernah berhasil. Aku selalu merasa pertemuan kami selalu cepat berakhir. Setiap kali kami bertemu, aku selalu merasa waktu begitu cepat melesat. Satu hari bersamanya, sama seperti satu jam. Satu jam, terasa satu menit. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa selalu seperti itu.
Seperti biasa, kami akan makan sambil bercerita tentang banyak hal. Sebenarnya ia yang lebih banyak bercerita, dan aku yang lebih banyak mendengarkan. Tentang pekerjaannya yang melelahkan. Tentang atasannya yang menjengkelkan. Tentang teman-teman pria di kantornya yang sering menggodanya. Tentang cinta. Tentang harapan. Tentang mimpi-mimpi. Tentang apa saja. Tentang siapa saja. Juga tentang hal-hal yang kelihatannya sepele, namun tetap memiliki daya tarik untuk dibicarakan. Tentang dedaunan, langit malam, sepotong senja, dan lain semacamnya yang sebenarnya memang tidak terlalu penting-penting amat. Biasanya, ia akan bercerita dengan mata berbinar-binar. Semakin berbinar-binar matanya, semakin aku jatuh cinta dibuatnya. Matanya itu, ya, matanya itu seperti sebuah jendela yang menampilkan seribu pemandangan bukit, seribu pemandangan laut, seribu pemandangan semesta, sehingga membuat aku betah untuk berlama-lama menatapnya. Matanya, ya, matanya yang sejernih telaga itulah yang membuat aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.
"Matamu indah," ujarku dulu, entah kapan dan di mana, aku sudah lupa. Yang bisa kuingat, saat itu ia cuma mengulas senyum sambil menarik kepalaku mendekati kepalanya. Lantas, ia menjepit bibirku dengan bibirnya sambil berkata, "Aku mencintaimu, laki-laki gombal."
* * *
Di tempat inilah aku menunggu wanita itu. Arloji digitalku sudah menunjukkan pukul 16:40. Ia belum juga hadir di hadapanku. Apakah suaminya datang menjemput? Hmm. Terkadang aku lupa betapa ia adalah seorang wanita yang sudah bersuami. Sekarang ia belum datang. Alasannya apa, aku belum tahu.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi dan bergetar di saku celana. Aku meraihnya. Ada pesan yang masuk. Ternyata dari wanita itu. Hmm. Apakah ia ingin membatalkan pertemuan ini? Atau, apakah ia akan datang terlambat, sebab ada sesuatu hal yang mesti ia kerjakan di kantornya?
Aku menarik nafas panjang dan segera membuka kotak pesan di layar telepon genggamku.
Aku membaca sebuah pesan. "TAMAT". ***

 Maaf Anakku?

Dear : Tiara

Anaku Tercinta
Sayang?? papa dan mama udah berangkat, kami tidak tega membangunkanmu papa mungkin sekitar 11 hari di Bali, mama 2 minggu di Surabaya. Jaga diri baik-baik ya, sayang??..
Mama dan papamu
Tersayang
" Gini lagi, " ucap Tiara dengan mimik muka sedih, sambil meletakkan kembali kertas yang berisikan pesan dari orang tuanya ke meja makan.
Bi Jum, yang sedang menuang susu di dapur hanya geleng-geleng kepala saja. " Ngapain sih bilang-bilang Anakku tercinta segala,?, ??Kata tiara dengan intonasi ketus.
??Non?.. kok ngomongnya begitu?"
??Bik ?.udah berapa kali papa dan mama pergi kayak gini, kalau emang mereka, cinta, sayang dan peduli ama aku, kenapa, kenapa mereka ninggalin aku kayak gini? ??
??Merereka kan??"
??Iya ! Emang ! Mereka hanya mengejar materi. Buat apa bik, materi berlimpah, tapi kasih sayang miskin? Bik?.. seharusnya mereka bisa dong ngertiin aku. Aku kesepian. Aku ga? butuh limpahan kekayaan. Aku butuh kasih sayang dan kepedulian," ucap Tiara dengan sedikit berteriak.
Yup! Begitulah kehidupan Tiara.
Nama lengkapnya Mutiara Indah Pamungkas, kedua orang tuanya emang sibuk. Dirumah Tiara hanya ditemani oleh Bi? Jum, pembantu yang telah bekerja di rumahnya selama 13 tahun. Kalau Tiara mau, dia bisa hura-hura sama teman-temannya, bisa jalan kemana aja. Tapi tiara ga? gitu, dia malah mendambakan kehidupan yang penuh cinta, meskipun di kelilingi oleh lautan harta yang bisa membuatnya bahagia?..
??Ra?. Muka kamu kok pucat ? Kamu sakit? " tanya Sesil, sahabat kental Tiara.
?? En?.ga?.papa?.kok !"
??Ra?ra?. Ya ampun ! tolong??!!!
Eh?.Sin, tolongi aku dong. Tiara pingsan Nih !"
??Tiara!!!"
Sesil dan Sintha ?membopong? Tiara ke ruang UKS. Sementara teman-teman yang lain melapor ke guru piket, ada yang pingsan.
Sejam kemudian semua udah beres. Bi jum udah datang, namun tiara belum jua sadarkan diri, akhirnya Tiara dilarikan ke RS.
??Non..non ?.! Non sakit apa? tanya Bi Jum, seraya tangannya yang sedikit kasar mengelus lembut rambut kemilau Tiara. ??Yang sabar, ya Non ??" ucap Bi Jum lagi, sambil memandang wajah jelita tiara lekat-lekat.
??Bi??"desis Tiara, matanya belum sepenuhnya terbuka.
?? Alhamdulillah ya..Allah?Nnon!Non sudah sadar?"
??Bi?.Mama dan Papa mana?"
??Tadi Bibi udah telpon, Nyonya dan Tuan sebentar lagi mereka tiba, non."
Tiara hanya menatap kosong ruangan rumah sakit. Pikirannya menerawang.
Andai papa dan mama tahu apa yang sedang aku alami. Bukan sekedar sakit di hati tapi juga karena penyakit yang aku derita leukimia dan kanker darah. Yup ! dua penyakit yang dovonis dokter 2 bulan yang lalu.
Pa?.Ma?.. andai kau ada disetiap hari-hariku??.detik-detik kematian ini seakan tak sabar untuk menjemputku?..
Aku ga? ada semangat hidup lagi??.."
Tiara berkata dalam hati. Butiran air mata satu persatu jatuh membasahi pipinya.
??Non ?..Non kenapa nangis. Yang sabar ya, Non?."
??Bi?..tolong ambilkan diary aku di kamar. Aku taruh di rak-rak meja belajar."
??Sekarang Non??.?"
??Iya bik! Cepat?.." ucap Tiara, dengan suara yang hampir ga? ada.
Bi Jum beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju rumah, mengambil diary Tiara sesuai yang diamanatkan anak majikannya yang bernasib malang.
Setelah menemukan diary Tiara, Bi Jum kembali lagi menuju rumah sakit.
??Untuk apa ya diary ini ? Kok kayaknya penting banget?" tanya Bi Jum, pada dirinya sendiri. Meskipun, dia didera rasa penasaran, namun bi Jum ga? mau membaca isi diary itu. Ia yakin, suatu saat rasa penasaran itu akan terjawab.
Sesampai di rumah sakit, Bi Jum memasuki ruangan tempat tiara dirawat, kamar 117.
Rupanya di sana kedua orang tua Tiara, sudah datang.
??Nyonya, Tuan, baru sampai? ?? tanya Bi Jum, sambil menutup pintu kamar dan melangkahkan kaki menuju keluarga majikannya.
??Iya Bi??."Jawab Papa dan Mama Tiara.
??Non??.ini diarynya:" Bi Jum menyerahkan diary berwarna Pink, dengan bungkusan dan ukiran yang selaras kepada tiara.
??Makasih ya, Bi?." Ucap Tiara dengan suara lirih.
??Ma?..Pa??ini ada curahan hati Tiara?..Semua tertulis disini. Semua yang ada diperasaan ini. Tiara tuang disini di diary ini. Semua kesedihan, kehampaan tertulis semua disini. Pa??Ma?.
Bi Jum??maafin Tiara kalau Tiara. Kalau Tiara ada salah. Doain Tiara, semoga Tiara masuk surga, dan berbahagia di sana," ucap Tiara.
Ia merintih menahan sakit, dan?.
??Tiara! Tiara !" Pekik Mama "Tiara..."
Saat mengetahui anak tunggalnya telah tiada. Pergi untuk selamanya, sementara Papanya hanya membisu, bibirnya bergetar, matanya memerah, menahan sedih yang teramat .Sedangkan Bi Jum berlari memanggil dokter, diiringi oleh isakan tangisnya.
??Dok?..dok?"
??Ada apa, Bi?."
??Dok?.Ti?.ara??..Tiara??
Dokter dan Bi Jum menuju kamar tempat Tiara dirawat. Dokter tidak kuasa berbuat apa pun lagi. Semuanya kehendak Tuhan.
Seminggu kemudiaan, keadaan sudah berangsur-angsur tenang. Papa Mamanya, sedikit-demi sedikit, sudah mulai ikhlas melepas kepergian anak tersayangnya.
Papa dan Mamanya merasa bersalah. Sesekali air mata menetes lagi dari mata orang tuanya. Juga Bi Jum, yang tidak menyangka kalau akan berakhir begini.
Dari curahan hatii Tiara yang tertuang di diary anaknya, kedua orang tua Tiara jadi sadar, akan kekeliruan yang selama ini mereka kerjakan. Mereka berpikiir, dengan uang, Tiara akan bahagia. Dan itu terbukti salah.
??Tiara sayang? Maafkan kami?Maaf anakku?kami menyesal atas semua. Maaf Anakku?"

Powered By Blogger